Sastra dapat memperkuat ”brand” atau jenama, sementara jenama mampu mengabadikan sebuah karya sastra, seperti dongeng atau legenda rakyat yang memiliki kearifan dan bahasa lokal.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Sastra bisa mengisahkan dan memberikan pemaknaan terhadap peristiwa ekonomi. Sebaliknya, ekonomi bisa melanggengkan sastra. Keduanya merupakan disiplin ilmu yang jauh berbeda, tetapi saling memiliki kebertautan satu sama lain dalam penerapannya.
Dalam Buku Besar Peminum Kopi (2020), Andrea Hirata mencatat krisis moneter Indonesia yang terjadi pada 1997-1998 sebagai salah satu konteks novelnya tersebut. ”Aku terbelalak membaca judul salah satu artikel di halaman muka: Indonesia Berisiko Mengalami Krisis Ekonomi Terbesar dalam Sejarahnya…. Esoknya kubaca di koran bahwa nilai tukar rupiah telah jatuh dari kisaran 5.500 per dollar AS menjadi 9.500, hampir 100 persen hanya dalam hitungan hari…. Inflasi meroket, sektor riil lumpuh, usaha-usaha tutup secara kolosal, pengangguran meledak. Bisnis yang muatan impornya tinggi kolaps.”
Atau Sindhunata yang memotret kondisi sosial-ekonomi Indonesia dari sisi wong cilik dalam Ekonomi Kerbau Bingung (2006). Dalam buku kumpulan ficer tersebut, Sidhunata, antara lain, mengisahkan tentang kemiskinan dan derita keluarga Jamroni; Abidin sang penjual sapu keliling yang mengeluhkan kenaikan harga barang yang tidak diikuti dengan kenaikan harga sapunya; dan Sum yang ingin mendapatkan pekerjaan yang layak di Jakarta, tetapi pada akhirnya mendapatkan nafkah dengan memperdagangkan dirinya.
Dalam konteks tersebut, sastra memotret, membingkai, dan memberikan pemaknaan terhadap kondisi atau peristiwa ekonomi pada saat itu. Selain itu, sastra dan ekonomi bisa saling bekerja sama mendulang keuntungan. Sastra dapat memperkuat brand atau jenama, sementara jenama mampu mengabadikan sebuah karya sastra, seperti dongeng atau legenda rakyat yang memiliki kearifan dan bahasa lokal.
Sastra dapat memperkuat brand atau jenama, sementara jenama mampu mengabadikan sebuah karya sastra, seperti dongeng atau legenda rakyat yang memiliki kearifan dan bahasa lokal.
Pada 2019 dan 2020, sirop Marjan pernah mengemas iklan produknya menggunakan legenda rakyat Timun Mas dan Lutung Kasarung. Terlepas dari kontroversi yang muncul, jenama ini mampu melakukan terobosan untuk memperkenalkan cerita rakyat Indonesia yang sarat dengan pesan moral dengan tampilan kekinian.
Di Jepang, Sapporo, merek bir tertua ”Negeri Matahari Terbit”, merilis bir Golden Kamuy bergambar anime Saichi Sugimoto pada 18 Juli 2018 untuk memeriahkan promosi pariwisata Hokkaido. Saichi Sugimoto adalah mantan prajurit divisi 1 tentara kekaisaran jepang yang bertempur dalam perang Rusia-Jepang. Dia dijuluki sebagai ”Immortal Sugimoto” karena tak terkalahkan di medan perang. Anime ini berangkat dari kisah rakyat Ainu, Hokkaido.
Masyarakat Betawi juga memiliki minuman khas selendang mayang. Konon, minuman yang kini tak hanya tersaji di warung-warung atau pedagang-pedagang keliling, tetapi juga di restoran-restoran ternama ini, tak lepas dari cerita rakyat si Jambang Mayang Sari.
Secara populer dalam strategi pemasaran, cara-cara pengemasan jenama berbalut narasi itu disebut sebagai storynomics. Dalam bukunya, Storynomics: Story-Driven Marketing in The Post-Advertising World, Robert McKee, seorang pengajar menulis cerita kreatif Universitas California Selatan, Amerika Serikat, menjelaskan tentang istilah tersebut.
McKee menyebutkan, tak cukup hanya mengandalkan data dalam strategi pemasaran. Narasi juga diperlukan untuk menyentuh elemen utama masyarakat yang kental dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya. Melalui storynomics, data turut ditempatkan dalam bentuk cerita yang menyentuh konteks pengalaman hidup.
Tak cukup hanya mengandalkan data dalam strategi pemasaran. Narasi juga diperlukan untuk menyentuh elemen utama masyarakat yang kental dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya.
Di Indonesia, storynomics belakangan ini kerap digaungkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sejumlah daerah wisata di Indonesia mulai mengembangkan storynomics, terutama di 10 kawasan wisata Bali baru dan lima destinasi wisata superprioritas, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Dalam konteks tersebut, storynomics dipahami sebagai sebuah kegiatan ekonomi dalam pariwisata yang berbasis pada narasi, konten kreatif, living culture, dan kekuatan budaya sebagai DNA destinasi. Banyak kalangan yang menyebutnya sebagai sastra pariwisata. Namun, pendekatannya masih berbasis pada cerita rakyat setempat.
Tentu tak hanya untuk menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara, tetapi juga menjadi daya tarik jenama-jenama ternama dunia guna memperkenalkan tempat wisata dan kerajinan setempat sebagai salah satu bagian strategi bisnisnya. Misalnya, pada Januari 2021, jenama KENZO membuat iklan komersial minyak wangi baru di Ubud, Bali. Selain itu, Christian Dior juga menggunakan tenun endek Bali untuk Spring Summer Collection 2021.
Storynomics melahirkan nilai-nilai baru sekaligus melanggengkan nilai-nilai lama. Tak hanya menyangkut jenama produk dan pariwisata, tetapi juga sebuah korporasi. Apalagi korporasi yang telah dibangun oleh nilai-nilai lama yang membentuk korporasi tersebut hingga brand-nya dipercaya masyarakat hingga kini.