Serap 1,2 Juta Ton Beras, Bulog Yakinkan Tak Perlu Impor
Perum Bulog menyerap beras lebih banyak tahun ini daripada dua tahun sebelumnya. Dengan stok yang ada dan proyeksi produksi yang relatif baik pada triwulan I-2022, Indonesia dinilai tidak perlu mengimpor beras.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan usaha milik negara di sektor pangan, Perum Bulog, menyerap 1,2 juta ton beras produksi petani dalam negeri hingga pekan ketiga Desember 2021. Dengan stok yang cukup dan proyeksi produksi yang relatif baik, Bulog meyakini Indonesia tidak perlu mengimpor beras, setidaknya hingga triwulan I-2022.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/12/2022), menyatakan, realisasi 1,2 juta ton beras hasil pengadaan dalam negeri itu lebih tinggi dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya. ”Penyerapan ini membantu petani yang kesulitan menjual beras selama pandemi Covid-19,” ujarnya.
Budi Waseso menambahkan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional pada triwulan I- 2022 diperkirakan mencapai 11,61 juta ton. Dengan kebutuhan sekitar 2,6 juta ton per bulan, jumlah itu mencukupi kebutuhan konsumsi beras di dalam negeri.
Terkait proyeksi produksi tersebut, Bulog menyatakan siap menyerapnya untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani. ”Selain untuk memupuk stok sebagai cadangan beras pemerintah, penyerapan gabah/beras petani dalam negeri menggerakkan perekonomian di tingkat petani sehingga dapat memulihkan roda perekonomian,” ujarnya.
Sepanjang tahun lalu, Bulog menyerap 752.079 ton beras petani, turun dibandingkan dengan realisasi penyerapan tahun 2019 yang mencapai 957.694 ton. Realisasi penyerapan cenderung turun seiring dengan perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan pemerintah.
Realisasi pengadaan beras oleh Bulog cenderung turun lima tahun terakhir, yakni dari 2,96 juta ton tahun 2016 menjadi 1,57 juta ton (2017), lalu 1,21 juta ton (2018), dan 957.694 ton (2019). Penurunan itu terjadi seiring meluasnya cakupan program bantuan pangan nontunai (BPNT) yang menggantikan penyaluran beras melalui program beras keluarga sejahtera (rastra).
Kesejahteraan petani
Produksi beras nasional sepanjang tahun ini, menurut proyeksi BPS, berpotensi mencapai 31,69 juta ton. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tahun lalu yang mencapai 31,33 juta ton meski luas panen turun dari 10,66 juta hektar (2020) menjadi 10,52 juta hektar (2021).
Kenaikan produksi beras tahun ini, antara lain, ditopang oleh produktivitas lahan yang naik karena hujan turun cukup melimpah dan memenuhi kebutuhan pengairan sawah. Selain fenomena La Nina, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) relatif terkendali. Meski demikian, ada risiko lain yang dinilai perlu diantisipasi pemerintah, yakni kepastian pasar dan harga jual yang layak di tingkat petani.
Petani padi di Klaten, Jawa Tengah, Tukimin, dalam webinar ”Penguatan Sistem Pangan Nasional yang Berdaulat dan Tangguh” yang digelar Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP), Selasa, menyatakan, petani membutuhkan kepastian pasar. ”Kami sudah berkali-kali kesulitan menjual gabah dengan harga yang baik seperti terjadi saat awal pandemi tahun lalu,” ujarnya.
Koordinator Nasional KRKP Said Abdullah menyatakan, harga jual merupakan faktor yang krusial bagi kelangsungan usaha petani dan ekonomi perdesaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan petani mendapatkan harga yang layak melalui instrumen yang ada, seperti penyerapan beras oleh Bulog. Dengan demikian, usaha petani bisa tetap jalan dan berkelanjutan.
Menurut Said, harga jual yang baik akan menentukan pendapatan sekaligus kesejahteraan petani. Jika faktor itu terpenuhi, ekonomi desa akan ikut bergerak dan secara agregat akan menopang perekonomian nasional. Apalagi hingga kini komoditas padi masih ditanam dan menjadi sumber penghasilan belasan juta petani di Indonesia.
BPS mencatat, nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan di bawah titik impas 100 sepanjang Februari 2021 hingga November 2021. Artinya, petani tanaman pangan merugi karena indeks harga yang harus mereka bayarkan lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga yang mereka terima. ”Kesejahteraan petani mesti jadi visi pemerintah dalam membangun sektor pertanian,” ujarnya.