Upah Minimum Berkeadilan di Tengah Pandemi
Para pekerja dan pelaku usaha harus memiliki kesamaan rasa bahwa saat ini kita semua menghadapi kondisi yang tidak normal dan semua pihak berada dalam kondisi yang sama-sama tidak menguntungkan.

Didie SW
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan guncangan ekonomi yang sangat luas dan dalam (economic wide shocks) di semua negara, termasuk Indonesia.
Pandemi Covid-19 telah menghentikan roda perekonomian dari dua sisi sekaligus, sisi penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side). Hal ini mengakibatkan hampir semua sektor ekonomi mengalami kontraksi yang sangat dalam.
Akibat pandemi ini, kinerja sektor industri dan perdagangan turun sangat tajam, bahkan beberapa pelaku usaha harus menutup usahanya karena kinerja yang tidak kunjung membaik. Beberapa perusahaan harus rela memotong laba usaha dan menahan laju operasinya supaya mampu bertahan di tengah pandemi.
Oleh karena itu, tidak heran jika beberapa perusahaan mengambil kebijakan pengurangan jumlah karyawan supaya bisa tetap beroperasi di tengah menurunnya permintaan.
Kebijakan pengurangan karyawan yang dilakukan oleh para pelaku usaha selama masa pandemi Covid-19 ini telah meningkatkan angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara signifikan. Selama masa pandemi Covid-19, angka TPT naik dari 4,99 persen pada bulan Februari 2020 menjadi 7,07 persen pada Agustus tahun yang sama.
Pada tahun 2021, angka TPT sudah mengalami perbaikan, tetapi belum bisa kembali seperti sebelum masa pandemi Covid-19. Angka TPT pada bulan Agustus 2021 masih bertengger di angka 6,49 persen.
Baca juga : Kenaikan Semu Upah Minimum
Meningkatnya angka TPT selama masa pandemi Covid-19 ini berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingkat kemiskinan pada akhir 2020 mencapai 10,19 persen atau naik 0,97 persen dibandingkan bulan September 2019 yang mencapai 9,22 persen.
Bahkan, sampai awal tahun 2021, tingkat kemiskinan tidak mengalami banyak perubahan. Dibandingkan dengan bulan September 2020, angka kemiskinan pada bulan Maret 2021 hanya berkurang 0,05 persen, yaitu menjadi 10,14 persen.
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak negatif yang sangat besar dan luas kepada semua pelaku ekonomi, mulai dari pelaku usaha, para pekerja, hingga masyarakat luas.
Upah minimum yang berkeadilan
Berkurangnya pendapatan dan menurunnya daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19 menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Di sisi lain, harga barang dan jasa tetap mengalami kenaikan sehingga semakin menambah beban yang harus ditanggung masyarakat.
Oleh karena itu, tuntutan kenaikan upah minimum di tengah pandemi Covid-19 merupakan hal yang sangat wajar dan dapat dipahami. Bahkan, dalam kondisi normal, penyesuaian upah merupakan rutinitas yang harus dilakukan setiap tahun guna menjaga agar para pekerja tetap mendapatkan penghidupan yang layak.

