Panggung Politik Bernama Sawah Pertanian
Ketika dua hari ini ramai diperbincangkan di media sosial soal Ketua DPR Puan Maharani yang sedang menanam padi di sawah, di tengah suasana hujan, berbagai tanggapan lantas muncul. Nah, ada apa antara sawah dan politisi?
Apa pun bisa menjadi panggung politik. Namun, diorama panggung politik di Tanah Air sudah tentu mengenal sawah atau ladang pertanian sebagai salah satu latar paling sering disebut oleh politisi dalam retorikanya. Fakta Indonesia sebagai negara agraris dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, sejak lampau telah memerangkap imaji politik di Tanah Air dengan bahasa-bahasa surga di bidang pertanian.
Era Orde Baru, misalnya, orang dibuat terpukau oleh keberhasilan swasembada pangan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Banyak sekali foto Presiden ke-2 RI itu yang berlatar belakang sawah. Televisi Republik Indonesia (TVRI) pun ketika itu rutin menayangkan acara Kelompencapir. Acara itu kependekan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa.
Kegiatan itu adalah pertemuan dari banyak petani di Indonesia, yang diadu pengetahuannya seputar pertanian. Mereka ditanyai soal cara bertanam padi yang baik, penerapan pupuk pada tanaman, hingga cara panen yang bisa menghasilkan produksi gabah tinggi.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap kebijakan pertanian di bawah Orba yang, antara lain, menelurkan kebijakan Revolusi Hijau, pertanian memantapkan diri sebagai salah satu sektor pembangunan prioritas pemerintah. Harga beras terus dipantau karena diketahui naik-turunnya harga beras berdampak signifikan pada tingkat inflasi. Hal ini juga menunjukkan fundamental ekonomi bergantung pula pada harga beras dan semua bertalian dengan hukum ekonomi suplai dan permintaan.
Hingga saat ini, beras dan pertanian masih menjadi isu seksi dalam politik. Tidak hanya karena sektor itu menopang langsung ketahanan pangan dan ekonomi, tetapi juga karena sektor itu mewakili realitas rakyat kebanyakan warga Indonesia di tingkat bawah. Kebijakan politik di bidang pertanian akan berdampak pada pilihan politik mereka pula. Di dalam pidato-pidato politik, sektor pertanian selalu disebut dan pertanian dijadikan salah satu sektor penting dalam pembuatan kebijakan.
Oleh karena itu, ketika dua hari ini ramai diperbincangkan di media sosial mengenai Ketua DPR yang sedang menanam padi di sawah, di tengah suasana hujan, berbagai tanggapan lantas muncul. Berita itu mulanya diunggah oleh salah satu media arus utama di Twitter. Berita itu berjudul ”Di Tengah Rintik Hujan, Puan Tanam Padi dan Semangati Petani Milenial”.
Berita berisi tentang kunjungan kerja Ketua DPR Puan Maharani ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tepatnya di areal persawahan Sendangmulyo, Sleman. Di sana, Puan berinteraksi dengan sejumlah petani dan menanyakan sejumlah hal tentang kendala yang mereka hadapi. Puan juga difoto bersama dua petani perempuan dengan pose memegang benih padi dan beberapa foto lainnya Puan sedang menancapkan benih itu ke tanah.
Situasi ketika itu diceritakan sedang hujan sehingga dibuatlah judul yang menggambarkan kegiatan tersebut dengan segala nuansa yang ingin dikesankan.
Tanggapan terhadap berita itu beragam. Salah satu warganet berkomentar, tindakan Puan itu hanya pencitraan. Sebab, ketika masa panen, pemerintah malah impor beras dan beras lokal dianggap beras kelas dua. ”Mbakyu Mbakyu ojo ngapusi petani,” demikian petikan salah satu cuitan di Twitter.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga ikut berkomentar dengan mencuit, ”Biasanya petani menanam padi tidak hujan-hujanan”, diikuti dengan emoticon dua telapak tangan menempel. Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon, merespons cuitan Susi itu melalui akun Twitter-nya, @fadlizon, ”Belum belajar pencitraan 4.0?”.
