Mengawal Garuda Tetap Mengangkasa
Kementerian BUMN optimistis proses restrukturisasi lewat jalur pengadilan itu bisa membuahkan homologasi, peluangnya sekitar 70 persen. Sementara itu, Garuda Indonesia akan fokus menjadi maskapai yang simpel.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berkomitmen menyelamatkan maskapai nasional itu. Restrukturisasi utang dan transformasi bisnis dilakukan agar maskapai yang telah berusia 72 tahun itu tetap dapat mengangkasa.
Rencana keberlanjutan bisnis apabila proses restrukturisasi utang berhasil telah disiapkan. Di sisi lain, sejumlah langkah antisipatif juga digulirkan jika dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) tersebut Garuda dinyatakan pailit.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, proses PKPU diharapkan bisa mulai berjalan pada Januari 2022. Prosesnya akan berlangsung selama 270 hari dan diperkirakan akan mulai mengerucut pada Maret atau April 2022.
Ia juga optimistis proses restrukturisasi lewat jalur pengadilan itu bisa membuahkan homologasi atau perdamaian secara hukum. Peluang homologasi itu tercapai sekitar 70 persen.
”Rasanya tidak mungkin jika kreditor mengarah ke pailit. Bagaimanapun juga mereka akan mencari perdamaian agar bisnis mereka tetap jalan. Kalau pailit, paling recovery rate (pengembalian utang) hanya 3 persen, bahkan bisa jadi 0 persen. Itu pun yang diprioritaskan adalah untuk bayar utang pajak dan upah pekerja,” kata Kartika dalam wawancara khusus dengan Kompas di awal Desember 2021.
Rasanya tidak mungkin jika kreditor mengarah ke pailit. Bagaimanapun juga mereka akan mencari perdamaian agar bisnis mereka tetap jalan.
Menurut Kartika, manajemen Garuda telah mengajukan proposal restrukturisasi utang dan rencana bisnis ke depan kepada para kreditor. Terhadap para lessor (perusahaan sewa guna) pesawat, pemerintah dan Garuda berupaya mengurangi jumlah pesawat yang disewa dan menekan tarif sewa pesawat sebesar 40-50 persen dari tarif saat ini.
Untuk bank-bank milik negara, Pertamina, Airnav, dan Gapura Angkasa, lanjut Kartika, akan ditawarkan obligasi tanpa bunga hingga jatuh tempo (zero coupon bonds). Jadi, utang Garuda akan dikonversi menjadi obligasi tersebut hingga ke depan nilai nominalnya akan sama dengan utang saat ini.
Baca juga :
- Mati Hidup Garuda Indonesia
- Rindu Mengangkasa Bersama Garuda
- Garuda Indonesia Berjuang Tetap Mengangkasa
Terhadap pemilik sukuk global, Angkasa Pura I dan II, serta perbankan swasta, manajemen Garuda akan menerbitkan surat utang baru dengan kupon yang rendah dengan porsi sekitar 20 persen dari total utang dan sisanya konversi ke ekuitas. Sementara untuk utang pajak, karyawan, dan obligasi wajib konversi, Garuda akan tetap menghitung sebagai utang penuh atau tidak ada penghapusan atau pemotongan.
”Melalui restrukturisasi itu, utang Garuda ditargetkan dapat berkurang dari 9,756 miliar dollar AS menjadi 3,68 miliar dollar AS,” kata Kartika.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengaku, proses negosiasi dengan para kreditor, terutama lessor, berjalan terus. Proposal restrukturisasi sudah disebarkan kepada para kreditor dan semestinya sudah diterima semua.
Respons terhadap proposal bisa saja bermacam-macam karena keinginan setiap kreditor berbeda-beda dan berkaitan dengan kelangsungan bisnisnya. Bisa saja ada yang menolak, bisa juga meminta persyaratan tertentu, tetapi ada juga yang masih membutuhkan penjelasan lebih detail dan konkret.
