Dalgona dan Ekonomi Permen
Permen dalgona menjadi salah satu cara menghubungkan generasi muda Korea Selatan ke sejarah yang sebenarnya tidak ingin mereka dapatkan melalui buku sejarah. Bisnis permen tetap langgeng juga berkat sejarah dan tradisi.
Korea. Lagi-lagi Korea yang mampu mencipta sebuah produk menjadi viral dan populer melalui kekuatan ekonomi kreatifnya. Bahkan, sebuah produk klasik bisa kembali booming, tak kehilangan esensi sejarah dan tradisi yang menopangnya.
Adalah dalgona atau ppopgi, permen Korea berbahan dasar gula dan soda kue, yang dibuat setelah Perang Korea (1950-1953). Waktu itu, permen yang dijajakan di kaki lima ini merupakan jajanan alternatif bagi anak-anak Korea Selatan yang sebelumnya terbisa mendapatkan permen cokelat dari tentara Amerika Serikat.
Pada umumnya, dalgona berbentuk bulat dan bagian tengahnya terdapat cetakan gambar, seperti hati, bintang, binatang, dan bunga. Pada 1970-1990, permen ini diproduksi massal dan kian populer. Setelah popularitasnya tenggelam selama dua dekade, dalgona kembali tenar tahun ini berkat drama seri Korea Squid Game.
Permen ini tidak hanya memikat banyak pembeli, tetapi juga banyak orang memburu resep cara membuatnya. Beberapa bahkan memproduksi dan menjualnya melalui toko-toko daring.
Ketenaran dalgona dalam Squid Game itu juga memunculkan kembali cara-cara pemasaran klasik permen ini melalui sebuah gim. Penjual menantang pembeli memisahkan cetakan gambar di tengah permen tanpa merusak bentuk itu. Jika berhasil, pembeli akan mendapatkan dalgona baru.
Ketenaran dalgona dalam Squid Game itu juga memunculkan kembali cara-cara pemasaran klasik permen ini melalui sebuah gim.
Albert Park, ahli sejarah Korea dari Claremont McKenna College, California, AS, mengatakan, lantaran popularitas Squid Game dan diviralkan di media sosial, permen dalgona kembali menjadi cemilan nostalgia retro di Korea. Permen dalgona menjadi salah satu cara menghubungkan generasi muda Korea ke sejarah mereka yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan melalui buku sejarah (The New York Times, 5 Oktober 2021).
Surat kabar itu bahkan menyebutkan, warga Amerika sebenarnya sudah akrab dengan nama dalgona sejak 2020. Dalgona yang dimaksud itu adalah kopi kocok dalgona. Minuman ini menjadi populer setelah aktor Jung Il-woo mencoba kopi itu dalam program televisi Stars’ Top Recipe at Fun-Staurant. Jung menyatakan, rasa kopi itu mengingatkannya pada permen dalgona.
Permen dalgona menjadi salah satu cara menghubungkan generasi muda Korea ke sejarah yang sebenarnya tidak ingin mereka dapatkan melalui buku sejarah.
Belakangan ini, sejumlah perusahaan Indonesia juga berupaya memopulerkan produknya, termasuk permen, kepada dunia melalui drama seri Korea. PT Mayora Indah Tbk, misalnya, mempromosikan Kopiko melalui Vincenzo, Mine, dan Hometown Cha Cha Cha.
Baca juga : Drama Korea dan Diaspora Menduniakan Produk Indonesia
Lihat juga : Video Berita: Tren Dalgona, dari Kopi hingga Permen
Siapa pun, mulai dari masyarakat kelas bawah hingga atas, menjadi penikmat permen, bahkan bisa menjual permen. Permen bisa diperjualbelikan hampir di semua tempat, mulai dari perempatan lalu lintas, kaki lima, dalam bus atau kereta api, warung kecil, hotel, supermarket, mal, hingga menjadi pengganti uang kembalian.
Siapa sangka, permen yang konon cikal bakalnya dari temuan gumpalan yang mengandung madu yang berusia sekitar 3.500 tahun lalu di Mesir berkembang hingga kini. Kendati kecil, permen berperan kuat menggerakkan ekonomi sebuah negara, bahkan dunia.