Didie SW
Namun, tuntutan penyesuaian upah pekerja dengan menaikkan tingkat upah minimum di tengah pandemi Covid-19 menjadi hal yang dilematis (trade off). Hal ini disebabkan selama masa pandemi para pelaku usaha berada dalam kondisi yang tidak ideal.
Menurunnya permintaan dan berkurangnya pasokan bahan baku menjadi beban yang harus ditanggung para pelaku usaha. Dalam kondisi seperti ini, menjadi hal yang tidak adil jika beban penyesuaian upah tersebut harus ditanggung sepenuhnya oleh pelaku usaha.
Dalam situasi trade off seperti sekarang ini, akan sangat sulit untuk menentukan tingkat upah minimum yang dapat memuaskan keinginan semua pihak. Namun, penyesuaian upah minimum tersebut harus tetap dilakukan untuk menumbuhkan dan menjaga rasa keadilan dan harapan bagi semua pihak.
Oleh karena itu, harus dicari formulasi penentuan upah minimum yang paling mendekati nilai-nilai keadilan walaupun tetap tidak bisa memuaskan semua pihak.
Terlepas dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa Undang-Undang (UU) Cipta Kerja inkonstitusional dan harus segera dilakukan perbaikan, semangat yang mendasari penentuan upah minimum di dalam UU tersebut patut tetap dipertahankan dan rasanya masih relevan untuk masa pandemi Covid-19 saat ini.
Undang-undang tersebut mencoba membuat dasar formulasi yang berkeadilan yang menjembatani kepentingan pelaku usaha dan para pekerja.
Setidaknya terdapat tiga dimensi yang menjadi dasar formulasi penentuan upah minimum pekerja, yaitu dimensi jaring pengaman, dimensi insentif (bonus), dan dimensi produktivitas.
Dimensi jaring pengaman ini diformulasikan dalam bentuk penghitungan tingkat inflasi daerah yang mewakili tingkat daya beli para pekerja. Adapun dimensi kedua adalah dimensi insentif yang diambil dari variabel pertumbuhan ekonomi.
Dengan adanya dimensi insentif ini, pemerintah mencoba memberikan keadilan bagi para pekerja. Keuntungan usaha yang selama ini dinikmati oleh para pengusaha seharusnya bisa memberikan trickle down effect kepada para pekerja dalam bentuk kenaikan upah. Peningkatan keuntungan yang didapat para pengusaha harus dinikmati pula oleh para pekerja sehingga para pekerja mendapatkan tingkat upah yang adil.
Dimensi ketiga dalam formulasi penentuan upah minimum adalah tingkat produktivitas. Variabel yang menjadi alat ukur tingkat produktivitas dalam UU Cipta Kerja tersebut ialah jumlah jam kerja.
Jika para pekerja bekerja sesuai dengan jam kerja minimal yang telah ditentukan, perusahaan harus membayar sesuai dengan tingkat upah yang telah ditentukan.
Sebaliknya, jika para pekerja bekerja di bawah jam kerja minimal yang telah ditentukan, maka upah ditentukan sesuai dengan proporsi jam kerja para pekerja tersebut.
Padahal, selama ini kelompok ini masuk ke dalam kelompok ekonomi kelas menengah bawah yang sangat rentan terhadap perubahan.
Namun, pada masa yang tidak ideal seperti pandemi Covid-19 saat ini, penambahan variabel tingkat produktivitas kerja tersebut bisa berpotensi menimbulkan masalah baru.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2021 terdapat 35,7 persen angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (35 jam per minggu). Jumlah ini naik 6,9 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019.
Dengan pemberlakuan sistem pengupahan berdasarkan jam kerja tersebut, diperkirakan akan banyak pekerja yang berpotensi kehilangan sebagian pendapatannya. Padahal, selama ini kelompok ini masuk ke dalam kelompok ekonomi kelas menengah bawah yang sangat rentan terhadap perubahan.
Peran pemerintah
Dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, pemberlakuan formulasi penentuan upah minimum yang telah ditetapkan tadi akan menimbulkan pro dan kontra, baik dari kelompok pelaku usaha maupun dari kelompok pekerja. Kedua kelompok tersebut akan merasa dirugikan dengan pemberlakuan formulasi tersebut.
Oleh karena itu, di tengah kondisi yang tidak normal seperti sekarang ini, diperlukan peran pemerintah yang dapat menjembatani kedua kepentingan yang berbeda kutub itu.
Walaupun keputusan pemerintah nantinya tidak akan mampu memuaskan semua pihak, paling tidak pemerintah dapat membuat keputusan yang mendekati rasa keadilan dari tiap-tiap pihak tersebut. Pemerintah tidak harus ”berdiri di tengah” dalam menentukan upah minimum yang berkeadilan.
Jika pemerintah berada di salah satu sisi kelompok, pemerintah dapat memberikan insentif dan kompensasi yang sifatnya aksidental bagi kelompok yang mau berkorban sehingga rasa keadilan dari tiap-tiap kelompok dapat dipenuhi.
Baca juga : Sengkarut Penetapan Upah Minimum
Jika kebijakan penentuan upah minimum akan dibuat berpihak kepada para pekerja, pemerintah harus memberikan insentif kepada para pelaku usaha yang dapat mengurangi beban biaya operasional perusahaan. Pemerintah bisa memberikan relaksasi perpajakan sehingga beban pajak perusahaan bisa berkurang dan perusahaan dapat mengalokasikan anggarannya untuk kenaikan upah minimum pekerja.
Pemerintah melalui lembaga keuangan milik negara bisa memberikan insentif suku bunga atau restrukturisasi bunga utang sehingga perusahaan memiliki ruang pembiayaan yang bisa digunakan untuk kenaikan upah minimum.
Dengan langkah dan program-program yang dilakukan pemerintah, seharusnya perdebatan panas di ranah publik bisa jauh dikurangi.
Sebaliknya, jika pemerintah lebih memilih berada di kelompok para pengusaha, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada para pekerja. Pemerintah harus menjamin bahwa daya beli pekerja tetap terjaga dan kebutuhan hidup layak terpenuhi dengan baik.
Di samping harus mampu menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dengan baik, pemerintah juga harus mampu menambal kekurangan pendapatan para pekerja, baik melalui program bantuan langsung maupun melalui program-program subsidi tidak langsung, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, dan komoditas-komoditas tertentu.
Dengan langkah dan program-program yang dilakukan pemerintah, seharusnya perdebatan panas di ranah publik bisa jauh dikurangi. Namun, tentunya, diperlukan kesadaran dari semua pihak untuk manahan ego masing-masing.

Agus Herta Sumarto
Para pekerja dan pelaku usaha harus memiliki kesamaan rasa bahwa saat ini kita semua menghadapi kondisi yang tidak normal dan semua pihak berada dalam kondisi yang sama-sama tidak menguntungkan. Dengan kesadaran yang sama ini, semua pihak dapat saling memahami, menahan diri, dan membantu satu sama lain untuk bersama-sama keluar dari situasi yang tidak menguntungkan ini.
Agus Herta Sumarto, Dosen FEB UMB dan Ekonom Indef