Daya Saing Industri Dalam Negeri Perlu Terus Diperkuat
Untuk menekan arus produk impor, kebijakan restriksi atau proteksi yang terlalu ketat dinilai tidak tepat. Peningkatan kapasitas industri berorientasi ekspor agar bisa bersaing dengan produk negara lain lebih mendesak.
Oleh
Agnes Theodora & Hendriyo Widi
·5 menit baca
Jakarta, Kompas -- Jakarta, Kompas - Upaya menekan impor demi melindungi industri nasional dengan restriksi terlalu ketat justru bisa berisiko bagi keberlangsungan industri di tengah iklim perdagangan global yang semakin terbuka. Pada saat bersamaan, peningkatan kapasitas industri dalam negeri perlu didorong agar bisa masuk ke rantai pasok global dan berdaya saing.
Saat ini, pemerintah sedang berupaya menekan arus produk impor. Kementerian Perindustrian menargetkan penurunan impor pada tahun 2021 mencapai 22 persen dari baseline total impor bahan baku/penolong dan barang modal pada tahun 2019 sebesar 132,14 miliar dollar AS. Dengan demikian, target impor sepanjang tahun 2021 adalah sebesar 103,7 miliar dollar AS.
Adapun total impor bahan baku/penolong dan barang modal pada periode Januari-Juni 2021 ini sudah mencapai 82,22 miliar dollar AS atau sekitar 62,2 persen dari target. Dengan kata lain, impor bahan baku/penolong hanya memiliki ruang sebesar 21,5 miliar dollar AS sampai akhir tahun 2021 untuk menjaga agar target penurunan impor 22 persen tercapai.
Sebelumnya, dalam rapat kerja perdana dengan Komisi VII DPR RI, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyoroti terlalu mudahnya produk impor masuk ke Indonesia. Untuk melindungi industri dalam negeri, salah satu upaya yang menurutnya perlu ditingkatkan adalah implementasi instrumen perlindungan dagang, hambatan non-tarif, serta serapan produk lokal lewat belanja pemerintah. (Kompas, 26/8/2021).
Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho, Kamis (26/8/2021) mengatakan, upaya meningkatkan kapasitas industri agar bisa bersaing dengan produk negara lain lebih mendesak dibandingkan membatasi impor demi mencapai target substitusi impor yang sudah ditetapkan.
Selain mendorong daya saing industri yang sudah ada, peningkatan kapasitas industri nasional juga bisa dicapai melalui menarik lebih banyak investasi yang bernilai tambah dan berorientasi ekspor. “Industri harus didorong agar turut menjadi bagian dari rantai pasok global, bukan sekadar menurunkan impor agar target angka yang dicanangkan tercapai,” ujarnya.
Untuk menekan arus produk impor, Kementerian Perdagangan tidak akan mengutamakan kebijakan restriksi atau proteksi yang terlalu ketat. Strategi Kemendag lebih mengedepankan pendekatan bilateral ke perusahaan, investasi berorientasi ekspor dan hilirisasi, serta penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Rabu lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, pembukaan pasar melalui perjanjian dagang dan ekonomi komprehensif memang berpotensi membuka keran impor. Namun, hal itu juga akan turut mendatangkan investasi.
Hasil dari investasi memang tidak bisa dinikmati dalam waktu dekat. Namun, seiring berjalannya waktu, investasi akan memperkuat struktur ekspor nonmigas dan hilirisasi industri di Indonesia.
“Beberapa investasi sudah bisa kita nikmati. Itu terlihat dari lima besar ekspor Indonesia pada tahun ini. Selain minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara, ada juga besi dan baja, elektronika, dan mobil. Hal ini bisa terjadi karena Indonesia disiplin menerapkan hilirisasi industri, khususnya di sektor pertambangan,” kata dia.
Lutfi menjelaskan, investasi China di sektor industri besi baja turut meningkatkan serapan hasil pertambangan di dalam negeri. Dari total ekspor Indonesia ke China yang sebesar 10,68 miliar dollar AS pada 2020, sebesar 69 persennya adalah nilai ekspor besi dan baja.
Di sektor otomotif, Indonesia juga telah memetik hasil dengan mengekspor mobil dan sepeda motor ke sejumlah negara. Salah satunya Filipina, sehingga neraca perdagangan Indonesia-Filipina bisa surplus senilai 3 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, komoditas nonmigas terbesar didominasi mobil dan besi baja.
Di sektor kendaraan listrik, Indonesia juga tengah bersiap menjadi pemain utama di rantai pasok kendaraan listrik global dengan membangun ekosistem baterai listrik yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Salah satunya dengan mendatangkan investor besar dari Korea Selatan, yaitu LG, yang menanamkan modal senilai 9,8 miliar dollar AS.
Neraca komoditas
Andry menilai, impor yang dibatasi kebijakan proteksi atau restriksi yang terlalu ketat bisa berdampak buruk bagi keberlangsungan industri dalam negeri. Sektor hulu industri nasional saat ini masih membutuhkan bahan baku/penolong dari negara lain. Kebijakan menekan impor bahan baku/penolong tanpa pendataan atau strategi yang terukur bisa menghalangi kinerja sektor hilir.
Menurutnya, pengelolaan impor tetap diperlukan, tetapi agar tepat sasaran dan terukur, kebijakan itu harus berdasarkan pemetaan kapasitas industri yang komprehensif dari hulu ke hilir. Sementara, Indonesia saat ini belum punya basis data pohon industri hulu-hilir yang terintegrasi.
“Kebijakan mengurangi impor di tiap sektor dan komoditas/produk seharusnya dimulai dari hal paling mendasar yaitu memetakan dulu kapasitas industri hulu ke hilir. Baru kita bisa berkaca mana yang sudah bisa kita kembangkan sendiri berdasarkan kemampuan SDM, teknologi, kapasitas industri, infrastruktur, dan lain-lain,” katanya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah memberi mandat pada pemerintah untuk menyusun neraca komoditas atau pemetaan informasi ketersediaan bahan baku dan penolong industri. Neraca itu akan memetakan pasokan dan permintaan secara terintegrasi dari hulu ke hilir agar kebijakan substitusi impor tetap terukur.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah saat ini sedang merumuskan neraca komoditas berdasarkan bahan baku dan penolong yang dibutuhkan oleh tiap sektor industri. Namun, untuk menjalankannya, pemerintah memerlukan tambahan anggaran.
Kemenperin memperkirakan, anggaran yang dibutuhkan untuk menyusun neraca komoditas sebesar Rp 70 miliar atau 10 persen dari total tambahan anggaran Rp 700 miliar yang diajukan Kemenperin pada tahun anggaran 2022.
“Bahan baku apapun yang dibutuhkan oleh tiap sektor industri, kami yang akan merumuskan neraca komoditasnya. Untuk melakukan itu, kami butuh kemampuan digital dan kemampuan pengolahan data yang luar biasa besar,” ujar Agus.
Ia mengatakan, program nilai tambah dan daya saing industri tetap menjadi salah satu prioritas Kemenperin pada tahun 2022. Kegiatan itu dilakukan di tiap sektor. Hal ini antara lain mencakup restrukturisasi mesin/peralatan untuk sejumlah industri, fasilitasi peningkatan kemampuan sentra industri kecil-menengah (IKM), serta pendampingan penerapan industri 4.0 di sejumlah sektor seperti makanan minuman, otomotif, elektronika, dan permesinan.
Program lainnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) industri melalui program pendidikan dan pelatihan vokasi, sertifikasi tenaga kerja industri, dan lain sebagainya.