Drama Korea dan Diaspora Menduniakan Produk Indonesia
Promosi produk RI ke dunia bisa menggunakan beragam cara, termasuk melalui drama korea, anime dan manga jepang, serta media sosial. Selain itu, diaspora RI juga berperan memopulerkan produk-produk RI di luar negeri.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Drama seri Korea dan diaspora Indonesia menduniakan produk-produk makanan dan minuman Nusantara. Cara populer melalui jalan ekonomi kreatif dan kolaborasi dengan masyarakat asal Indonesia yang tinggal di banyak negara itu menjadi tren ekspansi sejumlah pelaku usaha industri nasional.
PT Mayora Indah Tbk mempromosikan salah satu produknya, Kopiko, melalui drama seri Korea, antara lain, Vincenzo, Mine, dan Hometown Cha Cha Cha. Produk mi instan bermerek Indomie yang diproduksi PT Indofood CPB Sukses Makmur Tbk juga pernah muncul sebentar dalam drama seri Korea Vagabond.
Sebelumnya, sejumlah aktor Korea digandeng menjadi bintang iklan produk-produk Indonesia, seperti Luwak White Koffie dan Mie Sedaap Cup Korean Spicy. Pariwara Luwak White Koffie dibintangi Lee Min-ho dan Mie Sedaap Cup Korean Spicy oleh Choi Si-won.
Sejumlah anime dan manga Jepang juga pernah menampilkan produk-produk kuliner khas Indonesia. Jormungand yang dirilis pada 2012 menjadikan Jakarta sebagai salah satu latarnya dan menampilkan menu khas Indonesia, seperti nasi goreng, es teler, es doger, dan es cincau.
Begitu juga dengan Shokugeki no Souma atau Food Wars, anime dan manga yang juga dirilis pada 2012, memperkenalkan tempe sebagai makanan tradisional Indonesia yang sudah ada sejak 400 tahun lalu. Dijelaskan pula tempe dibuat dari fermentasi kedelai yang dibungkus dengan daun pisang.
Shokugeki no Souma atau Food Wars, anime dan manga yang juga dirilis pada 2012, memperkenalkan tempe sebagai makanan tradisional Indonesia yang sudah ada sejak 400 tahun lalu.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, Minggu (10/10/2021), mengatakan, sebenarnya, sektor ekonomi kreatif telah tumbuh cukup lama. Namun, baru sekitar lima tahun terakhir ini para pelaku usaha dan industri makanan-minuman berupaya memanfaatkannya untuk meningkatkan pasar di dalam dan luar negeri.
”Dalam pemasarannya, sektor ekonomi kreatif ini diadopsi, baik dengan endorse melalui media sosial, menggunakan film dan drama seri, maupun merekrut bintang tenar sebagai brand ambassador (duta jenama),” kata Adhi ketika dihubungi di Jakarta.
Menurut Adhi, baru sebagian kecil pelaku industri makanan-minuman besar yang mampu mempromosikan melalui film atau drama serial mancanegara. Sebagian besar lebih memilih mempromosikan produk-produknya melalui media sosial yang populer digunakan di negara-negara tujuan.
Selain biaya promosinya lebih murah, pemasaran menggunakan media sosial di negara tersebut juga cukup efisien. Promosi dengan cara itu biasanya dilakukan dengan menggandeng jasa agensi di negara itu.
”Saat pertama kali mempromosikan jeli Inaco Maldito di Filipina, saya memilih media sosial seperti Instagram dan Facebook yang tenar di sana. Biaya promosi melalui media sosial itu selama setahun berkisar 60.000-70.000 dollar AS,” ujarnya.
Baru sebagian kecil pelaku industri makanan-minuman besar yang mampu mempromosikan melalui film atau drama serial mancanegara. Sebagian besar lebih memilih mempromosikan produk-produknya melalui media sosial yang populer digunakan di negara-negara tujuan.
Bahkan, bagi para pelaku industri makanan-minuman berskala besar, lanjut Adhi, promosi pemasaran di sebuah negara tidak hanya mengarah pada perdagangan semata. Saat target pasar dari perdagangan itu tercapai, mereka mendirikan pabrik di negara tersebut untuk memperluas pasar. Produk-produk Indonesia yang sudah diproduksi di luar negeri, antara lain, mi instan, roti dan kue nabati, serta makanan ringan dari kacang.
Tak hanya makanan-minuman olahan, pelaku industri makanan-minuman juga ada yang mendirikan pabrik pangan semi-olahan. PT Anugerah Citra Walet Indonesia (ACWI) yang bermitra dengan Yantyty Group Co, misalnya, telah memulai pembangunan pabrik pengolahan sarang burung walet di kawasan industri Fengxian District, Shanghai, China, pada 28 Juni 2021.
Melalui siaran pers, Duta Besar RI untuk China dan Mongolia Djauhari Oratmangun menyatakan, sarang burung walet merupakan salah satu produk ekspor unggulan Indonesia ke China. Produk itu mampu menguasai sekitar 75 persen pasar sarang burung walet di China. Pada 2020, ekspor sarang burung walet Indonesia ke China menempati posisi pertama dengan nilai total 413,6 juta dollar AS atau tumbuh 88,05 persen dari 2019.
Berkat peran Rustono, diaspora asal Indonesia yang tinggal di Jepang, Indonesia juga memiliki pabrik tempe di Jepang dan China dengan merek Rusto’s Tempeh. Pabrik tempe di Jepang diresmikan pada 2020 di Otsu, Perfektur Siga, sedangkan pabrik tempe di Jepang diresmikan pada akhir Januari 2021 di kawasan industri pengolahan makanan Songjiang District, Shanghai.
Sementara itu, di Chicago, Amerika Serikat, diaspora asal Indonesia, Tasya Hardono, merintis supermarket WaRoeNG yang resmi dibuka pada Juni 2021. Berbagai jenis produk khas Indonesia, seperti camilan, kerupuk, sambal, dan bumbu, bahkan sejumlah suvenir khas Indonesia, bisa didapatkan di supermarket itu.
Kepala Sekolah Ekspor Handito Juwono berpendapat, diaspora Indonesia di luar negeri menjadi salah satu kunci meningkatkan ekspor produk-produk Indonesia, termasuk buatan usaha kecil menengah (UKM). Sekolah Ekspor dan Balai Besar Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan Ekspor bekerja sama mengurasi dan memetakan diaspora-diaspora Indonesia yang tersebar di beberapa negara.
Hal itu dalam rangka membangun jaringan ekspor dari hulu hingga hilir. ”Dialog akan kami bangun. Data akan kami rajut untuk melengkapi pembuatan peta jalan pengembangan ekspor bagi 500.000 eksportir baru dari kalangan UKM,” ujarnya.