PMN Investasi Penyediaan Armada bagi Maskapai Milik Negara Diusulkan Rp 3 Triliun
PMN senilai Rp 3 triliun itu merupakan dana cadangan untuk investasi penyediaan armada bagi Garuda Indonesia atau Citilink untuk mengantisipasi lonjakan penumpang pesawat saat pemulihan mulai terjadi pada medio 2022.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Holding Badan Usaha Milik Negara Pariwisata dan Pendukung membutuhkan penyertaan modal negara sebesar Rp 3 triliun untuk investasi penyediaan fleet atau armada bagi maskapai milik negara. Investasi itu guna mengantisipasi potensi ”terkatung-katung”-nya sekitar 20 juta penumpang pascapulihnya penerbangan yang diperkirakan terjadi mulai pertengahan 2022.
Pada tahun ini, Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung atau PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) mengajukan penyertaan modal negara (PMN) Tahun Anggaran 2022 sebesar 9,3 triliun. Namun, dalam proses pembahasan, PMN itu berkurang menjadi Rp 7,5 triliun.
Dana PMN salah satunya akan digunakan untuk investasi ketersediaan armada bagi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan anak perusahaannya, PT Citilink Indonesia, senilai Rp 3 triliun. Selain itu, PMN itu juga akan digunakan, antara lain, untuk penguatan modal holding Rp 400 miliar, pembangunan destinasi wisata Indonesia timur Rp 1 triliun, pengembangan ekspor produk usaha kecil menengah oleh PT Sarinah (Persero) Rp 100 miliar, dan dukungan proyek-proyek strategis nasional PT Angkasa Pura I (Persero) Rp 2 triliun.
Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat dengan Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung di Jakarta, Kamis (2/9/2021). Rapat kerja itu dihadiri langsung Direktur Project Management Office (PMO) Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung Edwin Hidayat.
Edwin mengatakan, PMN senilai Rp 3 triliun itu merupakan dana cadangan untuk investasi penyediaan armada bagi Garuda Indonesia atau Citilink guna mengantisipasi lonjakan penumpang pesawat saat pemulihan mulai terjadi. Berdasarkan proyeksi Asosiasi Maskapai Internasional (IATA), penerbangan domestik Indonesia diperkirakan mulai pulih pada pertengahan 2022.
Pemulihan ini akan berpengaruh pada permintaan atau lonjakan jumlah penumpang dan suplai armada pesawat. Dari sisi suplai, banyak maskapai, termasuk Garuda Indonesia, yang kondisi keuangannya memburuk akibat imbas pandemi Covid-19. Perseroan mengembalikan pesawat kepada lessor (perusahaan jasa sewa guna).
”Jika kekurangan pesawat itu tidak diatasi, bisnis penerbangan dan pariwisata akan turut terpengaruh dan akan lambat pulih. Tim internal kami memperkirakan ada sebanyak 19 juta penumpang pesawat yang tidak bisa terlayani pada 2022 dan 25 juta penumpang pada 2023 karena banyak pesawat yang sudah dikembalikan ke lessor,” ujar Edwin.
Jika kekurangan pesawat itu tidak diatasi, bisnis penerbangan dan pariwisata akan turut terpengaruh dan akan lambat pulih. Ada sebanyak 19 juta penumpang pesawat yang tidak bisa terlayani pada 2022 dan 25 juta penumpang pada 2023.
Oleh karena itu, lanjut Edwin, perseroan mengajukan PMN untuk investasi penyediaan armada bagi maskapai nasional. Bentuk investasi itu bisa berupa kerja sama kemitraan antara Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung dengan maskapai itu. Holding akan menyediakan pesawat yang nantinya akan dioperasikan oleh maskapai terkait.
Cara lainnya adalah melalui penerbitan right issue atau hak memesan efek terlebih dahulu. Hoding akan menanamkan investasi dengan cara membeli saham maskapai tersebut jika proses restrukturisasinya sudah selesai.