”Sampai hari ini, kami masih menunggu jawaban balik dari masing-masing kreditor atas proposal itu. Kami menyadari, proses restrukturisasi utang ini bakal panjang karena ada 800 kreditor yang harus dihadapi. Paling rumit dan sulit adalah menghadapi para lessor,” ujar Irfan.
Menurut dia, yang terpenting saat ini adalah membangun komunikasi yang baik dengan para kreditor. Ia juga yakin, Garuda bisa melewati masalah yang membelit Garuda saat ini. Nuansa kebatinan di balik diskusi-diskusi yang ada meyakinkan Garuda bisa melewati situasi ini. Ada banyak yang mendukung dibandingkan mereka yang menginginkan Garuda terpuruk.
Dalam rencana bisnis baru, manajemen Garuda ingin fokus menjadi maskapai yang simpel. Garuda tidak akan lagi menyewa semua jenis pesawat dan akan lebih mengedepankan sewa pesawat yang sesuai kebutuhan.
”Apabila kondisi sudah normal, Garuda akan meminta harga sewa pesawat sesuai dengan harga pasar. Kami tidak meminta untuk diturunkan besar-besaran agar semua pihak sama-sama bisa saling menguntungkan,” ujarnya.
Dalam rencana bisnis baru, manajemen Garuda ingin fokus menjadi maskapai yang simpel. Garuda tidak akan lagi menyewa semua jenis pesawat dan akan lebih mengedepankan sewa pesawat yang sesuai kebutuhan.
Baca juga : Wakil Menteri BUMN: Secara Teknis, Garuda Sebenarnya Sudah Bangkrut
Semula, Garuda Indonesia mengoperasikan 125 pesawat, yang terdiri dari 6 pesawat milik Garuda dan 119 pesawat sewa. Dari jumlah yang disewa, sebanyak 57 pesawat berjenis B737-800, 18 pesawat jenis CRJ1000, 13 pesawat jenis ATR72-600, 10 pesawat jenis B777-300, 11 pesawat jenis A330-300, 7 pesawat jenis A330-200, dan 3 pesawat jenis A330-900. Adapun Garuda memiliki pesawat berjenis A330-300.
Pasca-restukturisasi utang
Jika restrukturisasi utang berhasil, Garuda Indonesia membutuhkan dana sebesar 700 juta dollar AS-1,5 miliar dollar AS untuk menjalankan model bisnis barunya. Para pemilik saham lama, termasuk pemerintah, mau tidak mau harus menyetorkan dana ekuitas sesuai dengan mekanisme atau protokol pasar modal.
Kartika mengaku belum mengetahui jumlah dana yang nanti akan disetorkan pemerintah. Yang menjadi tantangan dalam tahapan ini adalah proses politik untuk mendapatkan pendanaan tersebut.
Akan tetapi, Kementerian BUMN juga tetap mengupayakan Garuda mendapatkan suntikan dana dari APBN. Salah satunya melalui dana program Investasi Pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN) senilai 527 juta dollar AS atau Rp 7,5 triliun yang baru cair Rp 1 triliun.
”Dari dana itu, sebesar 90 juta dollar AS akan digunakan Garuda untuk biaya operasional selama proses restrukturisasi berjalan. Tujuannya adalah meyakinkan para kreditor bahwa pemerintah berkomitmen melanjutkan bisnis Garuda. Kemudian, sisanya 437 juta dollar AS dicairkan setelah proses restrukturisasi kelar untuk menopang bisnis Garuda selanjutnya,” ujarnya.
Namun, jika dana dari pemerintah kurang, lanjut Kartika, Kementerian BUMN dan Garuda akan mencari pendanaan dari pihak ketiga atau investor. Jika mendapatkan dana dari investor, tentu saja konsekuensinya adalah kepemilikan saham pemerintah akan terdilusi.
Pemerintah dan manajemen Garuda sudah menjajaki peluang investasi tersebut ke sejumlah maskapai global. Dua di antaranya adalah Emirates dan Singapore Airlines. ”Kami sudah membuka diri kepada mereka. Jika mereka mau berinvestasi di Garuda, kami akan menyambutnya,” ucap Kartika.
