IFSoc Prediksi Ada ”Unicorn” Baru dari Indonesia Tahun Depan
Laju digitalisasi yang ditunjang ekosistem digital yang semakin matang dinilai bakal mendorong kemunculan unicorn baru di Indonesia tahun depan. Perusahaan bisa berasal dari sektor kesehatan, pendidikan, dan finansial.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Fintech Society atau IFSoc memprediksi akan ada perusahaan rintisan yang valuasi pasarnya lebih dari 1 miliar dollar AS atau biasa disebut unicorn tahun depan. Perusahaan itu diperkirakan berasal dari sektor teknologi-kesehatan, teknologi-pendidikan, dan teknologi-finansial.
Prediksi itu didasarkan pada laju digitalisasi yang makin pesat dan ditunjang oleh ekosistem digital yang dinilai semakin matang di Indonesia.
”Tahun depan diperkirakan akan muncul beberapa unicorn di Indonesia. Mereka berasal dari sektor teknologi-kesehatan, teknologi-pendidikan, dan teknologi-finansial,” ujar anggota Steering Committee IFSoc, Rudiantara, dalam acara Catatan Akhir Tahun 2021 Industri Fintech oleh IFSoc, Kamis (9/12/2021).
Rudiantara menjelaskan, ketiga sektor itu saat ini sedang tumbuh pesat. Apalagi ketiga sektor itu tergolong vital dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat hari ini. Terdorong pandemi yang mempercepat digitalisasi dalam setiap aspek kegiatan masyarakat, membuat perusahaan dari tiga sektor itu berkembang pesat.
Sektor pendidikan, lanjut Rudiantara, punya potensi besar karena pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 540 triliun atau setara dengan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) Indonesia 2022. Begitu juga dengan sektor kesehatan yang memperoleh alokasi Rp 256 triliun atau 9,4 persen dari total belanja negara, yaitu Rp 2.714,2 triliun.
Mengenai calon unicorn dari perusahaan teknologi finansial (tekfin), Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 itu memperkirakan, salah satu perusahaan tekfin yang akan menjadi unicorn tahun depan itu merupakan bank digital. ”Mereka diuntungkan karena berada dalam ekosistem digital dari aplikasi super,” ujar Rudiantara tanpa menyebutkan identitas bank digital itu.
Meski demikian, Ketua IFSoc Mirza Adityaswara mengingatkan agar perusahaan unicorn itu tidak terlena pada besaran valuasi pasar semata. Mereka harus mulai memperhatikan arus kas perusahaan. Sebab, pada akhirnya hanya perusahaan dengan arus kas positif atau untung saja yang akan dilirik investor.
Menurut data CB Insight, seperti dikutip IFSoc, saat ini ada 8 unicorn asal Indonesia. Jumlah tersebut membawa Indonesia duduk di peringkat kedua negara dengan jumlah unicorn terbanyak di Asia Tenggara.
Delapan unicorn itu adalah GoTo dengan valuasi 18 miliar dollar AS, J&T Express dengan valuasi 7,8 miliar dollar AS, Bukalapak dengan valuasi 3,5 miliar dollar AS, dan Traveloka dengan valuasi 3 miliar dollar AS. Empat unicorn lain adalah OVO dengan valuasi 2,9 miliar dollar AS, OnlinePajak dengan valuasi 1,7 miliar dollar AS, dan Ajaib serta Xendit yang sama-sama mengantongi valuasi 1 miliar dollar AS. Empat perusahaan di antaranya, yakni J&T Express, Online Pajak, Xendit, dan Ajaib baru muncul sebagai unicorn pada 2021.
IFSoc memberi catatan, bukan hanya seputar potensi bisnis para raksasa perusahaan teknologi, melainkan juga bagaimana perkembangan teknologi bisa memberikan manfaat kepada publik.
Anggota Steering Committee IFSoc Hendri Saparini mengatakan, pihaknya mendorong penggunaan tekfin untuk membantu penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat. Apalagi, penyaluran bansos masih dihadapkan pada masalah transparansi dan akuntabilitas yang dipicu oleh belum optimalnya pendataan dan sistem distribusi.
”Bila penyaluran bansos ini menggunakan sistem big data, pencatatannya bisa lebih rapi dengan sistem digital. Ini agar bansos tepat sasaran dan sesuai kriterianya,” ujar Hendri yang juga merupakan ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE).
Selain itu, IFSoc juga mendorong tercipta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Menurut Rudiantara, pengesahan UU PDP tidak hanya bagaimana meningkatkan perlindungan konsumen, tetapi juga bagaimana menciptakan ekosistem pengelolaan data yang tepat.
”UU itu tidak hanya melindungi konsumen yang memiliki data, tetapi juga menjadi payung hukum bagi perusahaan yang mengelola data nasabah agar (data) dikelola sebagaimana mestinya,” ujar Rudiantara.