Sesuaikan Revisi Aturan JHT dengan Kebutuhan Pekerja
Arah revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang tata cara pencairan Jaminan Hari Tua harus memperhatikan kondisi kebutuhan riil pekerja saat ini. Buruh meminta agar peraturan itu dicabut, bukan sekadar direvisi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pencairan Jaminan Hari Tua harus disesuaikan dengan kebutuhan pekerja dan kondisi ketenagakerjaan saat ini. Pemerintah mesti melibatkan masukan dari buruh secara aktif sebagai pihak yang akan langsung terdampak peraturan tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, dalam merevisi Peraturan Menaker No 2/2022, pemerintah harus melihat kebutuhan pekerja saat ini. Oleh karena itu, proses revisi permenaker ke depan mesti melibatkan pekerja secara sungguh-sungguh.
”Jaminan Hari Tua masih diperlukan masyarakat sebagai tabungan plus nilai manfaat. Ini berbeda dengan pemerintah yang masih melihat JHT sebagai tabungan masa tua. Itu konteksnya terlalu ideal, baru bisa terjadi kalau kita sudah jadi negara sejahtera dan sistem perlindungan sosial kita sudah tertata,” kata Tauhid, Rabu (23/2/2022).
Seperti diketahui, sebelumnya Kementerian Ketenagakerjaan akan merevisi Permenaker No 2/2022. Keputusan itu diambil seusai pertemuan antara Presiden Joko Widodo, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (21/2/2022).
Dalam pertemuan tersebut, Presiden memerintahkan agar tata cara dan persyaratan pencairan JHT dapat dipermudah dan disederhanakan supaya dana JHT bisa diambil pekerja yang sedang mengalami masa sulit. Pemerintah belum menentukan arah revisi Permenaker No 2/2022 dan masih mau menampung masukan dari berbagai pihak.
Saat ini, kelompok buruh meminta agar pemerintah dengan tegas mencabut Permenaker No 2/2022 dan mengembalikan Permenaker No 19/2015 yang berlaku sebelumnya. Dalam permenaker itu, pekerja masih diizinkan mencairkan tabungan JHT-nya saat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mengundurkan diri dari tempat bekerja tanpa menunggu usia pensiun (56 tahun).
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti menilai, dalam kondisi saat ini, solusi jalan tengah belum tepat diambil. Pemerintah tidak cukup hanya merevisi Permenaker No 2/2022 atau menunda implementasi peraturan tersebut, tetapi perlu mencabutnya dan mengembalikan Permenaker No 19/2015.
”Karena nanti sama saja dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja, pemerintah seharusnya menunda (kebijakan dan peraturan turunan baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja), tetapi kenyataannya tetap saja dijalankan,” kata Dian.
Menurut dia, kebijakan tersebut tidak tepat diterapkan di tengah kondisi ketenagakerjaan yang merugikan buruh pasca-keluarnya UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja. Mulai dari status hubungan kerja yang didesain terlalu fleksibel dan proses PHK yang dimudahkan (easy hire easy fire), sampai kenaikan upah yang ditahan hingga berada di bawah tingkat inflasi.
”Seolah UU Cipta Kerja belum cukup merugikan buruh sehingga perlu dilengkapi dengan kebijakan baru Permenaker No 2/2022 ini,” ujarnya.
Seolah UU Cipta Kerja belum cukup merugikan buruh sehingga perlu dilengkapi dengan kebijakan baru Permenaker No 2/2022.
Memperpanjang transisi
Adapun opsi lain disampaikan anggota Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng, yang mengusulkan agar revisi Permenaker No 2/2022 tetap sejalan dengan penataan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dengan kata lain, untuk saat ini, peraturan yang berlaku tetap sesuai dengan isi Permenaker No 19/2015. Namun, setelah kurun waktu tertentu, JHT dikembalikan sebagai tabungan masa tua.
Menurut Robert, klausul yang perlu diubah adalah memperpanjang masa transisi penerapan Permenaker No 2/2022 menjadi beberapa tahun ke depan. Dari yang awalnya tiga bulan (berlaku mulai Mei 2022) menjadi satu-dua tahun (berlaku mulai tahun 2023-2024).
Masa transisi itu diperlukan untuk menata ulang berbagai program perlindungan sosial lain di luar Jamsostek serta membenahi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai alternatif pengganti JHT kelak. ”Selain diperkirakan pandemi sudah bisa lebih terkendali dalam dua tahun ke depan, juga agar pelaksanaan JKP bisa ditata lebih baik sebagai bantalan sosial-ekonomi buruh,” ujarnya.
Ombudsman juga mengusulkan agar pemerintah menghapus batas usia pensiun 56 tahun dari Permenaker No 2/2022 agar tidak merugikan pekerja yang mau pensiun dini. Dengan demikian, pekerja pada kisaran usia 40 tahun tetap bisa mencairkan tabungan JHT-nya saat mengajukan pensiun dini.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah masih menampung berbagai masukan. Dalam proses revisi, pemerintah akan mempertimbangkan konteks kondisi sosiologis masyarakat saat ini, tetapi juga akan mengkaji aspek yuridis formil dari peraturan tersebut.
”Tentu kita akan perhatikan kondisi kontekstual pekerja saat ini, tetapi jangan juga kita mengabaikan harmonisasi dengan regulasi lain, itu juga bisa jadi persoalan. Nanti dicari jalan keluar terbaik,” kata Anwar.
Terkait tuntutan buruh agar Permenaker No 19/2015 dikembalikan, Anwar mengatakan, opsi itu tetap dipertimbangkan meski belum bisa dipastikan. ”Kita tidak bisa langsung mengatakan akan dikembalikan. Kita lihat dulu nanti, apa-apa saja yang harus dibenahi. Perbaikan ini harus mencakup banyak aspek agar benar dan tepat,” katanya.