Pemerintah Tampung Berbagai Opsi Revisi Aturan JHT
Pemerintah membuka berbagai opsi kemungkinan arah revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Masukan dari pekerja mengerucut pada tiga opsi, dengan mayoritas tetap meminta permenaker dicabut dan kembali ke aturan lama.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melakukan serangkaian audiensi untuk menampung masukan dari berbagai elemen terkait revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Sejauh ini, opsi revisi yang mengerucut adalah melonggarkan syarat pencairan JHT, menunda masa berlaku Permenaker No 2/2022, atau mencabutnya sekaligus.
Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Retno Pratiwi mengatakan, pemerintah sudah melakukan serap aspirasi dengan sejumlah elemen masyarakat. Akhir pekan lalu, rangkaian audiensi dilakukan dengan pemimpin serikat pekerja dan serikat buruh, serta akan disusul audiensi dengan perwakilan pengusaha, akademisi, dan mahasiswa.
Setelah menampung aspirasi dari berbagai kelompok, pemerintah akan memfinalisasinya dalam pembahasan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tripnas) yang terdiri dari perwakilan unsur serikat buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Revisi Permenaker No 2/2022 dilakukan setelah adanya penolakan luas dari publik, terutama buruh. Aturan yang mengharuskan pekerja menunggu sampai usia 56 tahun untuk mencairkan tabungan JHT-nya itu dinilai merugikan buruh yang selama ini bergantung pada JHT sebagai bantalan sosial saat putus kerja.
Menyusul penolakan itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kemenaker untuk merevisi Permenaker No 2/2022 dan mempermudah tata cara pencairan JHT bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Menurut Retno, pemerintah terbuka terhadap berbagai opsi kemungkinan arah revisi. ”Kami masih menggali aspirasi solusi dan kebutuhan dari masyarakat. Setelah proses serap aspirasi selesai, baru kami tahu langkah arah revisi seperti apa yang nanti akan diambil,” kata Retno saat dihubungi di Jakarta, Senin (28/2/2022).
Adapun dalam audiensi dengan perwakilan serikat buruh dari berbagai konfederasi dan federasi, Jumat (25/2/2022), ada sejumlah opsi yang mengemuka. Pertama, mengembalikan aturan pencairan JHT pada Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, yakni mengizinkan pekerja untuk mencairkan JHT dalam kurun waktu satu bulan setelah kehilangan pekerjaan, baik karena PHK maupun mengundurkan diri (resign).
Kedua, menunda implementasi Permenaker No 2/2022, mengembalikannya pada Permenaker No 19/2015 sembari menata ulang sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Ketiga, menyederhanakan atau melonggarkan syarat pencairan JHT agar pekerja yang di-PHK tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mencairkan tabungannya.
Wakil Presiden Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko mengatakan, sekitar 80 persen serikat pekerja yang hadir masih menolak seutuhnya Permenaker No 2/2022. Mereka meminta agar aturan pencairan JHT kembali pada aturan lama di Permenaker No 19/2015 yang selama ini berlaku.
Ini menjadi sikap serikat-serikat besar seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
”Menteri Ketenagakerjaan harus mengeluarkan permenaker baru yang isinya hanya dua pasal. Pasal 1, mencabut Permenaker No 2/2022. Pasal 2, memberlakukan lagi Permenaker No 19/2015,” kata Presiden KSPI Said Iqbal.
Sisanya, ujar Sukitman, mengusulkan agar revisi dilakukan terbatas dengan substansi sesuai kesimpulan rapat Badan Pekerja LKS Tripnas, November 2021 lalu. Rapat saat itu merekomendasikan pelonggaran syarat pencairan JHT menjadi minimal 5 tahun masa kepesertaan.
Artinya, pekerja dengan masa kepesertaan 5 tahun ke atas yang putus kerja (baik PHK maupun resign) bisa mencairkan seluruh tabungan JHT-nya. Angka 5 tahun dipilih karena batas masa kontrak pekerja yang berlaku saat ini maksimal 5 tahun. Menurut Sukitman, hasil rapat badan pekerja itu tidak pernah diputuskan resmi dalam rapat pleno karena pemerintah secara sepihak mengeluarkan Permenaker No 2/2022.
Hasil rapat badan pekerja itu tidak pernah diputuskan resmi dalam rapat pleno karena pemerintah secara sepihak mengeluarkan Permenaker 2/2022.
Sebagai perbandingan, Permenaker No 2/2022 hanya mengizinkan pekerja dengan masa kepesertaan 10 tahun ke atas untuk mencairkan JHT. Jumlah yang bisa dicairkan pun terbatas, yakni hanya 30 persen untuk keperluan rumah atau 10 persen untuk persiapan pensiun.
”Kalau syaratnya 5 tahun, setidaknya pekerja di bawah 5 tahun itu tidak usah menunggu terlalu lama setelah di-PHK. Mereka juga masih bisa mengakses Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),” kata Sukitman.
Penataan komprehensif
Opsi tersebut, menurut dia, juga harus dibarengi dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Revisi itu diperlukan untuk membuka akses manfaat JKP pada pekerja yang resign serta pekerja kontrak yang habis masa kontrak. ”Namanya kehilangan pekerjaan, mau PHK atau resign atau habis masa kontrak, seharusnya tetap dapat JKP,” ujarnya.
Opsi lain yang muncul adalah menunda implementasi Permenaker 2/2022 sampai beberapa tahun ke depan. Dalam kurun waktu beberapa tahun itu, aturan yang berlaku adalah Permenaker No 19/2015 dan keseluruhan sistem jaminan sosial nasional ditata ulang secara lebih komprehensif.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, waktu yang lebih lama itu dibutuhkan karena pembenahan sistem Jamsostek tidak cukup hanya lewat merevisi permenaker, tetapi juga Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Waktu dua bulan untuk merevisi Permenaker No 2/2022 sebelum ia berlaku mulai 4 Mei 2022, tidak akan cukup untuk merapikan sistem JHT. ”Apa pun opsi arah revisi yang akan diambil nanti, tidak bisa secara tunggal permenaker saja yang direvisi. UU-nya juga harus direvisi agar filosofi UU dan aturan pelaksananya tidak lagi bertentangan,” katanya.
Meski demikian, berbagai opsi ini masih belum final. Sukitman mengatakan, masih ada sekitar 8 kali pertemuan lagi antara pemerintah dengan serikat buruh sebelum menentukan arah revisi Permenaker No 2/2022. ”Belum ada kesimpulan apa-apa. Nanti masing-masing serikat buruh juga akan bertemu dengan pemerintah secara terpisah,” katanya.