PPKM Pengaruhi Upah Buruh, Pemerintah Diminta Tidak Lepas Tangan
Selama PPKM, banyak perusahaan merumahkan pekerja dan mengurangi upah tanpa dialog bipartit. Pemerintah diharapkan tidak lepas tangan dalam melakukan pengawasan serta memberi bantuan bagi pekerja dan pengusaha.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menerbitkan peraturan baru untuk mengatur hubungan kerja selama masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. Salah satu aturannya, pengusaha yang terdampak pandemi diperbolehkan untuk mengurangi upah pekerjanya. Kalangan buruh meminta pemerintah tidak lepas tangan dan lebih cepat menyalurkan bantuan yang bisa meringankan beban buruh dan pengusaha.
Peraturan baru itu tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19. Aturan yang diteken pada 13 Agustus 2021 itu mengatur bahwa selama masa PPKM, pekerja tetap berhak mendapatkan upah sesuai besaran yang biasa diterimanya.
Itu berlaku untuk buruh yang bekerja dari kantor (work from office/WFO), buruh yang bekerja dari rumah (work from home/WFH), ataupun buruh yang dirumahkan (diliburkan/dibebaskan dari pekerjaan).
Akan tetapi, keputusan yang sama juga mengatur, pengusaha yang terdampak pandemi dan tidak mampu membayar upah seperti biasa boleh melakukan penyesuaian besaran upah dan cara pembayaran upah. Asalkan, perusahaan tetap membayarkan upah setiap bulan.
Penyesuaian upah itu harus dicapai dengan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja. Kesepakatan penyesuaian upah dilakukan secara tertulis dan memuat tiga hal, yaitu besaran upah, cara pembayaran upah yang bisa dilakukan sekaligus atau bertahap, serta jangka waktu berlakunya kesepakatan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat, Selasa (17/8/2021), menilai, pemerintah terlambat mengeluarkan kepmenaker tersebut. PPKM nyaris berlangsung dua bulan dan sudah banyak perusahaan yang merumahkan pekerjanya dan menyesuaikan upah tanpa dialog bipartit atau kesepakatan dengan pekerja.
”Di lapangan, pekerja yang dirumahkan itu sudah tidak dibayar. Dirumahkan, ya, dirumahkan. No work, no pay,” kata Mirah saat dihubungi.
Kendati demikian, Mirah dapat memaklumi kondisi sebagian pengusaha, khususnya yang berskala kecil-menengah dan merupakan sektor non-esensial, yang selama PPKM ini kesulitan mempertahankan usaha karena tidak bisa beroperasi normal.
”Oleh karena itu, beban ini tidak bisa hanya dilempar ke pengusaha atau dilempar ke pengusaha dan pekerja, yang pada akhirnya seperti membenturkan satu sama lain. Pemerintah juga harus bertanggung jawab,” katanya.
Realisasi bantuan
Mirah mencontohkan, sampai saat ini, bantuan dan relaksasi yang diberikan untuk pengusaha masih cenderung diarahkan ke sektor atau usaha berskala besar. Misalnya, diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor yang berhasil menyokong sektor otomotif yang umumnya berskala besar. Atau, kebijakan relaksasi aktivitas industri untuk sektor-sektor berorientasi ekspor yang umumnya juga industri berskala besar, bukan industri kecil-menengah (IKM).
Ia juga menyinggung bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan atau gaji sesuai upah minimum, yang sampai saat ini tak kunjung turun meski PPKM sudah berlangsung hampir 2 bulan. Padahal, BSU seharusnya bisa meringankan beban pekerja dan pengusaha sekaligus.
”Subsidi dan bantuan harus merata, bukan hanya untuk pengusaha besar, melainkan juga pengusaha kecil-menengah. Mereka sudah banyak yang ngos-ngosan dan pekerjanya paling terdampak. BSU juga seharusnya lebih cepat untuk meringankan beban buruh sekaligus pengusaha,” tuturnya.
Tak hanya itu, pengawasan di lapangan juga harus benar-benar ditegakkan, tidak sekadar melalui imbauan. Keputusan pengupahan selama PPKM yang diserahkan hanya kepada manajemen perusahaan dan pekerja berpotensi berat sebelah karena posisi tawar pekerja umumnya lebih rendah—terlebih di perusahaan yang tidak punya serikat pekerja.
Pengawasan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri menegaskan, meski perusahaan terpaksa merumahkan pekerja karena pandemi, pekerja tetap berhak atas gaji/upah saat dirumahkan. ”Untuk yang tidak mampu secara finansial, pengusaha dan pekerja dapat membuat kesepakatan penyesuaian upah,” ujarnya.
Ia menambahkan, meski upah disesuaikan, perhitungan iuran manfaat jaminan sosial bagi pekerja, pesangon, dan hak-hak pekerja yang lainnya tetap harus mengacu pada upah sebelum penyesuaian.
Lebih lanjut, untuk melakukan pembinaan dan pengawasan, dinas ketenagakerjaan di daerah setempat juga diminta melakukan pembinaan kepada pengusaha dan pekerja, mendampingi kedua pihak dalam proses mencapai kesepakatan penyesuaian upah, serta mengawasi pelaksanaan kesepakatan pengupahan tersebut.
Hasil kesepakatan bipartit tentang pengupahan itu juga harus dilaporkan secara tertulis kepada dinas ketenagakerjaan setempat secara daring. Pelaporan ini untuk keperluan pendataan, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum atas kesepakatan yang sudah dibuat pengusaha dengan pekerja.
”PHK (pemutusan hubungan kerja) harus menjadi jalan paling akhir setelah berbagai upaya lain sudah dilakukan dan tidak ada jalan lain lagi. Dialog bipartit untuk putusan PHK ini harus melibatkan dinas ketenagakerjaan. Jangan lupa, hak-hak pekerja juga harus tetap diberikan walau perusahaan bangkrut,” tutur Putri.