Pemerintah patur mencermati kenaikan harga minyak mentah dunia. Terutama dampaknya terhadap harga jual BBM dalam negeri dan subsidi energi.
Oleh
ARIS PRASETYO, MEDIANA, ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren naiknya harga minyak mentah dunia yang tembus ke level 90-an dollar AS per barel bakal menekan harga jual bahan bakar minyak di dalam negeri. PT Pertamina (Persero) sudah menaikkan harga sejumlah bahan bakar nonsubsidi sejak akhir pekan lalu. Ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah harus direspons tepat.
Berdasar laman Bloomberg pada Senin (14/2/2022) sore, harga minyak mentah jenis Brent ada di level 94,54 dollar AS per barel. Ini adalah level harga tertinggi sejak 2014 lalu. Selain naiknya permintaan energi di sejumlah negara yang pulih dari pandemi, tensi ketegangan hubungan Rusia dan Ukraina yang terus meninggi turut memengaruhi harga minyak mentah dunia. Pasar khawatir akan ada masalah dalam pasokan apabila perang antara Rusia dan Ukraina meletus.
Di dalam negeri, harga sejumlah bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi turut terdampak akibat melambungnya harga minyak mentah dunia tersebut. Per Sabtu (12/2/2022), Pertamina menaikkan harga BBM jenis Pertamax Turbo (RON 98), Pertamina Dex, dan Dexlite. Pertamina Dex dan Dexlite adalah nama pasar untuk BBM jenis solar non-subsidi.
Pertamax Turbo naik dari Rp 12.000 per liter menjadi Rp 13.500 per liter. Adapun Pertamina Dex naik dari Rp 11.050 per liter menjadi Rp 13.200 per liter. Adapun jenis Dexlite naik dari Rp 9.500 per liter menjadi Rp 12.150 per liter. Untuk harga Pertamax dan Pertalite, dua jenis BBM yang banyak dipakai konsumen, masih tetap, yaitu masing-masing Rp 9.000 per liter dan Rp 7.650 per liter untuk wilayah Jawa dan Bali.
Menurut Penjabat Sementara Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina di sektor hilir, Irto Ginting, kenaikan harga sejumlah BBM nonsubsidi tersebut adalah penyesuaian terhadap perkembangan terkini dari industri minyak dan gas. Harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) pada Januari 2022 ditetapkan pemerintah sebesar 85,89 dollar AS per barel, naik sekitar 12,53 dollar AS per barel dari Desember 2021 yang 73,36 dollar AS per barel.
”Jenis BBM nonsubsidi, jenis pertamax dan pertalite, tidak mengalami penyesuaian harga. Meningkatnya harga minyak mentahnya pasti memberi tekanan kepada kami di hilir,” ujar Irto saat dihubungi, Senin.
Terkait respons pemerintah terhadap melonjaknya harga minyak mentah dunia tersebut, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji tidak menjawab pertanyaan Kompas saat dihubungi lewat ponselnya hingga Senin sore. Sebelumnya, dalam konferensi pers kinerja subsektor migas pada 19 Januari lalu, Tutuka mengatakan bahwa pemerintah masih terus mengamati fluktuasi harga migas dunia. Menurut dia, harga migas belum bisa ditebak terkait dengan risiko geopolitik.
Terkait lonjakan harga minyak mentah dunia, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, keputusan Pertamina menaikkan harga jual sejumlah BBM nonsubsidi adalah langkah yang wajar. Penyesuaian harga BBM nonsubsidi dilakukan lantaran harga minyak mentah sebagai bahan baku utama BBM naik tinggi. Porsi minyak mentah dalam pembentukan harga BBM bisa mencapai 60 persen.
”Mencermati perkembangan yang ada, harga BBM nonsubsidi, terutama untuk BBM yang dijual Pertamina, menjadi cukup berdasar jika kemudian disesuaikan. Kami memperkirakan tren kenaikan harga minyak mentah akan terus berlangsung hingga akhir 2022,” ucap Komaidi.
Komaidi menambahkan, secara teori, potensi dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi relatif kecil dan terkendali. Pasalnya, BBM nonsubsidi tidak berperan besar dalam kegiatan produksi barang dan jasa di dalam negeri. Berbeda apabila harga BBM jenis premium dan biosolar (solar bersubsidi) dinaikkan, dampak terhadap inflasi bisa signifikan.
Cadangan baru
Sementara itu, untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah dan BBM, menurut Komaidi, pencarian sumber cadangan migas yang baru harus terus digalakkan. Separuh dari kebutuhan BBM di dalam negeri diperoleh dari impor. Sementara 70 persen dari kebutuhan elpiji domestik juga didapat dari impor.
”Eksplorasi menjadi kunci (untuk mengurangi ketergantungan impor minyak dan BBM). Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki iklim investasi di sektor hulu migas karena modal pemerintah dan BUMN terbatas untuk sektor hulu sehingga membutuhkan mitra (investor),” kata Komaidi.
Separuh dari kebutuhan BBM di dalam negeri diperoleh dari impor. Sementara 70 persen dari kebutuhan elpiji domestik juga didapat dari impor.
Dari catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi minyak mentah dalam negeri terus merosot dalam enam tahun terakhir. Pada 2016 lalu, produksi minyak tercatat sebanyak 831.000 barel per hari dan merosot menjadi 801.000 barel per hari pada 2017. Pada 2018 sampai 2020, produksi minyak masing-masing adalah 772.000 barel per hari, 746.000 barel per hari, dan 706.000 barel per hari. Penurunan produksi terus berlanjut menjadi 660.000 barel per hari pada 2021.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, saat dihubungi, mengatakan, dengan tren tingginya harga minyak mentah dunia saat ini, hal ini sebenarnya menjadi kesempatan untuk berinvestasi lebih masif dan agresif di hulu migas. SKK Migas mendorong para kontraktor kontrak kerja sama (K3S) untuk menggenjot produksi minyak di Indonesia.
Pada tahun 2022, SKK Migas menargetkan produksi siap jual (lifting) minyak mencapai 703.000 barel per hari. Pada tahun yang sama, target investasi hulu migas ditetapkan sebesar 13 miliar dollar AS. Agar iklim investasi hulu migas di Indonesia menarik, menurut Dwi, diperlukan perbaikan keekonomian masing-masing lapangan migas. Kemudian, regulasi perpajakan disederhanakan, termasuk penyederhanaan birokrasi.