Satu per satu beragam persoalan sistem resi gudang (SRG) diurai. Persoalan itu, antara lain, adalah manajemen pengelolaan, ketidakpastian harga jual dan pasar, serta sarana dan prasarana penyimpanan dan pengolahan.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Warehouse receipt system atau sistem resi gudang di Indonesia terus berkembang sejak pertama kali diterapkan pada 20 Agustus 2007. Kendati kerap mengalami pasang-surut, 14 tahun perjalanannya ditutup dengan kepastian pasar yang relatif besar.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) berkomitmen menyerap sejumlah komoditas pangan dari petani, nelayan, petambak, dan peternak yang dikelola berbasis sistem resi gudang (SRG) pada 2022. Aprindo akan menjadi penjamin serapan (offtaker) dan pembeli siaga (standby buyer), terutama untuk sejumlah komoditas yang sudah dikemas dengan baik.
Untuk sejumlah komoditas yang belum dikemas, Aprindo akan menggandeng para mitra pemasok jaringan ritel modern agar bisa mendapatkan kemasan dan dijual di jaringan ritel modern. Para pemasok ini nantinya akan mengikuti lelang komoditas untuk mendapatkan sejumlah komoditas berbasis SRG itu.
Melalui koperasi kelolaannya, Aprindo juga akan merintis pembangunan dan menjadi pengelola gudang SRG. Bagi Aprindo, SRG menjadi salah satu alternatif sumber pasokan jaringan ritel modern. Peritel dapat memperoleh komoditas pangan dari tangan pertama sehingga harga akan lebih baik dibandingkan dengan komoditas sama yang didapat dari tangan kedua dan ketiga.
Bagi para pengelola gudang SRG, petani, peternak, petambak, dan nelayan, mereka bisa mendapatkan kepastian dan memperluas pasar. Aprindo yang beranggotakan sekitar 600 peritel ini memiliki 36.000 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia.
Bagi para pengelola gudang SRG, petani, peternak, petambak, dan nelayan, mereka bisa mendapatkan kepastian dan memperluas pasar.
SRG merupakan instrumen usaha pascapanen yang menerapkan mekanisme tunda jual dan dikelola oleh koperasi atau badan usaha. Sistem ini bertujuan melindungi produsen bahan pangan dan bahan baku industri di saat harga komoditas mereka anjlok.
Ketika harga anjlok, mereka dapat menyimpan hasil panenan di gudang SRG dan menjualnya kembali pada saat harga mulai membaik. Syaratnya, memiliki daya simpan paling sedikit tiga bulan, memenuhi standar mutu tertentu, dan memenuhi jumlah minimum komoditas yang tersimpan.
Mereka akan mendapatkan resi gudang dengan waktu jatuh tempo tertentu dan dapat digunakan sebagai jaminan mendapatkan kredit bank. Resi gudang itu juga dapat diperdagangkan di pasar lelang komoditas, bahkan pasar derivatif atau bursa komoditas berjangka. Khusus di pasar derivatif, resi gudang harus diterbitkan oleh bank, lembaga nonbank, dan pedagang berjangka yang telah mendapatkan persetujuan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Instrumen tunda jual ini juga diadopsi di negara-negara produsen bahan pangan. Beberapa di antaranya adalah Romania, India, Malaysia, Filipina, Hongaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slowakia, Bulgarian Cesnia, Polandia, Kazakstan, Turki, dan Meksiko.
Di Indonesia, instrumen tersebut diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang SRG. Semula komoditas yang dikelola berbasis SRG ini hanya gabah, beras, dan garam. Kini jumlahnya bertambah 17 komoditas, yaitu jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, rotan, gambir, teh, kopra, timah, bawang merah, ikan, pala, ayam karkas beku, gula kristal putih, dan kedelai.
Dalam penerapannya, banyak kendala yang dihadapi. Misalnya saja, kualitas panenan kurang memenuhi persyaratan, perbankan enggan menjadikan resi gudang sebagai jaminan kredit, dan banyak petani yang terjerat ijon sehingga tidak dapat menjaminkan hasil panenan ke gudang SRG.
Selain itu, tak banyak badan usaha atau koperasi yang mau mengelola gudang SRG lantaran kurang menguntungkan, tidak dilengkapi dengan sarana pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau produk olahan, serta tidak ada kepastian harga jual dan pasar.
Tidak mengherankan jika sejak pertama diluncurkan di Indonesia, pertumbuhan gudang SRG sangat lambat. Kementerian Perdagangan mencatat, hingga Juni 2021 terdapat 123 gudang berbasis SRG yang tersebar di 105 kabupaten dan kota di 25 provinsi. Namun, tidak semua gudang berbasis SRG itu terkelola dan beroperasi dengan baik.
Dari jumlah tersebut, hanya 28 gudang yang berjalan baik dan dikelola secara berkelanjutan, 29 gudang mulai aktif dan berkembang, 43 gudang berhenti beroperasi, dan 23 gudang sama sekali belum pernah dimanfaatkan.
Pemerintah berupaya mengurai persoalan-persoalan tersebut secara bertahap. Hal itu mulai dari pembenahan manajemen pengelolaan hingga penyediaan sarana dan prasarana penyimpanan dan pengolahan, seperti mesin penggiling padi, ruang penyimpanan terkondisi (controlled atmosphere storage/CAS), dan alat-alat pengemasan.
Hingga Juni 2021 terdapat 123 gudang SRG yang tersebar di 105 kabupaten dan kota di 25 provinsi. Dari jumlah tersebut, hanya 28 gudang yang berjalan baik dan dikelola secara berkelanjutan.
Selain itu, kolaborasi dengan perbankan, lembaga nonbank, lembaga penjaminan, badan usaha milik negara, dan peritel modern juga dilakukan untuk mendapatkan pembiayaan dan kepastian pasar. Meski belum menjangkau semua gudang SRG, upaya-upaya itu mulai membuahkan hasil.
Bappebti mencatat, hingga 22 Desember 2021, nilai penerbitan resi gudang mencapai Rp 501,6 miliar dengan total pembiayaan mencapai Rp 347,6 miliar. Capaian positif pengelolaan SRG itu jauh lebih tinggi dari realisasi SRG pada 2020 yang nilai penerbitan resinya sebesar Rp 191,21 miliar dengan total pembiayaan Rp 117,72 miliar.
Semoga beres-beres berbagai persoalan SRG ini terus berlanjut agar mekanisme perlindungan produsen bahan pangan dan bahan baku industri semakin kuat. Sembari memperkuat kualitas produknya, model bisnis per komoditas juga perlu dibangun. Salah satunya melalui integrasi SRG dengan pasar lelang dan bursa berjangka komoditas yang tengah dirintis Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX).