Fenomena Ghozali yang viral melanjutkan beberapa hal ”mengejutkan” di industri non-fungible token/NFT. Industri ini membuka peluang besar bagi para seniman dan kreator digital Tanah Air untuk memonetisasi karyanya.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Apa yang istimewa dari wajah Ghozali (22) hingga foto hasil swafotonya laku dengan harga fantastis? Apa untungnya mengoleksi foto diri Ghozali? Kehadirannya melanjutkan fenomena-fenomena baru penuh kejutan di industri non-fungible token atau NFT yang makin semarak di jagat rantai blok beberapa tahun terakhir.
Ghozali menjual foto dirinya di platform OpenSea, lokapasar NFT berbasis peer-to-peer, dengan nama akun Ghozali Everyday. Foto-foto yang dijual merupakan hasil jepretan yang dia ambil sejak umur 18 tahun hingga 22 tahun saat ini atau selama kurun 2017-2021. ”Ini benar-benar foto saya berdiri di depan komputer hari demi hari,” tulisnya dalam profil OpenSea.
Per Kamis (13/1/2022) pukul 11.30, mahasiswa semester VII Program Studi Animasi Universitas Dian Nuswantoro Semarang itu telah mengunggah dan menjajakan 933 item fotonya di OpenSea. Dia mematok harga terendah 0,001 ETH per item atau sekitar Rp 48.000 per item dengan asumsi 1 ETH sekitar Rp 48 juta. Pada Rabu (12/1/2022), lewat akun Twitter @Ghozali_Ghozalu, dia mencuit bahwa dalam tiga hari fotonya tersisa 331 NFT.
”Anda dapat melakukan sesuatu seperti flipping atau apa pun, tetapi tolong jangan menyalahgunakan foto saya atau orangtua saya akan sangat kecewa kepada saya. Saya percaya pada kalian, jadi tolong jaga foto-foto saya,” demikian pesan Ghozali di cuitan tersebut.
Satu dari 933 foto itu, yakni nomor #528 atau foto Ghozali mengenakan kaus abu-abu dan kain berwarna oranye di pundak kanan, mengalami lonjakan harga yang luar biasa. Jika pada Selasa (11/1/2022) Ghozali menjualnya dengan harga 0,001 ETH, oleh pemilik barunya ditawarkan dengan harga 66.346 ETH atau Rp 3,18 triliun dengan asumsi Rp 48 juta per ETH, pada Kamis siang. Sehari sebelumnya, koleksi ini telah dua kali berpindah tangan dengan harga pembelian masing-masing sekitar Rp 6,72 juta (0,14 ETH) oleh pembeli kedua dan Rp 19,15 juta (0,399 ETH) oleh pembeli ketiga.
Dalam wawancara dengan TVKU, televisi Kampus Universitas Dian Nuswantoro, Kamis (13/1/2022), Ghozali yang bernama lengkap Sultan Gustaf Al Ghozali menyatakan, item NFT yang dia jajakan di OpenSea merupakan rangkaian foto yang dia ambil setiap hari sejak tahun 2017. Dia terinspirasi dari video-video timelapse orang lain yang merekam perjalanan hidup sejak lahir hingga menikah untuk melihat perubahan dari waktu ke waktu.
Akan tetapi, apa yang memotivasi para pembeli fotonya? Menurut Ghozali, item-item yang dia jajakan sebenarnya merupakan foto biasa, rekaman sehari-hari yang dia ambil di mana pun berada. Namun, sejumlah orang mengapresiasi konsistensinya memotret diri hari demi hari selama lima tahun. Kegigihan atau persistency itu dianggap bernilai oleh sejumlah pembelinya.
Viral Ghozali di media sosial "memompa" nilai NFT-nya. Oleh karena itu, di tangan pemilik kedua, ketiga, dan selanjutnya, foto-foto Ghozali ditawarkan dan dijual dengan harga berkali-kali lipat. Peluang seperti inilah yang diburu oleh para pedagang NFT, yakni membeli dengan harga murah dan menjualnya dengan harga lebih tinggi, demi keuntungan sebesar-besarnya.
Beda halnya dengan NFT yang dijual sebagai "token fan". Sejumlah klub-klub besar sepak bola dunia menawarkan NFT sebagai bukti keanggotaan, menggalang dana, sekaligus akses sponsor untuk mendanai klub. Klub sepak bola asal Belanda, PSV Eindhoven, misalnya, melelang versi digital Final Piala Eropa 1988 yang dimenangkannya saat melawan Benfica dalam bentuk NFT.
Sementara Inter Milan mempromosikan Token Fan $INTER untuk menciptakan pengalaman baru bagi penggemarnya di seluruh dunia. Dengan mengantongi token tersebut, penggemar akan menjadi bagian dari komunitas digital di Socios.com, sekaligus memiliki kesempatan memengaruhi keputusan klub melalui berbagai jajak pendapat. Para penggemar juga dapat mengakses konten eksklusif terkait klub, menguji keterampilan, dan berhadapan dengan penggemar lain di seluruh dunia dalam permainan, kompetisi, dan kuis.
Fenomena Ghozali melanjutkan beberapa hal ”mengejutkan” di industri NFT. Tahun lalu, misalnya, seorang bocah berumur 12 tahun di London, Inggris, bernama Benyamin Ahmed, menghasilkan sekitar 290.000 poundsterling atau Rp 5,7 miliar dari karyanya. Penghasilan dalam bentuk Ethereum itu dia peroleh dari menjual karya yang disebut ”Weird Whales” dalam bentuk NFT.
Salah satu yang fenomenal adalah karya seniman Mike Winkelmann atau dikenal dengan Beeple, berjudul ”Everydays: The First 5.000 Days”, yang terjual dengan harga 69,3 juta dollar AS di balai lelang pada Maret 2021. Penjualan itu monumental dan dianggap menunjukkan apa yang bisa dilakukan oleh sebuah karya NFT.
NFT secara harfiah merupakan item yang tidak dapat dipertukarkan atau unik. NFT mewakili unit data yang dicatat dan disimpan pada rantai blok (blockchain) sebagai bukti sah kepemilikan aset digital. NFT digunakan untuk mewakili itemyang spesifik, seperti foto, video, audio, dan jenis file digital lain.
Di Indonesia, NFT masih relatif baru, tetapi perkembangannya dinilai menjanjikan. Menurut Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda, pasar NFT di Tanah Air semakin dewasa, tecermin dari makin banyaknya lokapasar NFT yang muncul beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya adalah TokoMall, Paras.id, Kolektibel, Baliola, dan Enevti.
Perkembangan tersebut seolah mewakili keyakinan Don Tapscott, penulis buku Blockchain Revolution, bahwa blockchain akan mempunyai dampak besar pada lanskap keuangan dan bisnis beberapa dekade ke depan. Dengan teknologi ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, manusia di mana pun bisa memercayai satu sama lain dan bertransaksi langsung tanpa perantara. Kepercayaan itu dijamin, bukan oleh institusi besar, melainkan oleh kolaborasi, kriptografi, dan kode cerdas.