Penyerapan gas belum optimal karena kondisi industri terdampak pandemi. Perlu ada kebijakan multisektor yang memberi jaminan pasar dan produksi untuk industri sekaligus menjamin penyerapan gas untuk sektor hulu migas.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Insentif harga gas untuk sektor industri tertentu sebesar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) cukup berdampak positif di tengah pandemi sehingga diusulkan agar diperluas ke sektor lain. Namun, di sisi lain, realisasi penyerapan gas tersebut belum optimal sehingga merugikan produsen gas di sektor hulu dan menurunkan potensi penerimaan negara.
Insentif tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri dan berlaku sejak April 2020. Selain menetapkan harga gas 6 dollar AS per MMBTU, pemerintah juga menetapkan bidang industri yang mendapat insentif harga gas, yaitu pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Data Kementerian Perindustrian selama tahun 2020 mengungkapkan, utilisasi beberapa sektor yang menerima insentif itu meningkat. Utilisasi industri pupuk meningkat menjadi 86,65 persen dari tahun sebelumnya 83,64 persen. Industri oleokimia juga mencatat utilisasi 53,63 persen dari sebelumnya 24,17 persen dan utilisasi sektor sarung tangan karet meningkat menjadi 96 persen dari sebelumnya 79 persen.
Juru bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni, Jumat (26/6/2021), mengatakan, per awal tahun ini, utilitas industri kaca sudah meningkat menjadi 100 persen dari sebelumnya 58,03 persen per akhir tahun 2020. Adapun industri keramik mencapai 78 persen dan industri baja 52,5 persen.
Peningkatan utilitas itu mendorong investasi. Dari 176 perusahaan yang mendapat insentif harga gas bumi tertentu, 26 perusahaan berencana menambah investasi sebanyak 53 proyek dengan nilai total investasi sekitar Rp 191 triliun.
”Ini menunjukkan adanya efek multiplier. Industri yang memperoleh penyesuaian harga gas secara agregat juga mampu mempertahankan jumlah karyawannya pada masa pandemi. PHK (pemutusan hubungan kerja) bisa diminimalkan,” kata Febri.
Dari 176 perusahaan yang mendapat insentif harga gas bumi tertentu, 26 perusahaan berencana menambah investasi sebanyak 53 proyek dengan nilai total investasi sekitar Rp 191 triliun.
Adapun industri yang berencana menambah investasi adalah pupuk dan petrokimia (16 proyek senilai Rp 112,86 triliun), baja (17 proyek senilai Rp 70,98 triliun), keramik (9 proyek senilai Rp 1,96 triliun), kaca (1 proyek senilai Rp 174 miliar), oleokimia (5 proyek senilai Rp 4,54 triliun), serta sarung tangan karet (5 proyek senilai Rp 567,07 miliar).
”Industri antusias menyusun rencana ekspansi mereka sampai tahun 2026. Ini menunjukkan adanya kepercayaan diri para pelaku usaha, yang akan berkontribusi pada peningkatan indeks PMI (purchasing managers’ index) kita,” ujar Febri.
Kemenperin pun mengusulkan agar insentif harga gas diperluas. Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono mengatakan, pihaknya telah mengajukan perluasan ke 13 sektor lain di luar tujuh industri yang sudah ada. “Kami sudah mendapat permintaan dari teman-teman lain. Tidak bisa hanya untuk tujuh sektor industri saja, tetapi bagaimana dengan sektor lain?” ucapnya.
Ke-13 sektor itu adalah industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah (crumb rubber), refraktori, elektronika, plastik fleksibel (lembaran), farmasi, semen, serta industri asam amino. Total alokasi volume gas yang dibutuhkan sekitar 129,03 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) sampai 169,64 BBTUD.
Jaminan penyerapan
Kendati demikian, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro meminta agar kebijakan perluasan insentif harga gas tersebut dipertimbangkan ulang karena tidak efektif untuk sektor hulu migas. Pertama, dari sisi penyerapan gas, realisasi pemberian insentif itu belum optimal sehingga menekan keuntungan produsen gas.
Dari total alokasi volume 1.199,81 BBTUD, pada 2020, realisasinya baru mencapai 928,17 BBTUD atau 77,36 persen dari alokasi. Awal April 2021, realisasinya bertambah menjadi 954,76 BBTUD atau 79,63 persen dari alokasi.
”Memang ada beberapa hal yang bisa membuat penyerapan rendah, apakah karena industri sedang terdampak pandemi atau memang kebutuhan industri sebenarnya tidak sebesar itu?” ujar Komaidi.
Selain persoalan realisasi penyerapan yang kurang tinggi, kebijakan itu juga menurunkan penerimaan negara dari sektor hulu migas. Penerimaan pajak dari sektor yang mendapat insentif juga tidak optimal. ”Jadi, ini harus dilihat secara lebih makro. Kalau hanya dilihat dari satu aspek saja, pasti saling bertarung ego,” kata Komaidi.
Dari sisi penyerapan gas, realisasi pemberian insentif itu belum optimal sehingga menekan keuntungan produsen gas.
Terkait hal tersebut, Fridy mengatakan, ada banyak faktor yang membuat realisasi serapan gas tidak tinggi. Misalnya, pada Maret-April 2021, terjadi penurunan pasokan gas bumi di Jawa Timur sehingga pemakaian harian dibatasi menjadi 66 persen pada Maret dan 28 persen pada April.
Ada pula beberapa industri yang tidak lagi menggunakan gas bumi karena sudah beralih pada pemanfaatan energi baru terbarukan. Menurut Fridy, penyerapan gas juga sangat berkaitan dengan kondisi permintaan dan produksi industri yang masih terdampak pandemi.
”Alokasi sebanyak 1.199 BBTUD itu, kan, dalam kondisi normal, sedangkan kita tahu sendiri bahwa kondisi tahun 2020 itu tidak normal karena pandemi. Bisa mencapai 77,36 persen saja menurut kami sudah cukup baik. Tetapi, lepas dari itu, kami akan terus berusaha meningkatkan penyerapannya,” ucapnya.