Selama belum ada program yang efektif dan inklusif untuk melindungi pekerja saat kehilangan nafkah, akses untuk mencairkan Jaminan Hari Tua sebagai dana darurat saat putus kerja masih diperlukan.
Oleh
agnes theodora
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah pekerja konstruksi berada di salah satu proyek di kawasan Karet Tengsin, Jakarta Pusat, Sabtu (19/2/2022). Sosialisasi yang minim dari Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dan kurangnya kepercayaan publik tehadap pemerintah turut memicu penolakan aturan baru Permenaker. Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan saat ini menjadi program yang ditawarkan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi pekerja.
Polemik seputar Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT akhir-akhir ini adalah buah dari keputusan yang keluar di saat tidak tepat, absennya program jaminan kehilangan pekerjaan yang inklusif dan terjangkau bagi buruh saat putus kerja, serta efek bola salju ketidakpercayaan publik pada pemerintah.
Tak dipungkiri, sistem jaminan sosial yang tertata memang dibutuhkan untuk melindungi masyarakat di setiap fase hidup, dari sejak lahir sampai wafat. Oleh karena itu, sekilas, alasan yuridis dan teoretis pemerintah untuk mengembalikan Jaminan Hari Tua (JHT) ke fungsi awalnya sebagai tabungan masa tua sesuai peruntukan dapat dipahami.
Namun, tujuan utama kebijakan publik adalah demi kesejahteraan masyarakat. Karenanya, kebijakan tidak bisa dikeluarkan hanya dengan mempertimbangkan ketepatan aspek yuridis dan teoretisnya saja, melainkan juga memperhitungkan kondisi empirik dan sosiologis masyarakat.
Kebijakan yang benar, tetapi tidak peka dan tidak relevan dengan kebutuhan mayoritas rakyat saat ini, tetap tak akan bisa mencapai tujuan awalnya, yakni menciptakan taraf hidup yang lebih baik untuk orang-orang yang menjadi subyek perlindungannya.
Faktanya, program JHT selama ini (dan terlebih saat ini) masih menjadi harapan pekerja untuk bertahan hidup ketika putus kerja. Tidak semua orang menerima pesangon sesuai hak ketika di-PHK. Apalagi, dengan dalih pandemi Covid-19 yang memukul kondisi usaha serta lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, pesangon yang didapat pekerja kini jauh lebih kecil dari sebelumnya. Di beberapa kasus, pekerja bahkan di-PHK tanpa pesangon.
Tidak semua orang pula punya kemewahan untuk menabung, berinvestasi, dan memiliki dana darurat, karena harus bertahan hidup hanya dari gaji bulanan (paycheck to paycheck). Apalagi, di saat pandemi, sebagian besar masyarakat berada di kondisi finansial yang lebih rentan dari biasanya.
Maka, sebelum terburu-buru menutup akses pekerja pada tabungan pensiunnya, ada beberapa hal yang harus dipastikan pemerintah. Pertama, apakah sudah ada program lain yang sepadan untuk melindungi pekerja saat kehilangan nafkah?
Memang benar ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dalam waktu dekat segera diluncurkan. Namun, program itu masih sangat eksklusif untuk pekerja formal tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/PKWTT) yang di-PHK. Program itu luput memperhatikan nasib pekerja yang mengundurkan diri (resign) dan pekerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT) yang habis masa kontrak.
Tidak semua orang pula punya kemewahan untuk menabung, berinvestasi, dan memiliki dana darurat, karena harus bertahan hidup hanya dari gaji bulanan ( paycheck to paycheck).
Padahal, pekerja kontrak masih mendominasi struktur angkatan kerja formal di Indonesia. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang diolah Bank Dunia, pada 2019, pekerja kontrak (temporer) mencapai 59 persen atau 17.730.396 orang dari total pekerja formal. Jumlah ini bakal semakin banyak pasca-UU Cipta Kerja yang mendorong pasar kerja fleksibel, seperti kemudahan mempekerjakan pekerja kontrak dan alihdaya (outsource).
Pekerja yang resign juga mendominasi alasan klaim JHT selama lima tahun terakhir ini. Data BP Jamsostek, jumlah klaim JHT yang disebabkan oleh alasan resign berada di kisaran 70 persen. Sebelum pandemi, pada 2019, jumlahnya 77,65 persen. Setelah pandemi, pada 2020, jumlahnya 75,76 persen.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas melayani nasabah yang akan mengurus pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Jakarta Sudirman, Jakarta, Selasa (15/2/2022). Keputusan Pemerintah terkait pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) masih menuai polemik. Melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) RI Nomor 2 Tahun 2022 menetapkan pekerja peserta program JHT yang mengundurkan diri atau pekerja yang terkena PHK baru akan mendapatkan tabungan JHT saat berusia 56 tahun.
Untuk pekerja yang tidak tercakup dalam JKP ini, pemerintah menawarkan berbagai program bantuan sosial lain, seperti Kartu Prakerja dan UMi (bantuan pinjaman modal untuk pelaku usaha mikro-kecil). Namun, opsi-opsi itu terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, tidak ada jaminan pekerja bersangkutan bisa mengaksesnya. Lagipula, tidak semua orang resign atas kemauan sendiri atau untuk memulai usaha. Ada banyak faktor, dari lingkungan kerja yang toxic, sampai ‘dipaksa’ untuk resign agar perusahaan tak perlu membayarkan pesangon.