Ada pula warganet yang mengomentari berita dan kegiatan Puan itu sebagai pencitraan semata. Sebab, ketika hujan petani berteduh dan bukannya menanam padi. Komentar yang muncul ada pula yang kasar dan merendahkan.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga Ketua DPD PDI-P Sumatera Barat Alex Indra Lukman mengatakan, tudingan pencitraan oleh warganet tidak tepat. Sebab, Puan datang dalam rangka kunjungan kerja untuk memberikan dukungan kepada para petani. Tidak ada niat untuk mengesankan sesuatu di luar itu. Dia berharap warganet tidak melulu berpikiran negatif tentang sesuatu hal yang tidak mereka ketahui dengan benar.
”Kalau ditanya mengapa musim hujan, ya, memang menanam padi itu di musim hujan. Kalau tidak di musim hujan lalu kapan lagi? Kalau misalnya netizen itu profesinya orang kantoran dan tidak memahami petani, ya, semestinya tidak seperti itu. Mereka kan bisa Google, musim tanam itu kapan,” ujarnya.
Alex juga menegaskan, Puan berusaha terus dekat dengan masyarakat dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Sebagai pemimpin, Puan bersama masyarakat dan merasakan denyut di masyarakat serta membantu memberikan motivasi dan dorongan. Harapannya, dengan hal itu ada perbaikan bagi kesejahteraan masyarakat.
”Di ruang politik itu hampir tidak mungkin kita memuaskan semua pihak karena di sana ada bermacam dimensi kepentingan sehingga menghasilkan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Jadi, kami tetap berusaha dengan niat yang baik saja. Tidak memikirkan hal-hal di luar itu. Beda sudut pandang itu biasa saja. Kita syukuri saja,” ungkapnya.
Sesuatu yang wajar
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan, pencitraan wajar saja dilakukan politisi. Tujuan dari pencitraan ialah membuat popularitas seorang tokoh membaik. Artinya, agar popularitas mereka naik, yakni dengan dibicarakan orang atau minimal diketahui orang.
Baca juga: Tahun Pandemi, Bukan Tahun Politik
”Orang boleh saja pro dan kontra dengan tindakan politisi itu. Mereka mungkin saja mengkritisi upaya itu, tetapi ada pula yang mendukung. Misalnya, demi menaikkan popularitas, Mbak Puan sampai seperti itu (hujan-hujanan). Ya, itu boleh-boleh saja, tanggapan macam-macam itu,” katanya.
Komentar baik atau buruk di medsos diyakini tidak memengaruhi signifikan dalam elektabilitas tokoh politik itu. Viralnya sebuah berita hanya akan membuat tokoh itu populer, dikenal, meski belum tentu dipilih. ”Masih banyak pencitraan politisi lain yang juga lebih lucu sebenarnya dan itu baik-baik saja,” katanya.
Viralnya acara lawak Lapor Pak di Trans7, beberapa hari lalu, juga dapat saja disebut sebagai pencitraan bagi Anies Baswedan. Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta itu diundang sebagai bintang tamu di acara tersebut. Penonton tertawa dan terhibur ketika Anies dipanggil oleh Kiky Saputri dengan sebutan ”Pak Ahok”.
Acara yang menampilkan Anies itu viral dan ditonton ribuan subscriber (pelanggan) kanal Youtube Trans7 Official. Demikian pula tanggapan terhadap viralnya acara itu pun beragam. Ada yang memuji Anies karena memiliki selera humor yang tinggi. Tetapi, ada pula yang menilai lawakan itu tidak lebih penting daripada persoalan banjir DKI Jakarta.
