Wakil Menteri BUMN: Secara Teknis, Garuda Sebenarnya Sudah Bangkrut
Proposal restrukturisasi utang Garuda Indonesia mulai ditawarkan kepada para kreditor. Opsi penyelamatan lain yang juga diusulkan adalah menjual sebagian saham pemerintah dan menyuntik Garuda dengan dana APBN.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Secara teknis, Garuda Indonesia sebenarnya sudah bangkrut, tetapi secara legal belum. Kementerian Badan Usaha Milik Negara tidak akan membiarkan hal itu terjadi dan terus melanjutkan restrukturisasi utang. Targetnya, utang Garuda bisa berkurang dari 9,756 miliar dollar AS menjadi 3,68 miliar dollar AS.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga masih berupaya meminta dukungan dana APBN untuk menyelamatkan Garuda. Adapun jika pendanaan untuk Garuda masih belum cukup, pendanaan akan diupayakan dari pihak ketiga yang memungkinkan terjadinya dilusi atau penurunan persentase kepemilikan saham pemerintah.
Hal itu mengemuka dalam rapat kerja Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian BUMN yang digelar secara hibrida di Jakarta, Selasa (9/11/2021). Rapat kerja itu dihadiri Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra.
Irfan mengatakan, total utang Garuda Indonesia sebenarnya 9,756 miliar dolar AS. Dari jumlah itu, sebesar 6,351 miliar dollar AS adalah utang Garuda terhadap lessor (perusahaan sewa guna pesawat). Utang sewa pesawat itu diadakan pada periode 2012-2014 dengan tenor yang beragam, yaitu 8-12 tahun.
Utang itu membengkak karena regulasi baru pencatatan laporan keuangan berdasarkan pedoman standar akuntansi keuangan (PSAK). Ada perubahan pengakuan kewajiban pada biaya sewa pesawat, dari semula tercatat sebagai biaya operasional kini diwajibkan dicatat sebagai utang kendati masih harus dibayarkan kemudian.
”Kami menyadari proses restrukturisasi utang ini bakal panjang karena ada 800 kreditor yang harus dihadapi. Paling rumit dan sulit adalah menghadapi para lessor,” katanya.
Sementara Kartika menuturkan, beban utang yang sangat besar itu juga berimbas pada kondisi ekuitas Garuda. Per September 2021, ekuitas Garuda negatif 2,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 40 triliun dengan tambahan negatif ekuitas setiap bulan mencapai 110 juta dollar AS-150 juta dollar AS atau Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun.
”Melihat kondisi utang dan ekuitas itu, secara teknis sebenarnya Garuda Indonesia sudah bangkrut, tetapi secara legal belum. Semua kewajiban Garuda sudah tidak dibayar, bahkan gaji pun sebagian besar ditahan. Kendati begitu, kami tidak putus asa dan mencoba mencari jalan keluar, yaitu melalui restrukturisasi utang dan transformasi bisnis,” ujarnya.
Melihat kondisi utang dan ekuitas itu, secara teknis sebenarnya Garuda Indonesia sudah bangkrut, tetapi secara legal belum. Kendati begitu, kami tidak putus asa dan mencoba mencari jalan keluar, yaitu melalui restrukturisasi utang dan transformasi bisnis.
Kartika menjelaskan, yang menjadi kunci sukses restrukturisasi utang Garuda adalah persetujuan dari kreditor, baik itu perbankan, pemegang sukuk, PT Pertamina (Persero) Tbk, dan terutama lessor. Saat ini, sebesar 65 persen utang Garuda adalah utang terhadap 32 lessor.
Garuda dan Kementerian BUMN telah mengajukan proposal restrukturisasi utang kepada para kreditor yang akan diluncurkan pekan ini. Terhadap para lessor, pemerintah dan Garuda berupaya mengurangi jumlah pesawat yang disewa dan menekan tarif sewa pesawat sebesar 40-50 persen dari tarif saat ini.
Untuk bank-bank milik negara, Pertamina, Airnav, dan Gapura Angkasa, lanjut Kartika, akan ditawarkan obligasi tanpa bunga hingga jatuh tempo (zero coupon bonds). Jadi utang Garuda akan dikonversi menjadi obligasi tersebut hingga ke depan nilai nominalnya akan sama dengan utang saat ini.