”Tentu kami akan menunggu proses restrukturisasi Garuda Indonesia dengan para kreditornya selesai. Baru kami akan menggunakan dana PMN itu. Kami mencadangkan dana itu lebih untuk mengantisipasi penyediaan armada pesawat di saat pemulihan industri penerbangan mulai terjadi pada pertengahan 2022. Hal ini perlu direncakan sehingga pada saat dibutuhkan bisa langsung digunakan,” kata Edwin.
Tentu kami akan menunggu proses restrukturisasi Garuda Indonesia dengan para kreditornya selesai. Baru kami akan menggunakan dana PMN itu.
Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohammad Hekal dan anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty mempertanyakan apakah dana PMN Rp 3 triliun itu benar-benar bisa digunakan untuk investasi armada ke Garuda Indonesia. Pasalnya, restrukturisasi Garuda Indonesia diperkirakan tuntas pada 2023.
Mereka juga mempertanyakan apakah Citilink, sebagai anak perusahaan Garuda Indonesia, turut masuk dalam holding. Hal ini akan dijadikan catatan untuk didalami kembali dan dibahas bersama Menteri BUMN.
Tiga bentuk PMN
Sementara itu, dalam seminar virtual ”Penyertaan Modal Negara antara Kepentingan Sosial dan Finansial” yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Kamis, Kementerian BUMN menekankan pentingnya PMN untuk menopang pemulihan ekonomi nasional dan memperkuat kondisi keuangan perusahaan-perusahaan milik negara.
Deputi Bidang keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN Nawal Nely menuturkan, perusahaan-perusahaan BUMN berperan penting dalam perekonomian nasional. Jumlah aset konsolidasian 108 BUMN saat ini sebesar 8.300 triliun.
Sepanjang 2011-2020, total PMN yang diterima Rp 147 triliun. Total kontribusinya sebesar Rp 3.295 triliun yang terdiri dari setoran deviden kepada negara Rp 388 triliun, pajak Rp 1.872 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak Rp 1.035 triliun.
”Kontribusi BUMN terhadap penerimaan negara ini jauh sekali di atas total PMN yang diterima. Meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19, kami juga menargetkan kontribusi deviden sebanding dengan PMN yang didapat, yaitu dengan proporsi 50:50 pada periode 2020-2024,” ujarnya.
Nely juga menjelaskan, Kementerian BUMN juga telah mengidentifikasi BUMN-BUMN yang terimbas pandemi Covid-19, baik terpukul industrinya maupun melemah permodalannya. PMN yang dimintakan ke pemerintah pun telah disesuaikan dengan kebutuhan.
PMN itu dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu PMN untuk menopang BUMN yang ditugasi pemerintah merampungkan proyek-proyek strategis nasional, PMN untuk pengembangan usaha, dan PMN untuk restrukturisasi atau penyelamatan. Khusus PMN untuk restrukturisasi dan penyelamatan ini baru kita usulkan pada 2020 karena banyak BUMN yang terimbas pandemi.
PMN itu dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu PMN untuk menopang BUMN yang ditugasi pemerintah merampungkan proyek-proyek strategis nasional, PMN untuk pengembangan usaha, dan PMN untuk restrukturisasi atau penyelamatan.
Sebelumnya, pada 23 Agustus 2021, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, Kementerian Keuangan baru menyetujui PMN 2022 untuk lima BUMN dari total 12 BUMN yang diusulkan. Kelima BUMN tersebut adalah PT Hutama Karya (Persero) Rp 23 triliun, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Rp 5 triliun, Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) Rp 1,57 triliun, dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk Rp 2 triliun.
”Kelima BUMN itu oleh Kementerian Keuangan dimasukkan dalam kluster infrastruktur. Untuk BUMN-BUMN lain, masih menunggu konfirmasi dari Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Total PMN 2022 yang diajukan untuk 12 BUMN sebesar Rp 72,449 triliun. Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, nilai PMN yang disetujui hanya Rp 38,5 triliun.