Negosiasi di Masa Pandemi Kerap Tidak Libatkan Serikat Buruh
Hubungan industrial yang sehat membutuhkan dialog bipartit yang terbuka dan setara. Namun, selama pandemi ini, buruh di sektor tekstil garmen sepatu dan kulit (TGSL) tidak mendapat ruang perundingan kolektif yang setara.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19 dinilai mengingkari hak buruh untuk berunding secara kolektif. Negosiasi pengurangan upah, pemutusan kontrak, dan perubahan jam kerja kerap berlangsung sepihak atau tanpa melibatkan serikat pekerja.
Praktik ini setidaknya ditemukan di beberapa perusahaan sektor tekstil, garmen, sepatu dan kulit (TGSL). Ketua Umum Federasi Serikat Butuh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi, Kamis (7/10/2021), mengatakan, sejumlah pabrik sudah menerapkan praktik itu dengan memanggil buruh secara individual, meminta buruh menandatangani surat persetujuan penurunan upah atau penghapusan tunjangan, tanpa melibatkan serikat pekerja.
Padahal, di pabrik-pabrik itu, ada serikat pekerja yang aktif dan selama ini (sebelum Kepmenaker Nomor 104 Tahun 2021) biasanya dilibatkan dalam negosiasi bipartit. ”Surat persetujuan dijadikan dasar pembenaran untuk mengurangi upah dan tunjangan,” kata Dian dalam konferensi pers bersama Dialog Sosial Sektoral-TGSL (DSS-TGSL) secara daring.
Menurut Dian, Kepmenaker No 104/2021 membuka celah negosiasi antara pengusaha dan pekerja di tengah ketidakpastian pandemi, tetapi dilakukan secara individu antara buruh terkait dan manajemen.
Dalam Kepmenaker disebutkan, penyesuaian upah didasarkan pada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Peraturan itu tidak menyebut tentang pelibatan serikat pekerja dalam proses negosiasi penyesuaian upah. Pelibatan serikat buruh baru disebut dalam konteks dialog untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kehadiran serikat buruh dalam proses negosiasi bipartit, ujarnya, menjadi penting karena dapat menguatkan posisi tawar pekerja di hadapan manajemen perusahaan. Terlebih tidak semua pekerja sudah memahami peraturan ketenagakerjaan dan hak-hak mereka sehingga memerlukan pendampingan dan advokasi dari serikat buruh.
Ia menambahkan, dialog sosial hanya bisa berlangsung jika dilakukan untuk membahas isu-isu nonnormatif (hal-hal yang sebenarnya tidak ditetapkan oleh undang-undang tetapi sering menjadi pokok perundingan dalam hubungan ketenagakerjaan).
”Negosiasi ulang tentang upah, tunjangan, bahkan penawaran pensiun dini, bukanlah isu nonnormatif. Ini isu vital dalam relasi perburuhan yang berdampak besar pada hidup buruh dan keluarganya dan tidak seharusnya dibebankan pada buruh secara individual, yang memiliki posisi tawar jauh lebih lemah dari pengusaha,” kata Dian.
Ia juga mengkhawatirkan ketidakjelasan tenggat waktu berlakunya Kepmenaker No 104/2021. Tanpa batas waktu implementasi Kepmenaker, praktik saat ini berpotensi dilakukan bahkan ketika kelak kondisi sudah membaik atau ketika pandemi sudah usai.
”Patut dicurigai ini pelemahan peran serikat buruh dalam merepresentasikan anggotanya di perundingan. Jika dibiarkan, kekuatan serikat pekerja/serikat buruh akan semakin melemah dan tingkat kesejahteraan buruh semakin merosot,” ujar Dian.
Posisi serikat pekerja diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyebut serikat buruh berhak mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan serta wajib melindungi anggotanya dari pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan. Serikat buruh juga wajib memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
Mencabut kepmenaker
Dian meminta pemerintah mencabut Kepmenaker No 104/2021 karena peraturan itu justru mereduksi posisi tawar buruh di masa-masa ketika pekerja butuh perlindungan dari negara.
Kepmenaker perlu diganti dengan kebijakan asertif yang memberikan ruang perundingan kolektif setara dalam negosiasi hak pekerja selama pandemi. ”Peraturan ini melanggar hak buruh untuk dibela oleh serikat buruh, membiarkannya sendirian dalam relasi tak seimbang di tengah masa sukar. Apalagi para pekerja kontrak yang posisinya lebih rentan,” ujar Dian.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, kunci hubungan ketenagakerjaan yang sehat adalah keterbukaan antara manajemen perusahaan dan pekerja serta serikat/perkumpulan pekerja di internal perusahaan tersebut.
Di tengah kondisi sulit akibat pandemi, kedua pihak perlu duduk bersama dan mencari solusi jalan tengah yang dapat disepakati kedua pihak. ”Jadi ini kembali lagi pada dinamika hubungan industrial di perusahaan terkait. Asal ada keterbukaan (dari manajemen) pekerja biasanya bisa paham, mereka juga tahu bagaimana kondisi keuangan perusahaan,” kata Hariyadi.
Ia menambahkan, dalam dialog bipartit, biasanya perusahaan akan melakukan negosiasi dengan perwakilan serikat pekerja atau perkumpulan karyawan di internal perusahaan. Terkait adanya perusahaan yang tidak melakukan hal tersebut, Hariyadi kembali menyinggung perihal pentingnya budaya keterbukaan di internal perusahaan itu.
”Kalau tidak terbuka dan akhirnya jadi ribut-ribut, sebenarnya perusahaan juga akan rugi. Maka, kalau memang lagi sulit, komunikasikan saja kesulitannya itu,” ujarnya.
Sebelum ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, lembaga tripartit yang terdiri dari pengusaha, pekerja, dan pemerintah, memegang peran penting untuk menjaga kelangsungan usaha dan bekerja di tengah pandemi. Ketiga pihak, ujarnya, harus sama-sama memiliki komitmen untuk mengatasi problem ketenagakerjaan.
”Tripartit harus memperkuat dialog sosial sebagai sarana komunikasi, koordinasi, konsolidasi, dan dialog mengenai hal-hal yang terjadi di perusahaan akibat pandemi. Kekuatan tripartit ini yang menjadi kunci sukses menjaga kelangsungan usaha dan dunia kerja selama pandemi,” katanya.