Terhadap pemilik sukuk global, Angkasa Pura I dan II, serta perbankan swasta, manajemen Garuda akan menerbitkan surat utang baru dengan kupon yang rendah dengan porsi sekitar 20 persen dari total utang dan sisanya konversi ke ekuitas. Sementara untuk utang pajak, karyawan, dan obligasi wajib konversi, Garuda akan tetap menghitung sebagai utang penuh atau tidak ada penghapusan atau pemotongan.
”Melalui restrukturisasi itu, utang Garuda ditargetkan dapat berkurang dari 9,756 miliar dollar AS menjadi 3,68 miliar dollar AS,” kata Kartika.
Melalui restrukturisasi itu, utang Garuda ditargetkan dapat berkurang dari 9,756 miliar dollar AS menjadi 3,68 miliar dollar AS.
Dalam kesempatan itu, Kartika juga menyampaikan, kebutuhan dana Garuda pasca-restrukturisasi sebesar 1 miliar dollar AS-1,5 miliar dollar AS. Jika pendanaan untuk Garuda masih belum cukup, pemerintah dan Garuda akan mencari pendanaan dari pihak ketiga yang memungkinkan terjadinya dilusi atau penurunan persentase kepemilikan saham pemerintah.
Kementerian BUMN juga berharap dukungan Komisi VI DPR agar Garuda tetap mendapatkan suntikan dana dari APBN. Caranya adalah melalui dana program Investasi Pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN) senilai 527 juta dollar AS atau Rp 7,5 triliun yang baru cair Rp 1 triliun.
”Dari dana itu, sebesar 90 juta dollar AS akan digunakan Garuda untuk biaya operasional selama proses restrukturisasi berjalan. Tujuannya adalah meyakinkan para kreditor bahwa pemerintah berkomitmen melanjutkan bisnis Garuda. Kemudian sisanya, 437 juta dollar AS, dicarikan setelah proses restrukturisasi kelar untuk menopang bisnis Garuda selanjutnya,” kata Kartika.
Sembari menyelesaikan restrukturisasi, lanjut Kartika, Garuda terus menjalankan transformasi bisnis, antara lain dengan cara mengoptimalkan rute-rute domestik, meningkatkan kontribusi pendapatan kargo, serta mengurangi jumlah dan jenis pesawat. Jumlah pesawat Garuda dan Citilink ditargetkan berkurang dari 202 pesawat pada 2021 menjadi 134 pesawat pada 2022.
Sementara jenis pesawat akan dikurangi dari 13 tipe menjadi tujuh tipe. Rute penerbangan Garuda dan Citilink juga akan dikurangi dari 237 rute pada 2019 menjadi 140 rute pada 2021.
”Sebulan terakhir ini mulai muncul banyak keluhan kelangkaan pesawat Garuda. Hal itu terjadi karena pesawat Garuda yang beroperasi tinggal 40-50 pesawat dari semula 152 pesawat,” ujarnya.
Sebulan terakhir ini mulai muncul banyak keluhan kelangkaan pesawat Garuda. Hal itu terjadi karena pesawat Garuda yang beroperasi tinggal 40-50 pesawat dari semula 152 pesawat.
Menanggapi hal itu, Komisi VI DPR tetap meminta Kementerian BUMN dan manajemen Garuda tetap menyelamatkan Garuda melalui restrukturisasi utang, tanpa menggunakan APBN. Sejumlah anggota Komisi VI juga mengusulkan pembentukan panita kerja (panja) atau panitia khusus restrukturisasi Garuda.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, berpendapat, pemerintah harus menyelamatkan Garuda dengan merestrukturisasi utang, bukan dengan suntikan APBN. Pemerintah diharapkan juga melupakan opsi memailitkan Garuda dan menggantikannya dengan Pelita Air Service.
”Kami juga meminta agar manajemen atau pemerintah berani melaporkan ke penegak hukum para pejabat Garuda Indonesia yang menandatangani atau menyetujui sewa pesawat yang sangat mahal itu untuk memberi efek jera,” kata Andre yang juga mengusulkan pembentukan panja untuk mengawasi proses restrukturisasi Garuda.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, Mufti Anam, juga berpendapat senada. Persoalan Garuda sebagai maskapai penerbangan nasional tidak hanya binsis, tetapi juga menyangkut dan menjadi bagian sejarah Indonesia. Jangan sampai nanti sejarah mencatat, maskapai Garuda bangkrut dan disuntik mati di era Kementerian BUMN sekarang.
Mufti juga mengatakan, penyelamatan Garuda tidak boleh menggunakan dana IP PEN. Pemerintah dan manajemen Garuda lebih baik menempuh opsi-opsi restrukturisasi seperti yang telah diajukan dalam proposal.