Tambal Pembengkakan Biaya Proyek Kereta Cepat, PMN Rp 4,1 Triliun Disiapkan
PT KAI tidak akan bisa menanggung sendiri dana tambahan modal awal dan pembengkakan biaya proyek kereta cepat senilai total Rp 8,4 triliun. Saat ini, kondisi keuangan PT KAI turun drastis lantaran terimbas pandemi.
Oleh
Hendriyo Widi
·6 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara tempat pengecoran dan tiang jembatan yang sudah terangkai pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/5/2021). Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer ini adalah salah satu proyek strategis nasional. Pada pekan kedua Agustus 2021, progres pembangunan proyek ini sudah mencapai 77,9 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menambal pembengkakan biaya atau cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung melalui pernyertaan modal negara senilai Rp 4,1 triliun. Dana negara itu akan digulirkan melalui PT Kereta Api Indonesia (Persero) pada 2022.
Namun, penyaluran dana penyertaan modal negara (PMN) itu perlu disertai dengan audit karena sejak awal pemerintah telah menetapkan proyek itu tidak boleh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tidak mendapatkan jaminan dari pemerintah. Hal itu diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
Agar dana itu bisa bergulir, PT KAI tengah membicarakannya dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negera (BUMN). Bahkan, pemerintah saat ini tengah merevisi perpres tersebut.
Hal itu mengemuka dalam rapat kerja Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan PT KAI dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) di Jakarta, Rabu (1/9/2021). Hadir dalam rapat kerja itu antara lain Direktur Utama PT KAI Didiek Hartyanto serta Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI Salusra Wijaya.
Didiek mengatakan, PMN diajukan dalam rangka penugasan khusus pemerintah terkait dengan proyek strategis nasional pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung berdasarkan Perpres No 107/2015. Saat ini, perpres tersebut tengah direvisi.
”Awalnya PMN 2022 yang diusulkan Rp 10 triliun, kemudian jumlahnya direvisi menjadi Rp 4,1 triliun. PMN ini akan digunakan untuk menutup pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,” ujarnya.
Awalnya PMN 2022 yang diusulkan Rp 10 triliun, kemudian jumlahnya direvisi menjadi Rp 4,1 triliun. PMN ini akan digunakan untuk menutup pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Kompas
Salah satu proyek penanaman modal asing adalah kereta cepat Jakarta-Bandung.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang merupakan gabungan konsorsium BUMN Indonesia dan konsorsium China. Proyek senilai 6,07 miliar dollar AS ini dibiayai dengan pinjaman Bank Pembangunan China (CDB) sebesar 4,55 miliar dollar AS (75 persen) dan sisanya berasal dari ekuitas atau pemegang saham sebesar 1,52 miliar dollar AS.
Dari total nilai proyek itu, nilai kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksinya (EPC) 4,7 miliar dollar AS. Kontraktornya adalah PT Wijaya Karya Tbk yang akan berkontribusi sebesar 30 persen dari total nilai kontrak EPC, sedangkan 70 persennya ditanggung konsorsium China.
Menurut Salusra, total biaya pembengkakan proyek sebesar 1,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 27,5 triliun. Biaya pembengkakan ini sudah jauh berkurang dari estimasi sebelumnya, yaitu 2,5 miliar dollar AS-4,9 miliar dollar AS, setelah melalui proses peninjauan ulang dan negoisasi dengan kontraktor.
”Dari total 1,9 miliar dollar AS (Rp 27,5 triliun) itu, Indonesia harus menanggung pembengkakan biaya itu sebesar Rp 4,1 triliun,” katanya.
Tangkapan layar paparan Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Kereta Api Indonesia (Persero) Salusra Wijaya tentang pembengkakan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dalam rapat kerja PT KAI dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Rabu (1/9/2021).
