Tanpa titik tengah, sistem pengupahan yang baru dikhawatirkan bisa terus-menerus menekan laju kenaikan upah minimum, yang ujung-ujungnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengganggu iklim investasi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polemik penetapan upah minimum 2022 menegaskan pentingnya perbaikan sistem pengupahan baru yang kini berdampak pada kenaikan upah di bawah inflasi. Revisi Undang-Undang Cipta Kerja dapat dijadikan momentum untuk mencari jalan tengah yang tidak menggerus kesejahteraan buruh dan tidak memberatkan pengusaha.
Tanpa perbaikan, rumus penghitungan upah minimum baru yang kini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan itu dikhawatirkan bisa terus-menerus menekan laju kenaikan upah minimum, yang akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengganggu iklim investasi.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, revisi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat dijadikan momentum untuk membenahi lagi sistem pengupahan. Direncanakan, UU sapu jagat itu akan direvisi tahun depan setelah putusan Mahkamah Konstitusi menyatakannya cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.
Saat ini, buruh masih mengajukan protes atas rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 1,09 persen, yang ada di bawah tingkat inflasi tahunan Oktober 2021 sebesar 1,66 persen. Namun, pemerintah menegaskan UMP dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di sejumlah daerah tetap mengacu pada PP No 36/2021.
Menurut Timboel, perjuangan atas upah layak tidak serta-merta terhenti karena bisa diteruskan lewat revisi UU Cipta Kerja. ”Bisa dibicarakan seperti apa jalan tengahnya. Sebab, meski Covid-19 nanti sudah lewat pun, (kenaikan upah) akan tetap begitu-begitu saja akibat rumus penghitungan upah yang baru. Oleh karena itu, harus ada perbaikan, tidak mungkin setiap tahun kita ribut seperti ini,” katanya, Jumat (3/12/2021).
Menurut dia, pengusaha, buruh dan pemerintah perlu duduk bersama untuk berunding membicarakan titik tengah. Serikat pekerja diharapkan tidak antipati dan mau terlibat dalam penyusunan norma yang baru. Sementara pemerintah dan pengusaha juga harus terbuka terhadap opsi lain yang lebih proporsional.
”Jangan anggap berunding itu berarti melegitimasi (kebijakan pemerintah). Justru perlu ada dialog supaya ada jalan tengah,” ujar Timboel.
Lebih lanjut, ia mengatakan, tak hanya menggerus kesejahteraan buruh, kenaikan upah minimum yang rendah juga dapat berdampak buruk pada iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
”Jumlah penduduk yang besar tidak akan bisa jadi pasar yang besar dan menarik investor jika daya beli masyarakatnya rendah. Jadi, alih-alih menarik investasi, bisa jadi kenaikan upah yang minim ini menjadi kontraproduktif,” katanya.
Kekhawatiran ini tidak hanya diutarakan buruh dan sejumlah ekonom, tetapi juga elite di internal pemerintahan. Contohnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa pada Jumat (26/11/2021) mengatakan, kenaikan upah yang layak dapat mengungkit konsumsi rumah tangga dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga sekitar 56 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Per triwulan III-2021, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 1,03 persen secara tahunan. Itu sejalan dengan penurunan rata-rata upah riil buruh di hampir seluruh lapangan kerja sebesar 0,72 persen secara tahunan.
Menurut Suharso, hasil perhitungan Bappenas, rata-rata kenaikan upah minimum di kisaran 5 persen dapat memompa pengeluaran masyarakat sampai Rp 180 triliun dan memberi bantalan pertumbuhan konsumsi hingga 5,2 persen.
”Saya kira ini perlu kita pikirkan. Kenaikan upah itu perlu, karena itu akan resiprokal terhadap daya beli masyarakat dan akhirnya itu yang akan menggerakkan permintaan agregat dan perekonomian kita,” kata Suharso dalam acara diskusi daring mengenai pemulihan ekonomi nasional yang diadakan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Hal serupa disampaikan Wakil Presiden RI 2014-2019 Jusuf Kalla saat menghadiri Halaqah Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU), Kamis (2/12/2021). Kalla mengatakan, upah minimum yang saat ini berada di bawah inflasi berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan tidak membenahi kesenjangan upah antardaerah.
Sementara itu, menanggapi penolakan oleh buruh, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan, kebijakan upah minimum 2022 yang mengacu pada PP No 36/2021 dan UU Cipta Kerja tetap berlaku meski putusan MK sudah menyatakan payung hukumnya cacat formil.
”Saya kembali meminta kepada semua pihak, khususnya para kepala daerah, untuk mengikuti ketentuan pengupahan sebagaimana diatur PP No 36/2021. Jangan lupa, dalam PP itu tidak hanya mengatur tentang upah minimum, tetapi juga aturan struktur dan skala upah yang harus diimplementasikan pengusaha,” kata Ida.
Ia meminta pengawas ketenagakerjaan dan mediator hubungan industrial untuk mengawal implementasi upah minimum 2022 serta penerapan struktur dan skala upah di perusahaan. Mediator akan membantu dan memfasilitasi penyusunan struktur dan skala upah, sedangkan pengawas melakukan monitoring dan penegakan hukum.
”Kalau ditemukan pelanggaran, saya meminta kepala daerah untuk ikut tegas menindaklanjuti hasil pemeriksaan pengawas ketenagakerjaan,” katanya.