Lain waktu, ada pula Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang mengunggah aktivitasnya sedang berdansa dengan istrinya. Beberapa warganet menilai tindakan itu tidak pantas atau bukan budaya Indonesia. Namun, di sisi lain ada juga yang memuji kebolehan Ridwan dan istri berdansa.
”Tentu kita tidak bisa mengendalikan pendapat orang. Ini salah kita sendiri, kenapa, karena masyarakat kita senang drama, sinetron, sehingga drama politik pun ditunggu. Di medsos, kita tidak bisa memuaskan semua orang,” ujarnya.
Baca juga: Prabowo, Ganjar, dan Anies Bersaing Ketat Menuju 2024
Membangun narasi
Untuk bisa sampai pada tahap memengaruhi pilihan publik dan tidak sekadar popularitas, pencitraan yang dilakukan oleh politisi itu mestinya dikemas dengan pesan yang jelas. Ada dua cara untuk memastikan pencitraan atau komunikasi politik melalui media itu berhasil.
Pertama, dengan story telling, yakni dengan menyampaikan narasi atau cerita tentang dirinya. Kedua, dengan memengaruhi orang atau publik agar mereka percaya dengan narasi yang dibangun oleh tokoh.
”Kalau tokoh itu mampu membangun story telling soal dirinya dan meyakinkan publik akan kebenaran hal tersebut, ia akan bisa menjadi seperti Jokowi dan SBY. Kedua tokoh ini sama-sama bisa menceritakan dirinya dan meyakinkan publik mengenai kebenaran hal itu,” katanya.
Hendri mengatakan, Jokowi, misalnya, menarasikan dirinya melalui berbagai ”cerita”. Jokowi, antara lain, menceritakan dirinya dengan masuk gorong-gorong, menerabas banjir, berdiri sendiri di tengah sawah, dan narasi lainnya. Tidak pernah ada narasi tunggal untuk menceritakan dirinya kepada publik. Dengan cara ini, politisi berusaha menunjukkan siapa dirinya; apakah dia rendah hati, tegas, suka turun tangan menyelesaikan masalah, atau tipe orang yang solutif.
Hal serupa ditampilkan Yudhoyono dengan kesan pemimpin karismatik, berwibawa, cerdas, dan sebagainya. Semuanya itu, lanjut Hendri, bagaimanapun dibangun melalui narasi-narasi yang tidak tunggal. ”Tidak ada politik yang tanpa pencitraan. Baliho besar bertuliskan jujur, bersih, dan membela rakyat, itu kan pencitraan semua,” katanya.
Untuk menghindari risiko perundungan, pencitraan politisi sebaiknya disertai tindakan nyata. Puan, misalnya, karena ia adalah Ketua DPR dan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dapat saja memerintahkan kadernya untuk menanam padi bersama petani milenial. Puan juga dapat meenggerakkan anggota DPR yang lain untuk juga peduli dengan petani.
Efektivitas pencitraan
Peneliti politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, pencitraan akan efektif kalau ia memiliki performa dan kinerja yang baik. Namun, kalau hanya melakukan pencitraan tanpa kinerja yang baik, efek pencitraan itu justru negatif.
Pencitraan sebagai upaya untuk membangun image politik menjadi salah satu faktor yang memengaruhi orang untuk memilih. Image itu dibentuk oleh dua hal, yakni personalitas atau kepribadian dan faktor kinerja. Seorang tokoh bisa mendapatkan citra baik jika kepribadiannya dianggap baik. Misalnya, sosok yang hangat, sederhana, merakyat, karismatik, tegas, berwibawa, cerdas, santun, dan kepribadian lainnya yang positif.
Fenomena Ganjar Pranowo, misalnya, menurut Arya, menunjukkan bagaimana kepribadian seorang tokoh lebih menonjol daripada kinerjanya. ”Orang menganggap Ganjar hangat dan terbuka, tetapi kalau ditanya prestasinya, mungkin orang kesulitan menyebutkannya,” katanya.
