Ekspansi Kawasan Industri Terkendala Infrastruktur dan Harga Gas
Sejumlah kendala menyertai upaya ekspansi kawasan industri nasional. Di tengah keterbatasan anggaran dan kompleksitas persoalan, pemerintah perlu memilih kawasan industri yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah rencana pemerintah memacu ekspansi kawasan industri, ada kendala ketersediaan infrastruktur dan fasilitas yang masih menghambat masuknya investasi dan pengembangan kawasan. Beberapa kendala, seperti harga gas industri yang terlalu mahal dan problem ketersediaan infrastruktur, menjadi keluhan utama pelaku industri.
Lima tahun terakhir, kawasan industri meningkat cukup pesat, baik dari sisi jumlah maupun luasannya. Jumlah kawasan industri bertambah dari 86 kawasan pada tahun 2016 menjadi 131 kawasan tahun 2021. Sementara luasannya meningkat dari 39.000 hektar menjadi 59.800 hektar selama kurun waktu tersebut.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, penambahan jumlah dan perluasan kawasan industri akan terus dilakukan pemerintah. Saat ini ada banyak perusahaan kawasan industri yang sedang melakukan tahap konstruksi. Per September 2021, sebanyak 38 kawasan industri sedang dibangun dengan total luas lahan 14.750 hektar.
Selain itu, ada 27 kawasan industri yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 serta 16 kawasan industri yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN). ”Kawasan industri memegang peran sangat penting dan strategis dalam mempercepat pertumbuhan industri di suatu wilayah dan memacu pertumbuhan ekonomi regional,” ujar Agus dalam pembukaan Musyawarah Nasional Himpunan Kawasan Industri (HKI) Ke-VIII yang digelar secara hibrida di Bandung, Kamis (9/9/2021).
Meski demikian, ada sejumlah kendala krusial yang membuat pelaku usaha enggan berinvestasi di kawasan industri, seperti harga gas yang terlalu mahal dan ketersediaan infrastruktur yang kurang sehingga menambah biaya logistik.
Berdasarkan hasil olahan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bank Dunia, serta Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), daya saing berinvestasi di Indonesia masih kalah dibandingkan negara lain di ASEAN. Komponen biaya usaha utama di Indonesia termasuk yang termahal di antara negara-negara ASEAN-5.
Tarif gas di Indonesia 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), termahal kedua di ASEAN setelah Malaysia yang 7,79 dollar AS per MMBTU. Harga gas 6 dollar AS per MMBTU itu pun belum berlaku untuk seluruh sektor, melainkan tujuh sektor yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Koordinator Wilayah HKI Jawa Timur Tony Herwanto mengatakan, tarif gas industri yang kompetitif menjadi salah satu faktor utama yang menentukan pelaku usaha berinvestasi di kawasan industri. Ada pula kendala ketersediaan infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol yang kurang terkoneksi dengan kawasan industri sehingga mengganggu kelancaran akses logistik.
Biaya logistik di Indonesia merupakan yang termahal di kawasan ASEAN yakni 24 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Sebagai perbandingan, porsi biaya logistik di Filipina dan Malaysia hanya 13 persen PDB, Thailand 15 persen PDB, dan Vietnam 20 persen PDB.
”Ini problem lama yang sampai saat ini kami rasakan. Padahal, (faktor) ini sangat diperhatikan calon tenant, khususnya investor asing, karena mereka melihat perbandingan harga gas di Indonesia dengan negara lain,” ujarnya.
Menurut Direktur Jenderal Ketahanan Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto, pemerintah telah menyisir dan memetakan setiap kendala. Terkait harga gas, Kementerian Perindustrian mengusulkan tambahan 13 sektor industri untuk mendapat harga gas 6 dollar AS per MMBTU. Usulan ini masih dibahas lintas sektor di pemerintah. ”Targetnya seluruh industri bisa mendapat harga gas yang sama,” ujarnya.
Terkait konektivitas infrastruktur berupa akses jalan tol, kata Eko, harus berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). ”Rencana induk pengembangan kawasan ini harus bisa kami sinkronkan dengan rencana pengembangan wilayah oleh Kementerian PUPR. Kami terus fasilitasi, tetapi persoalan ini tidak bisa selesai secara langsung, harus satu per satu,” ujarnya.
Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian PUPR Rachman Arief Dienaputra meminta Kementerian Perindustrian dan HKI segera memetakan kendala infrastruktur di tiap kawasan, seperti jalan tol dan sumber air baku, serta kawasan mana yang perlu dijadikan prioritas karena memberi dampak pertumbuhan paling signifikan.
Menurut Rachman, ada banyak kawasan industri yang mesti didukung, sementara ketersediaan anggaran terbatas. Oleh karena itu diperlukan prioritas. ”Harapan kami, ada analisis, mana kawasan yang perlu jadi prioritas. Tidak mungkin kita tangani semua di saat bersamaan,” ujarnya.