Pemerintah dan manajemen Garuda sudah menjajaki peluang investasi tersebut ke sejumlah maskapai global. Dua di antaranya adalah Emirates dan Singapore Airlines.
Baca juga : Sinyal Diam Jokowi Selamatkan Garuda Indonesia
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, Mufti Anam, berpendapat, persoalan Garuda sebagai maskapai penerbangan nasional tidak hanya bisnis, tetapi juga menyangkut dan menjadi bagian sejarah Indonesia. Jangan sampai nanti sejarah mencatat, maskapai Garuda bangkrut dan disuntik mati di era Kementerian BUMN sekarang.
”Penyelamatan Garuda tidak boleh menggunakan dana IP-PEN. Pemerintah dan manajemen Garuda lebih baik menempuh opsi-opsi restrukturisasi seperti yang telah diajukan dalam proposal,” katanya.
Sementara itu, pengamat penerbangan Gerry Soejatman berpendapat, Garuda Indonesia memang secara teknis bangkrut, tetapi bukan berarti pailit dan harus dilikuidasi. Justru sekarang persoalannya adalah mencari jalan keluarnya.
”Kalau harus dilakukan bailout, saya rasa pemerintah juga sudah enggak mau. Kementerian Keuangan sepertinya sudah benar-benar sangat menghindari pure bailout, cuma kasih duit. Karena kembali lagi, memberikan uang bailout itu cuma mengundurkan masalahnya. Hanya saja, yang diharapkan lessor, Garuda mendapat suntikan dana dari pemerintah,” ujarnya.
Menurut Gerry, persoalan penyelamatan Garuda bukan lagi soal layak dan tidak layak, melainkan lebih ke rembetan di sektor lain, terutama pariwisata dan pengelola bandara serta citra Indonesia. Jangan sampai pemerintahan sekarang disebut gagal menyelamatkan Garuda.
Selain itu, jika Garuda dilikuidasi, pemerintah juga tetap harus melakukan bailout. ”Yang mesti dipikirkan juga adalah kalau mesti likuidasi, berapa nilai bailout perusahaan ini? Tentu, bukan angka yang sedikit,” katanya.
Jika restrukturisasi berhasil, lanjut Gerry, Garuda perlu membenahi sejumlah hal. Pembenahan itu antara lain menurunkan harga tiket tanpa harus mengurangi jaminan kenyamanan dan keamanannya.
Harga tiket Garuda dengan rute yang sama dengan Singapore Airlines saja sudah berbeda jauh. Harga tiket Garuda untuk rute Bangkok-Jakarta pada Desember 2022, misalnya, sebesar Rp 7 juta-Rp 8 juta, sedangkan Singapore Airlines Rp 2,2 juta.
Kondisi ini juga terjadi di penerbangan domestik. Kelas bisnis Garuda rute Jakarta-Banjarmasin bisa mencapai Rp 8 juta, sedangkan kelas bisnis Batik Air hanya Rp 2 juta. Sementara kelas ekonomi Batik Air seharga Rp 1,5 juta-Rp 2 juta, kelas ekonomi Garuda bisa mencapai Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta.
”Kalau Garuda bersikeras main di segmen premium, mau tidak mau jumlah penumpangnya akan menyusut dan bakal kalah saing,” kata Gerry.
Selain itu, Garuda perlu terus menggenjot bisnis kargo seperti yang sudah dilakukan saat ini. Jika arahnya akan memperkuat bisnis penerbangan domestik, kargo domestik perlu dikejar supaya ada aliran uang dan pendapatan.
Garuda juga perlu mendapatkan dukungan insentif dan bantuan transaksional dari pemerintah pusat, bahkan daerah. Insentif itu tidak melulu berupa dana dari APBN, tetapi bisa berupa kerja sama layanan penerbangan bagi para pegawai negeri sipil atau saat ada momen-momen besar pariwisata dan forum-forum internasional.
Baca juga: