Impor Bahan Baku Meningkat, Aktivitas Industri Membaik
Kenaikan impor bahan baku dan barang modal menunjukkan geliat industri dan ekonomi yang mulai membaik. Kinerja ekspor yang melesat menyumbang pada rekor surplus neraca perdagangan tertinggi sejak 2006.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Jakarta, Kompas -- Kinerja industri pengolahan pada Agustus 2021 mulai menunjukkan geliat positif setelah tertekan akibat mewabahnya Covid-19 varian Delta, dan pembatasan mobilitas pada Juli 2021. Geliat ini ditandai dengan peningkatan impor bahan baku dan penolong serta impor barang modal yang cukup tinggi secara bulanan.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik pada Rabu (15/9/2021), impor bahan baku/penolong pada Agustus 2021 tercatat senilai 12,38 miliar dollar AS atau naik 8,39 persen secara bulanan dibandingkan kondisi Juli 2021. Jika dibandingkan secara tahunan, impor bahan baku/penolong mengalami kenaikan signifikan hingga 59,59 persen dibandingkan kondisi Agustus 2020.
Impor barang modal pada Agustus 2021 juga mengalami kenaikan 16,44 persen secara bulanan, dengan nilai 2,41 miliar dollar AS. Sementara, secara tahunan, impor barang modal juga meningkat sebesar 34,56 persen dibandingkan kondisi Agustus 2020.
Impor bahan baku/penolong berkontribusi hingga 74,2 persen dari total impor pada Agustus 2021, sementara porsi impor barang modal adalah 141,47 persen dari total impor. Adapun impor barang konsumsi tercatat senilai 1,89 miliar dollar AS dan mengambil porsi terkecil 11,33 persen dari total impor.
Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono mengatakan, kenaikan impor pada kedua kategori barang tersebut menunjukkan geliat pemulihan di industri pengolahan. Permintaan di sektor industri mulai bergerak, ditandai dengan naiknya impor bahan baku secara bulanan maupun tahunan.
Secara umum, indikator ini menunjukkan perbaikan aktivitas ekonomi secara umum. “Impor barang modal yang naik juga menunjukkan bahwa kebutuhan untuk peningkatan kapasitas produksi di industri pun semakin bagus,” kata Margo dalam konferensi pers daring, Rabu.
Meski butuh kajian lebih mendalam, Margo menyebutkan korelasi tak langsung antara peningkatan impor untuk kebutuhan industri tersebut dengan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang secara bertahap dilonggarkan pada Agustus. Sepanjang Agustus, satu per satu industri pengolahan diberikan kelonggaran untuk beraktivitas 100 persen dengan dibagi dalam dua sif kerja.
Adapun kinerja impor secara keseluruhan pada Agustus 2021 tercatat di angka 16,68 miliar dollar AS, naik 10,35 persen dibandingkan Juli 2021. Secara tahunan, kinerja impor juga naik 55,26 persen dibandingkan Agustus 2020.
Khusus impor non-migas, peningkatan secara bulanan tercatat sebesar 9,76 persen dengan nilai impor non-migas 14,63 miliar dollar AS. Impor non migas secara tahunan juga meningkat signifikan sebesar 49,39 persen.
Secara kumulatif, selama Januari-Agustus 2021, impor non-migas naik 30,01 persen dengan nilai total 107,48 miliar dollar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sepanjang periode itu, komposisi impor bahan baku/penolong mencapai 75,61 persen dan impor barang modal mencapai 14,37 persen dari total impor.
Sepanjang Agustus 2021, peningkatan impor non-migas paling banyak adalah pada mesin/peralatan mekanik dan bagiannya dengan penambahan impor senilai 318,5 juta dollar AS, diikuti mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya (165,6 juta dollar AS). Besi dan baja, logam mulia, perhiasan/permata, dan buah-buahan juga termasuk barang yang mengalami kenaikan impor paling tinggi.
