Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mengembangkan sistem informasi ”standing crop” atau SisCrop yang tak hanya menyediakan informasi fase tumbuh tanam padi, tetapi juga data provitas padi secara nasional.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Indonesia memiliki luas baku sawah sekitar 7,46 juta hektar yang tersebar di seluruh wilayah, meliputi berbagai tipologi sawah, seperti sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan sawah rawa. Untuk memantau semua wilayah itu, diperlukan bantuan teknologi agar lebih mudah dan perhitungan lebih tepat serta akurat.
Karena itu, keberadaan sistem informasi standing crop atau SisCrop yang dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian menjadi amat penting. SisCrop merupakan sistem informasi yang menyediakan informasi fase tumbuh tanam padi.
Teknologi ini menggunakan sistem penginderaan jarak jauh atau remote sensing. Sebenarnya, pengembangan teknologi ini sudah dilakukan sejak tahun 1998. Teknologi ini juga sudah digunakan untuk mendukung sejumlah program di Kementerian Pertanian.
Barulah pada akhir 2020, SisCrop versi 1.0 diluncurkan. SisCrop versi ini memanfaatkan data dari citra satelit Synthetic Aperture Radar (SAR) Sentinel-1. Sistem ini masih terbatas hanya menyediakan informasi terkait fase tumbuh tanaman padi.
Bersama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian pun terus melakukan berbagai pengembangan dan perbaikan. Akhirnya, pada 18 Oktober 2021, SisCrop versi 2.0 diluncurkan.
”Jika SisCrop 1.0 hanya menyediakan informasi fase tumbuh tanaman padi, SisCrop 2.0 sudah dilengkapi dengan data terkait provitas padi sawah di seluruh Indonesia,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Fadjry Djufry.
Informasi mengenai provitas (produktivitas tanaman) padi sangat penting untuk mengestimasi volume produksi padi di Indonesia. Ini terutama berkaitan dengan perhitungan kecukupan bahan pangan bagi masyarakat.
Fadjry menyampaikan, pada SisCrop 2.0, citra satelit yang digunakan sudah berbasis radar. Pada SisCrop 1.0, citra satelit yang digunakan berbasis optik. Data yang dihasilkan dari penggunaan sistem satelit berbasis optik memiliki akurasi yang kurang baik pada kondisi perawanan.
Padahal, sebagian besar wilayah Indonesia sering berawan. Karena itu, melalui SisCrop 2.0 yang menggunakan citra satelit berbasis radar, monitoring kondisi pertanaman menjadi lebih baik meskipun sedang dalam kondisi berawan.
”Sebelumnya kita melihat kondisi lahan sawah di Indonesia hanya dengan citra satelit optik yang hanya bisa memonitor sekitar 70 persen dari luas lahan yang ada. Dengan teknologi terbaru menggunakan citra satelit radar, kita bisa memantau 100 persen lahan sawah secara nasional,” kata Fadjry.
Informasi pada SisCrop 2.0 digambarkan secara parsial melalui peta interaktif. Selain itu, ada pula data numerik yang disajikan dalam bentuk tabular dan grafik. Seluruh data ini akan diperbarui setiap 15 hari.
Secara teknis, data yang didapatkan dari citra satelit Synthetic Aperture Radar (SAR) Sentinel-1 dihubungkan dengan penggambaran dari sistem Google Earth Engine yang kemudian disimpan pada komputasi awan di Google Drive. Selanjutnya, data yang tersimpan akan disaring melalui sistem yang ada di Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian.
Jika SisCrop 1.0 hanya menyediakan informasi fase tumbuh tanaman padi, SisCrop 2.0 sudah dilengkapi dengan data terkait provitas padi sawah di seluruh Indonesia.
Proses penyajian data akan dilanjutkan di server Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian baru kemudian bisa diakses pengguna melalui SisCrop. Pada SisCrop 2.0, desain yang ditampilkan lebih menarik dari versi sebelumnya dengan data yang bisa diunduh sampai tingkat wilayah kecamatan.
Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian yang juga pengembang SisCrop, Rizatus Shofiyati, mengatakan, pembaruan yang diatur selama 15 hari dimaksudkan agar data yang dihasilkan bisa maksimal. Dalam proses uji coba, pembaruan yang dilakukan selama 10 hari belum mampu menghasilkan keseluruhan data lahan sawah di seluruh wilayah di Indonesia.
Untuk mengakses data ini, SisCrop 2.0 dapat diakses melalui laman pencarian di http://scs1.litbang.pertanian.go.id/home. Laman itu menyajikan informasi mengenai peta interaktif terkait kondisi sawah di Indonesia beserta kondisi standing crop, provitas, dan estimasi kebutuhan pupuk. Sejumlah data standing crop juga dapat diunduh, mulai dari data nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Ditargetkan, pada awal 2022, data pada SisCrop 2.0 bisa diakses melalui aplikasi mobile.
Informasi provitas padi pada sistem ini dianalisis melalui beberapa model spesifik lokasi yang memiliki Root Square Mean Error (RSME) sebesar 0,17-0,27 ton per hektar. RSME merupakan cara untuk mengukur tingkat akurasi dari hasil perkiraan suatu model. Tingkat akurasi dari sistem ini diklaim mendekati 80 persen.
”Pengembangan model fase tumbuh dan provitas tanaman padi ini akan terus diperbaiki untuk meningkatkan akurasinya,” kata Rizatus.
Meski masih memerlukan beberapa perbaikan, informasi dalam SisCrop 2.0 sangat membantu pemangku kepentingan dalam menetapkan luas tanam, luas panen, provitas, serta estimasi produksi padi nasional.
Selain Kementerian Pertanian, informasi ini juga dibutuhkan oleh kementerian atau lembaga lain dalam perencanaan program nasional. Itu meliputi, antara lain, terkait dengan informasi persediaan beras dan gabah, perkiraan untuk alokasi bantuan benih, pupuk, dan pestisida, serta perencanaan untuk irigasi sawah.
Fadjry menambahkan, pengembangan lebih lanjut juga masih akan dilakukan dalam pemanfaatan SisCrop. Selain padi, SisCrop diharapkan juga bisa dimanfaatkan untuk menyediakan data dan informasi mengenai tanaman jagung dan kedelai.
”SisCrop 2.0 terbuka untuk diperbaiki, dikoreksi, dan dilengkapi oleh semua pihak untuk kepentingan Indonesia. Informasi lain akan ditambahkan, antara lain mengenai indeks pertanaman,” ucapnya.