Niat baik juga dituntut dari pelaku usaha, termasuk dalam kaitan dengan upah minimum, dengan mengedepankan dialog dan memenuhi apa yang jadi hak pekerja selama mereka mampu.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Dengan formula penghitungan yang baru, kenaikan upah minimum tahun 2022 diprediksi hanya 2-3 persen. Angka itu di bawah tuntutan buruh selama ini.
Selain itu, angka itu juga di bawah rata-rata kenaikan selama lima tahun terakhir. Untuk mengatasi penurunan daya beli pekerja akibat moderatnya kenaikan upah, pemerintah didesak menyalurkan berbagai insentif dan bantuan sosial guna menjaga daya beli dan pemulihan ekonomi (Kompas, 5/11/2021).
Belum lagi diumumkan, kegaduhan mulai terjadi. Salah satu serikat pekerja merencanakan menggelar demo di 26 provinsi menuntut dipenuhinya kenaikan upah 7-10 persen. Kalangan bisnis menilai tuntutan itu tak rasional. Situasi dunia usaha belum pulih dari dampak pandemi.
Formula upah minimum terbaru yang diberlakukan saat ini adalah konsekuensi dari berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai turunannya. Dalam PP ini, upah minimum tidak lagi didasarkan pada kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, melainkan pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Variabel yang mendasari penghitungan lebih kompleks. Ada 20 jenis data yang disiapkan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menghitung upah minimum dan upah khusus usaha mikro kecil yang melibatkan variabel, seperti paritas (kesamaan nilai) daya beli, penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Memaksakan kehendak sepihak, seperti menggelar demo yang bukan tidak mungkin akan memicu kerumunan dan kluster baru Covid-19, hanya akan kontraproduktif buat semua.
Terlepas dari apa pun formula yang dipakai dan alasan yang mendasari, kita tak boleh lupa, hakikat upah minimum adalah untuk memberikan proteksi dan jaring pengaman bagi pekerja. Kekhawatiran terbesar buruh bahwa kepentingannya kian terpinggirkan di era rezim UUCK yang semangat utamanya mendorong investasi harus bisa dijawab dengan pendekatan kebijakan yang tak mengorbankan mereka.
Hakikat upah minimum adalah untuk memberikan proteksi dan jaring pengaman bagi pekerja.
Dengan situasi ekonomi dan pasar kerja yang ada saat ini, buruh akhirnya mungkin dipaksa menerima kenaikan upah moderat. Namun, harus dipastikan posisi mereka bukan sebagai pihak yang dikorbankan. Harus tersedia jaring pengaman agar daya beli dan kesejahteraannya tak menurun. Dengan menjaga daya beli pekerja, pemerintah sekaligus menjaga roda ekonomi nasional tetap berputar karena konsumsi rumah tangga menyumbang 56,9 persen produk domestik bruto (PDB).
Persoalannya kendala fiskal. Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo tersisa tiga tahun lagi. Presiden menjanjikan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang membengkak selama pandemi sudah kembali di bawah 3 persen dari PDB pada 2023. Artinya, harus mengerem belanja APBN luar biasa tahun 2022 saat kebutuhan untuk mengendalikan pandemi dan perlindungan sosial masih besar.
Untuk itu, dituntut kreativitas luar biasa dari pemerintah agar pembiayaan pembangunan tak terlalu berat bertumpu pada APBN. Giliran UUCK menunjukkan taringnya untuk menarik investasi masif seperti yang diharapkan guna menggerakkan ekonomi. Niat baik juga dituntut dari pelaku usaha, termasuk dalam kaitan dengan upah minimum, dengan mengedepankan dialog dan memenuhi apa yang jadi hak pekerja selama mereka mampu. Sebab, pada akhirnya, hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan akan menguntungkan semua.