Namun, ada pula tokoh yang citranya baik karena kinerjanya bagus. Fenomena Tri Rismaharini di Surabaya, menurut Arya, menunjukkan bagaimana kinerja yang bagus itu menaikkan citra seorang tokoh.
Untuk bisa berdampak pada elektabilitas, citra yang muncul di permukaan itu harus memiliki substansi. Misalnya, jika peduli dengan petani, tokoh tersebut harus bertindak dan menunjukkan kebijakannya. Di bidang kerjanya sendiri, tokoh politik itu juga harus berkinerja baik, menunjukkan inovasi, dan capaian-capaian baik.
Misalnya, sebagai Ketua DPR, Puan Maharani bisa menunjukkan capaian open parliament yang selama ini menjadi satu satu tujuan DPR. ”Puan dapat membuat DPR kian dekat dengan rakyat. Inovasi bisa juga dilakukan dengan membuka semua laporan reses anggota DPR sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada publik,” ujarnya.
Citra dengan demikian adalah warna permukaan, sedangkan kebijakan dan bukti pemihakan adalah dagingnya. ”Citra saja tanpa daging atau isinya akan membuat pemilih sulit diyakinkan untuk memilihnya dalam pemilu,” ucapnya.
Tingkatkan kesejahteraan petani
”Daging” itulah yang diharapkan muncul dalam kebijakan politik di bidang pertanian. Selama ini, politisi sering memakai petani dan pertanian sebagai bagian dari kampanye dan pencitraan mereka. Kelompok petani utamanya menginginkan perhatian lebih dari pembuat kebijakan kepada mereka.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat Entang Sastraatmadja mengatakan, politisi sebaiknya memberikan bukti kepedulian kepada petani. ”Politisi sebaiknya banting setir dan jangan mengedepankan pencitraan. Misalnya, untuk kebijakan subsidi pupuk, selama ini diberikan kepada pabrikan. Padahal, sebaiknya subsidi itu diberikan langsung kepada petani. Setiap tahun, nilai subsidi ini mencapai Rp 30 triliun dan semestinya dapat dikelola lebih baik,” ujarnya.
Entang juga mendorong pembuat kebijakan, baik pemerintah maupun DPR, untuk menghidupkan lagi penyuluh pertanian. Selama ini berbeda dengan klaim pemerintah yang menyebutkan penyuluh pertanian sebagai ”kopassus” kementerian karena penyuluh pertanian mati suri di lapangan.
”Pola kebijakan pertanian harus diubah dari semula pembangunan pertanian menjadi pembangunan petani. Dengan pembangunan pertanian, orientasinya peningkatan produksi. Sementara kenyataannya, peningkatan produksi itu tak otomatis menaikkan kesejahteraan petani. Jadi, seharusnya yang disejahterakan petaninya dulu sehingga bisa mendorong produktivitas,” katanya.
Baca juga: Memperkuat Citra dan Kinerja DPR
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani itu dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan mereka, salah satunya dengan menghidupkan penyuluhan pertanian. Petani juga dibantu dalam memasarkan produksinya serta menggalang kembali organisasi tani, yang lagi-lagi itu melibatkan kebijakan politik dan pemihakan.
Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, pencitraan politisi di bidang pertanian bisa saja dilakukan karena itu sudah menjadi natur politisi. Namun, selain pencitraan, masih banyak hal penting yang bisa dilakukan oleh politisi. Salah satunya ialah memikirkan nasib petani.
”Produksi petani kita 20 tahun terakhir ini stagnan. Bahkan, ada penurunan pertumbuhan rata-rata 0,75 persen per tahun. Padahal, ada pertumbuhan penduduk 1,3-1,4 persen di periode yang sama,” katanya.
Artinya, dengan kondisi itu ada defisit pangan di depan mata. Menurut Dwi, politisi seharusnya fokus pada upaya mengatasi persoalan ini ketimbang sibuk memoles citra mereka....