Sulit diakses
Kedua, apakah JKP sudah bisa diakses oleh pekerja yang berhak? Seperti diketahui, untuk bisa terdaftar di JKP, pekerja harus terdaftar di program Jamsostek lainnya. Usaha besar dan menengah harus mengikutsertakan pekerjanya di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), JHT, Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM). Sementara, usaha mikro dan kecil setidaknya di program JKN, JKK, JHT, dan JKM.
Selama ini, rendahnya kepatuhan pengusaha untuk mendaftarkan pekerjanya ke Jamsostek menjadi problem klasik yang membuat jaring pengaman sosial bagi pekerja begitu rapuh. Masih banyak kasus di mana pengusaha tidak mendaftarkan pekerjanya atau hanya sebagian pekerjanya, untuk menghindari kewajiban membayar iuran.
Data BP Jamsostek, sampai Desember 2021, baru 10,9 juta pekerja yang terdaftar di program JKP. Jumlah itu masih jauh di bawah 30,6 juta pekerja yang menjadi peserta aktif BP Jamsostek per Desember 2021, atau baru setengah dari total 20,8 juta orang pekerja formal yang terdaftar sebagai peserta penerima upah.
Ketiga, apakah program JKP dapat diakses pekerja dengan mudah (accessible)? Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JKP yang mewajibkan pekerja untuk mengajukan klaim manfaat JKP paling lambat tiga bulan sejak dikenai PHK membuat pekerja sulit mengakses manfaat JKP. Sebab, realitanya, proses perselisihan hubungan industrial terkait PHK biasanya memakan waktu lama, di atas tiga bulan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah pekerja proyek sibuk melihat gawai masing-masing saat jam isitirahat makan siang di salah satu lokasi pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (17/2/2022). Pemerintah diharapkan dapat menunda Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua untuk mengevaluasi kesiapan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai pengganti Jaminan Hari Tua (JHT).
Dengan batas waktu tiga bulan itu, pekerja seolah dihadapkan pada pilihan untuk menerima begitu saja keputusan perusahaan demi bisa cepat-cepat mengklaim manfaat JKP, atau kukuh memperjuangkan hak-hak pesangonnya dengan risiko kehilangan hak uang tunai dari JKP.
Jika berbagai problem di atas belum diatasi, JKP hanya bisa dinikmati segelintir pekerja saja. Ini mungkin bukan masalah besar jika pekerja masih bisa mengakses dana JHT-nya. Namun, dengan Permenaker No 2/2022, orang-orang yang tidak terlindungi JHT maupun JKP akan kesulitan menyambung hidup. Konsekuensinya, masyarakat bisa jatuh ke jurang kemiskinan atau terjebak dalam lingkaran setan rentenir dan pinjaman daring.
Penolakan kuat buruh, termasuk dari serikat buruh yang selama ini ada di lingkaran dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional, dapat dipahami. Sebab, persoalan ini semendesak urusan bertahan hidup (survival). Perkara penting ini menjadi semakin genting ketika level kepercayaan kelas pekerja pada pemerintah berada di titik nadir, setelah dua tahun terakhir ini dihadapkan pada kebijakan bertubi-tubi yang mereduksi hak pekerja.
Ketika kita mengunci akses pekerja ke dana JHT, yang terjadi di berbagai negara justru sebaliknya. Kajian “Access to Mandatory Retirement Savings in Times of Covid-19: Public Policy Considerations” oleh Inter-American Development Bank menunjukkan, krisis sosial-ekonomi akibat Covid-19 membuat berbagai negara melonggarkan aturan pencairan dana pensiunnya. Pelonggaran untuk mengakses dana pensiun sebelum usia tua itu bahkan dilakukan di negara yang sudah memiliki program jaminan kehilangan pekerjaan.
Krisis sosial-ekonomi akibat Covid-19 membuat berbagai negara melonggarkan aturan pencairan dana pensiunnya.
Negara-negara itu tentunya juga menghadapi dilema antara melonggarkan pencairan dana pensiun dengan menjaga ketahanan dana tabungan pensiun. Namun, kajian itu menunjukkan, ada macam-macam cara yang bisa ditempuh untuk tetap menjaga tata kelola investasi dana pensiun tanpa harus mengabaikan masyarakat yang sedang dalam kesulitan.
Kompas
Klaim Jaminan Hari Tua (JHT) Disebabkan PHK Infografik
Satu kata: tunda
Oleh karena itu, Permenaker No 2/2022 perlu ditunda sementara penerapannya. Penataan sistem jaminan sosial nasional memang diperlukan demi menjamin kesejahteraan rakyat dari masa muda hingga tua. Namun, jalan menuju sistem yang tertata rapi itu tidak bisa dilakukan dengan gegabah, terburu-buru, serta menerabas perlindungan bagi mayoritas pekerja yang paling membutuhkan, terlebih di tengah situasi saat ini.
Penundaan diperlukan untuk beberapa tahun, tidak hanya tiga bulan sebagaimana saat ini tertera di peraturan tersebut. Setidaknya, sampai JKP sudah berjalan, dapat diperbaiki kekurangannya, dan kita punya program jaminan kehilangan kerja yang inklusif dan efektif untuk menjadi bantalan pekerja saat putus kerja. Saat itulah, JHT bisa dikembalikan ke khitahnya untuk menjamin kesejahteraan masyarakat di hari tua nanti.
Jika memang murni bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat dan menata sistem jaminan sosial nasional, jika memang kondisi ketahanan dana BP Jamsostek masih aman sebagaimana klaim pemerintah, jika memang tak ada maksud lain di balik kebijakan ini, seharusnya pemerintah tidak perlu ragu dan berat hati untuk menunda sementara implementasi Permenaker No 2/2022.