Fortune Business Insights mencatat, pasar permen atau gula-gula global pada 2020 senilai 188,52 miliar dollar AS. Akibat imbas pandemi Covid-19, nilai pasar permen global tersebut turun 7,1 persen dibandingkan dengan 2012. Namun, pasar permen global ini diproyeksikan tumbuh menjadi 194,37 miliar dollar AS pada 2021 dan meningkat lagi menjadi 242,53 miliar dollar AS pada 2028 dengan tingkat pertumbuhan tahunan 3,8 persen.
Ditopang tradisi
Pasar permen dunia kelangsungan bisnisnya tidak hanya ditopang oleh ekonomi kreatif, tetapi juga sejarah dan tradisi. Misalnya, Halloween yang dirayakan di sejumlah negara serta tradisi permen kematian dan makan permen setiap hari Sabtu di Swedia. Selain itu, perayaan Natal dan Tahun Baru, Idul Fitri, dan Tahun Baru China juga kerap tersedia permen atau gula-gula.
Di Amerika Serikat, survei Asosiasi Gula-gula Nasional (National Confectioners Association/NCA) menyebutkan, 93 persen responden berencana merayakan Halloween pada 31 Oktober 2021. Peritel juga sudah menyiapkan aneka macam permen bertema Halloween yang mendomiasi sekitar 27 persen produk ritel musiman mereka.
Baca juga : Halloween yang Tak Lagi Seram
Pada 2020 penjualan produk permen Halloween di Amerika Serikat mencapai 324 juta dollar AS atau tumbuh 48 persen secara tahunan. Namun, pertumbuhan itu masih lebih rendah dari 2019 yang sebesar 59,8 persen.
Sementara itu, Indonesia tidak memiliki tradisi khusus memakan permen. Namun, terlepas dari itu, sejarah permen di Indonesia cukup menarik. John Joseph Stockdale, dalam bukunya, Island of Java (manuskrip aslinya pertama kali diterbitkan pada 1811), menyebutkan, pada 1778, Belanda mengirim 10.000 pon atau sekitar 5.000 kilogram candied ginger dari Batavia ke Eropa. Makanan ini digemari di Eropa karena menyembuhkan kembung.
Maka, tidak mengherankan jika pada awal-awal perkembangan permen, Indonesia memiliki permen jahe, gula asam, dan gulali. Bahan bakunya, seperti gula, jahe, dan asam, banyak terdapat di Indonesia. Pada umumnya, permen jahe dan asam ini dikemas secara sederhana, yaitu dengan bungkus plastik bening yang bagian kanan dan kirinya diuntir dengan tangan.
Hal itu berbeda dengan gulali yang penyajiannya menggunakan stik kayu atau bambu kecil. Indonesia memiliki beberapa jenis gulali, yaitu gulali gula jawa biasanya ditaburi dengan kacang, gulali colek, dan gulali cetak. Gulali cetak ini mirip dalgona. Bentuknya bisa bermacam-macam sesuai cetakannya.
Baca juga : Kisah Biskuit Regal Marie dan Secangkir Kopi
Indonesia juga memiliki permen-permen legendaris. Misalnya, permen mentol bermerek Davos yang diproduksi sejak 1931 dan dipelopori oleh Siem Kie Djian, pengusaha Purbalingga, Jawa Tengah.
Ada juga permen Ting Ting Jahe yang diproduksi PT Sindu Amritha (SIN A) di Pasuruan, Jawa Timur, sejak 1935. Usaha permen yang masih mempertahankan seni melipat bungkus permen dengan tangan ini dirintis Njoo Tjhay Kwee. Selain dijual di Indonesia, produk ini juga telah telah diekspor ke sejumlah negara, seperti Hong Kong, Australia, Jerman, Amerika, dan Inggris.
Tentu saja selain kedua permen itu, masih banyak permen-permen legendaris Indonesia yang masih eksis hingga sekarang, antara lain permen cokelat Cap Jago, Pagoda Pastiles, Yosan, dan Nano-nano. Namun, sama seperti dalgona, permen-permen legendaris Indonesia ini tergerus zaman lantaran semakin banyak bermunculan aneka permen, baik produk dalam negeri maupun impor.
Permen memang tergolong produk kecil. Namun, jika dikemas dengan apik dari sisi pemasaran, nilai ekonominya besar. Sejumlah permen juga memiliki akar sejarah masing-masing dan eksistensinya ditopang oleh tradisi. Hal ini bisa menjadi modal membangun citra produk melalui storynomics.
Baca juga kolom penulis: