Sengkarut Penetapan Upah Minimum
Mekanisme penetapan besaran upah minimum versi PP No 36 Tahun 2021 hanya mengganti formula sehingga penyesuaian besaran upah minimum bisa lebih terukur dan terprediksi, tetapi tidak menjawab problem pengupahan.
Mestinya proses penetapan besaran upah minimum bisa berlangsung lebih mudah. Itu jika ketentuan soal upah minimum dimaknai dan diperlakukan sebagai instrumen jaring pengaman semata. Tidak lebih. Baik oleh pekerja, pemerintah maupun pengusaha.
Namun faktanya tidak demikian. Proses penetapan besaran upah minimum setiap tahunnya, sering kali diwarnai dengan kegaduhan. Terdapat tarik-menarik kepentingan yang cukup ekstrem antara pengusaha, pemerintah dan pekerja.
Bagi pekerja, besaran upah minimum yang rendah dimaknai sebagai kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak atau sejahtera. Sementara bagi pengusaha dan juga pemerintah, kenaikan upah minimum yang tinggi dipandang tidak kompetitif dan membebani dunia usaha. Karenanya, hakikat upah minimum sebagai instrumen jaring pengaman (safety net) menjadi ambigu.
Dalam kondisi kesempatan kerja yang minim dan angka pengangguran yang relatif tinggi, posisi tawar pekerja terkait upah tentu saja cukup rendah, terutama di sektor tertentu yang tidak memerlukan keahlian khusus. Maka dari itu, ketentuan upah minimum masih menjadi instrumen yang paling tepat dan efektif untuk menghindarkan potensi praktik pengupahan yang eksploitatif.
Bagi perusahaan skala besar yang padat modal, besaran upah minimum boleh jadi tidak terlalu berdampak.
Namun, tingginya disparitas kemampuan setiap perusahaan dan juga kondisi perekonomian antar daerah, daya saing serta produktivitas, juga membuat pemerintah perlu ekstra hati-hati dalam menetapkan besaran upah minimum. Bagi perusahaan skala besar yang padat modal, besaran upah minimum boleh jadi tidak terlalu berdampak. Berbeda dengan perusahaan tertentu, misalnya industri padat karya, yang mempekerjakan pekerja dalam jumlah besar.
Menariknya, meski ketentuan upah minimum dimaksudkan sebagai proteksi bagi pekerja, faktanya pelaksanaan upah minimum masih jauh dari memuaskan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional pada Februari 2021 menunjukkan, sebanyak 49,67 persen pekerja masih dibayar di bawah besaran upah minimum (Kompas, 25/10/2021).
Gonta-ganti formula
Semula, penetapan besaran upah minimum didasarkan pada pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL). Terdapat sejumlah komponen KHL yang harus dipenuhi dalam menetapkan besaran upah minimum sehingga pekerja dianggap bisa hidup layak. Komponen KHL itu mencakup kebutuhan dasar setiap pekerja yang dulunya ditetapkan berjumlah 64 komponen.
Baca juga : Upah Minimum Layak
Secara teoretis, penetapan besaran upah minimum berbasis KHL memberi ruang partisipasi kepada serikat pekerja melalui Dewan Pengupahan. Dewan Pengupahan, yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan pekerja, melakukan survei KHL dan hasilnya menjadi pertimbangan dalam menetapkan besaran upah minimum.
Namun dalam pengambilan keputusan akhir, sering kali tidak mudah dan bahkan tak jarang mengalami deadlock. Perbedaan cara pandang mengenai metode survei dan penentuan tarif setiap komponen KHL menjadi salah satu penyebabnya.
Selain itu, keinginan serikat pekerja untuk menambah jumlah komponen KHL menjadi 84 dari sebelumnya 64, membuat proses penetapan besaran upah minimum melalui formula KHL, harus berakhir dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Lewat beleid ini, penetapan besaran upah minimum cukup menggunakan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pasca Undang-Undang Cipta Kerja (UU No 11 Tahun 2020) diterbitkan, formula penetapan besaran upah minimum juga mengalami perubahan, meski semangatnya masih mirip ketentuan lama (PP No 78 Tahun 2015). Lewat PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan disebutkan bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Variabelnya meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah.
Selain itu, penyesuaian besaran upah minimum versi PP No 36 Tahun 2021 yang ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum —dengan menggunakan sejumlah variabel seperti rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga— kiranya juga sebuah formula yang sulit dipahami sebagian besar pekerja.