Indonesia masih bergantung pada impor dari China. Pada Agustus 2021, impor dari China bertambah 543,4 juta dollar AS dengan total nilai impor 4,96 miliar dollar AS (33,87 persen dari total impor). “Ini khususnya untuk mesin dan peralatan mekanis dan bagiannya, serta buah-buahan,” kata Margo.
Negara kedua yang paling banyak mengimpor barang ke Indonesia adalah Jepang dengan peningkatan impor 192 juta dollar AS dan total impor 1,32 miliar dollar AS (9,04 persen). Thailand, dengan penambahan impor 87,8 juta dollar AS, mengimpor total 780 juta dollar AS (5,33 persen) ke Indonesia selama bulan Agustus.
Surplus cetak rekor
Sejalan dengan itu, ekspor pada Agustus 2021 tercatat senilai 21,42 miliar dollar AS, atau naik 20,95 persen dibandingkan kondisi Juli 2021. Khusus ekspor non-migas mencatat nilai 20,36 miliar dollar AS dengan peningkatan 21,75 persen dari bulan sebelumnya.
Secara tahunan, jika dibandingkan dengan Agustus 2020, ekspor juga mengalami pertumbuhan hingga 64,10 persen, dengan ekspor non-migas yang tumbuh pesat hingga 63,43 persen. Nilai ekspor pada Agustus 2021 ini tercatat sebagai yang tertinggi sejak 2011.
Seiring dengan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang meningkat, geliat ekspor paling tinggi juga terpantau pada industri pengolahan, dengan nilai ekspor 16,37 miliar dollar AS. Kinerja ekspor industri pada Agustus 2021 ini tumbuh 20,67 persen secara bulanan dan tumbuh 52,62 persen secara tahunan.
“Secara tahunan, ekspor yang tumbuh cukup tinggi adalah komoditas minyak kelapa sawit (tumbuh 168,68 persen), ekspor besi dan baja (110,35 persen) dan kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian (121,76 persen),” kata Margo.
Ekspor di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada Agustus 2021 ada di angka 340 juta dollar AS. Capaian ekspor di sektor ini menurun 0,42 persen dibandingkan Agustus 2020, meski masih tumbuh positif 7,48 persen secara bulanan.
“Komoditas yang turunnya cukup besar secara tahunan itu cengkeh (melambat 73,23 persen), lalu udang hasil tangkap (87,80 persen dan sarang burung (18,43 persen),” papar Margo.
Dengan peningkatan ekspor itu, tren surplus pun bertahan. Neraca perdagangan pada Agustus 2021 mencatat surplus 4,74 miliar dollar AS, mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, atau lebih tepatnya sejak 2006 ketika neraca perdagangan membukukan surplus 4,64 miliar dollar AS.
Surplus terjadi karena ditopang oleh kinerja ekspor yang melesat di tengah kenaikan impor. Adapun secara kumulatif, pada periode Januari-Agustus 2021, neraca perdagangan telah membukukan surplus 19,17 miliar dollar AS. “Komoditas non-migas yang menyumbang surplus terbesar adalah lemak dan minyak hewan/nabati, bahan bakar mineral, dan besi dan baja,” kata Margo.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni mengatakan, Indonesia perlahan mulai mampu menggeser posisi menjadi basis produksi manufaktur terbesar di wilayah ASEAN. Ia mengatakan, nilai tambah manufaktur (manufacturing value added/MVA) Indonesia senilai 281 miliar dollar AS termasuk yang unggul dibandingkan negara ASEAN lainnya.
MVA Indonesia lebih unggul dibandingkan Thailand (1,23 miliar dollar AS), Malaysia (81,19 juta dollar AS), dan Vietnam (41,7 juta dollar AS). "Berbagai langkah akan dilakukan untuk terus meningkatkan nilai tambah di sektor industri ini, dengan mendorong hilirisasi, substitusi impor, dan menjadikan industri kita bagian dari rantai pasok global," kata Febri.