Hadapi Ketidakpastian Perlindungan, Posisi Tawar Buruh Diperkuat
Menghadapi ketidakpastian perlindungan, advokasi dan pendidikan terhadap buruh atau pekerja akan ditingkatkan agar mereka mampu menaikkan posisi tawar dan berargumen dengan perusahaan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sekitar sepuluh bulan menambah panjang deretan persoalan ketenagakerjaan. Sebagian buruh bekerja tanpa perlindungan dan fasilitas kesehatan memadai serta upah dan pemenuhan hak yang minim. Ke depan, buruh didorong aktif berserikat dan membekali diri untuk meningkatkan posisi tawar dan memperjuangkan haknya.
Survei Marsinah FM dan Kelompok Belajar Perburuhan selama Covid-19 terhadap buruh di 83 perusahaan menunjukkan sebagian besar buruh yang disurvei mengalami perlakuan buruk dan ketidakpastian kerja selama pandemi. Perusahaan yang disurvei bergerak di sektor garmen, tekstil, kulit, alas kaki, perhotelan rumah makan dan ritel, jasa keuangan, kimia, karet dan plastik, percetakan, logam, serta komponen otomotif.
Hasil survei pada Maret 2020 terhadap buruh di Jabodetabek, Karawang, dan Jawa Tengah itu menunjukkan, 67,81 persen buruh masih harus bekerja, tetapi sebanyak 25,25 persen buruh bekerja tanpa fasilitas kesehatan dari perusahaan, seperti masker, fasilitas cuci tangan, dan penyemprotan disinfektan di lingkungan kerja.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan pemangkasan upah juga bertambah selama pandemi. Survei pada Juli 2020 menunjukkan, sebanyak 65,85 persen buruh yang dirumahkan tidak mendapat upah sama sekali. Ketika perusahaan tidak berhasil mendapat keuntungan selama pandemi, buruh ikut menanggung rugi dengan mengencangkan ikat pinggang.
Sejalan, survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, 14 dari setiap 100 perusahaan atau 17,06 persen perusahaan yang beroperasi selama pandemi merumahkan karyawannya tanpa bayaran upah. Sementara 12,83 persen perusahaan memilih memberhentikan pekerja dalam jangka waktu singkat dibandingkan mem-PHK pekerja.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi, Minggu (20/12/2020), mengatakan, pandemi membawa situasi tidak menentu. Buruh harus menerima kenyataan kehilangan pekerjaan atau penghasilan dipotong sewaktu-waktu. Kondisi itu diperparah dengan kebijakan pemerintah yang tidak tegas soal pemenuhan hak buruh selama pandemi.
Kebijakan pemerintah kerap melempar keputusan pada perundingan bipartit antara buruh dan pengusaha. Sebagai contoh, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.
Alih-alih melindungi pekerja, kata Dian, kebijakan itu kerap merugikan buruh yang posisi tawarnya lebih rendah dari perusahaan. Apalagi, tidak semua buruh bergabung dalam serikat dan memahami haknya sebagai pekerja.
”SE itu memberi kemudahan untuk pengusaha merumahkan buruh tanpa upah atau mem-PHK buruh. Seolah-olah demokratis, tetapi kebijakan yang menyerahkan penentuan upah pada perundingan buruh dan pengusaha itu justru menunjukkan negara melepas tanggung jawab,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Pandemi membawa situasi tidak menentu. Buruh harus menerima kenyataan kehilangan pekerjaan atau penghasilan dipotong sewaktu-waktu.
Belajar dari pengalaman pandemi, lanjut Dian, pekerja harus proaktif mempertanyakan dan memperjuangkan haknya. Selain dalam perundingan bipartit, juga dalam mengakses jatah distribusi bantuan sosial. Ke depan, advokasi dan pendidikan terhadap pekerja akan ditingkatkan agar mampu menaikkan posisi tawar dan berargumen dengan perusahaan.
Apalagi, kasus ketenagakerjaan meningkat drastis selama pandemi dan diproyeksikan tetap akan naik selama ekonomi belum pulih. ”Kami sampaikan kepada teman-teman pekerja untuk bisa membela diri sendiri dan tahu hak-haknya sebagai pekerja,” katanya.
Menurut Dian, selama pandemi, jumlah buruh yang bergabung dalam serikat bertambah. Namun, kenaikan jumlah anggota itu karena buruh yang terkena kasus selama pandemi juga bertambah. Hal ini terjadi karena tengah terkena kasus dan dalam posisi rentan, mereka menjadi anggota. Sebaliknya, jumlah anggota yang dalam kondisi stabil justru turun.
”Banyak buruh yang memilih tidak berserikat untuk melindungi diri selama pandemi. Biasanya, ini kerap ditemukan pada buruh yang diputus kontrak dan dijanjikan kembali bekerja setelah kondisi normal. Mereka khawatir, jika berserikat, mereka tidak jadi diterima ketika kembali melamar,” ujarnya.
Kajian The Global Deal for Decent Work and Inclusive Growth Flagship Report oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan Organisasi Buruh Dunia (ILO) menegaskan pentingnya memperkuat dialog sosial secara tripartit. Pandemi yang sama-sama memukul pemerintah, pengusaha, dan pekerja bisa mengubah wajah hubungan industrial yang selama ini diwarnai krisis kepercayaan.
Sekretaris Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, tahun depan, pemerintah akan merespons imbas dari dampak pandemi terhadap sektor ketenagakerjaan. Ia juga membenarkan masih ada beberapa persoalan pemenuhan hak dan perlindungan pekerja selama pandemi. Ada hak-hak pekerja yang berkurang, bahkan hilang, dalam dinamika hubungan industrial selama pandemi.
Pemerintah akan membentuk gugus tugas khusus untuk menegakkan pengawasan dalam sengketa hubungan industrial.
Ke depan, pemerintah akan membentuk gugus tugas khusus untuk menegakkan pengawasan dalam sengketa hubungan industrial. ”Memang situasinya serba luar biasa selama pandemi ini. Ke depan, ini jadi bagian refleksi akhir tahun kami untuk merespons berbagai persoalan terkait ketenagakerjaan,” kata Anwar.
Selain upaya menciptakan lapangan kerja dan memperbanyak program padat karya, lanjut Anwar, pemerintah juga berencana mengevaluasi sejumlah program bantuan sosial bagi pekerja. Seandainya program bantuan subsidi upah dilanjutkan tahun depan, Kementerian Ketenagakerjaan akan membenahi semua hal yang menjadi catatan pelaksanaan selama 2020.