Tetapi poin terpentingnya adalah ruang partisipasi dan posisi tawar pekerja untuk ikut menentukan besaran upah minimum semakin mengecil untuk tidak dikatakan hilang sama sekali. Meskipun serikat pekerja masih menjadi bagian dari Dewan Pengupahan, perannya dalam bentuk memberikan saran dan rekomendasi akan semakin terbatas karena harus tunduk pada formula perhitungan upah minimum yang digariskan PP No 36 Tahun 2021.
Baca juga : Dilema Upah Minimum
Praktis peluang pekerja untuk mendapatkan upah minimum yang lebih tinggi kini hanya bertumpu pada angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi dengan sejumlah variabel seperti disebutkan di atas. Ini berarti, strategi untuk meningkatkan upah pekerja di semua tingkatan dengan cara mendongkrak besaran upah minimum setinggi mungkin, tampaknya sudah tertutup.
Kembalikan hakikat upah minimum
Komitmen dan konsistensi untuk memperlakukan upah minimum sebagai jaring pengaman dan hanya ditujukan bagi pekerja dengan masa kerja nol tahun, menjadi pilihan rasional untuk mengakhiri polemik setiap penetapan upah minimum. Ketentuan upah minimum masih tetap diperlukan dan menjadi instrumen paling tepat dan efektif untuk melindungi pekerja baru dari praktik pengupahan yang tak adil.
Lalu bagaimana dengan upah pekerja yang masa kerjanya satu tahun atau lebih? Dalam praktik, sebagian besar pekerja pada golongan ini masih diperlakukan hampir sama seperti golongan pekerja dengan masa kerja nol tahun. Penghasilannya tidak jauh berbeda bahkan bisa persis sama dengan penghasilan pekerja yang baru bekerja.
Kecenderungan sebagian pengusaha untuk sekadar meng-copy paste besaran upah minimum dan menjadikannya sebagai standar upah bagi pekerja di hampir semua tingkatan, menjadi alasan mendasar bagi serikat pekerja untuk tetap menuntut kenaikan upah minimum yang cukup tinggi. Dengan begitu, diharapkan dapat mendongkrak kenaikan upah pekerja di semua tingkatan melalui apa yang dikenal dengan “upah sundulan”. Semakin tinggi kenaikan upah minimum, semakin berpotensi baik pula penghasilan pekerja secara keseluruhan. Itu harapannya.
Jadi, ketentuan upah minimum bagi pekerja bukan semata-mata persoalan upah minimum an-sich, tapi juga menyangkut implikasinya terhadap penghasilan pekerja secara keseluruhan.
Semakin tinggi kenaikan upah minimum, semakin berpotensi baik pula penghasilan pekerja secara keseluruhan.
Secara normatif, standar upah bagi pekerja yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih semestinya berada di atas besaran upah minimum, terlepas nilainya tak jauh berbeda dengan besaran upah minimum. UU Cipta Kerja dan PP No 36 Tahun 2021 telah mensyaratkan agar setiap perusahaan memiliki struktur dan skala upah, serta penetapan upah di atas upah minimum disepakati secara bipartit dan dituangkan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Secara teoretis ketentuan ini sudah tepat. Kemampuan setiap perusahaan dalam menentukan standar upah pekerjanya tentu saja berbeda-beda.
Namun dalam praktik, posisi tawar pekerja dan kemampuan menegosiasikan upah bagi golongan pekerja penerima upah di atas upah minimum, umumnya juga masih rendah. Bahkan cenderung bersikap nrimo dengan yang diputuskan pengusaha.
Posisi pengusaha masih terlalu dominan dalam menetapkan upah pekerja, terutama di sektor tertentu yang tak memerlukan keterampilan tinggi. Variabel seperti sumbangsih pekerja terhadap profitabilitas perusahaan bisa jadi tak masuk dalam hitungan. Itu bisa tercermin jika upah pekerja baru dengan pekerja lama hampir setara.
Pada akhirnya, mekanisme penetapan besaran upah minimum versi PP No 36 Tahun 2021 hanya sebatas mengganti formula sehingga penyesuaian besaran upah minimum bisa lebih terukur dan terprediksi, tetapi tetap saja tidak menjawab keseluruhan problematika sistem pengupahan.
Selain mengembalikan hakikat upah minimum sebagai proteksi bagi pekerja dengan masa kerja nol tahun, pengusaha dan pekerja, melalui lembaga bipartit, perlu didorong agar dapat menegosiasikan besaran upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih.
Sehingga, dengan begitu, upah bagi golongan ini benar-benar mencerminkan keadilan dengan mempertimbangkan sumbangsih pekerja atas kemajuan perusahaan. Tanpa itu, niscaya proses penetapan besaran upah minimum setiap tahun masih akan menimbulkan polemik tak berkesudahan.
Edy Sutrisno Sidabutar Praktisi Ketenagakerjaan