Penyebab pembengkakan
Salusra menjelaskan, pembengkakan biaya ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, kenaikan biaya kontrak EPC yang mencakup pekerjaan tambahan, kenaikan harga bahan baku konstruksi, dan relokasi jalur. Kedua, kenaikan biaya pembebasan lahan karena lahan yang dibebaskan bertambah luas atau naik 31 persen menjadi 7,6 juta hektar.
Ketiga, keterlambatan proyek menyebabkan kenaikan biaya, antara lain biaya konsultan, operasional ofisial, serta jasa operasi dan pemeliharaan. Keempat, ada tambahan biaya jaringan telekomunikasi khusus kereta api (GSM-R) yang sebelumnya belum dianggarkan.
Selain harus menanggung pembengkakan biaya, lanjut Salusra, konsorsium BUMN Indonesia juga belum menyetorkan modal awal lagi senilai Rp 4,3 triliun. Padahal ini merupakan syarat utama bergabung dalam konsorsium Indonesia-China dan untuk memenuhi syarat pinjaman CDB.
”Sebenarnya, per Desember 2020, kami sudah terkena event of default (wanprestasi) karena belum menyetor tambahan modal itu. Kami sudah meminta penundaan ke konsorsium China, tetapi belum ada jawaban. Seharusnya, kami menyerahkan tambahan modal itu dahulu sebelum memenuhi pembayaran pembengkakan biaya,” katanya.
PT KAI, tambah Salusra, tidak akan bisa menanggung sendiri dana tambahan modal awal dan pembengkakan biaya proyek senilai total Rp 8,4 triliun. Saat ini, kondisi keuangan PT KAI turun drastis lantaran terimbas pandemi Covid-19.
Pendapatan bersih berkurang dari sekitar Rp 2 triliun pada 2019 menjadi minus 1,7 triliun pada 2020. Pada tahun ini, pendapatan bersih PT KAI diperkirakan masih minus Rp 0,7 triliun. Sementara itu, rasio utang terhadap ekuitas (DER) meningkat dari 0,8 kali pada 2019 menjadi 1,5 kali pada 2020 dan diperkirakan 1,8 kali pada 2021.
PT KAI tidak akan bisa menanggung sendiri dana tambahan modal awal dan pembengkakan biaya proyek kereta cepat senilai total Rp 8,4 triliun. Saat ini, kondisi keuangan PT KAI turun drastis lantaran terimbas pandemi Covid-19.
KOMPAS/HENDRIYO WIDI
Tangkapan layar paparan Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Kereta Api Indonesia (Persero) Salusra Wijaya tentang penyebab pembengkakan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dalam rapat kerja PT KAI dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Rabu (1/9/2021).
Audit investasi
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR, Andre Rosiade dan Nusron Wahid, meminta agar PT KAI melakukan audit investasi proyek itu terlebih dahulu sebelum menerima dana PMN itu. Hal itu mengingat Perpres No 105/2015 menggariskan bahwa proyek itu tidak boleh menggunakan APBN dan tidak mendapat jaminan dari pemerintah.
Nusron berpendapat kelahiran proyek kereta cepat bukan di tangan PT KAI, tetapi Wijaya Karya. Jangan sampai PT KAI menghadapi masalah di kemudian hari lantaran menjadi penanggung jawab atau penyalur PMN untuk menambal pembengkakan biaya proyek.
Adapun Andre menilai, jika PMN ini diberikan tanpa ada audit, suatu saat pasti akan menjadi persoalan. Melalui Perpres No 105/2015, pemerintah berjanji tidak akan memakai dana APBN, tetapi faktanya justru diusulkan menggunakan APBN 2022.
”Saya meminta agar PT KAI melakukan audit terlebih dahulu, baik ke BPK (Badan Pemeriksa Kuangan) maupun BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Setelah jelas dan tahu benar bisa digunakan, baru diterima dan digunakan dana itu,” kata Andre.
Saya meminta agar PT KAI melakukan audit terlebih dahulu baik ke BPK atau BPKP. Setelah jelas dan tahu benar bisa digunakan, baru diterima dan digunakan dana itu.
Andre juga meminta agar efisiensi proyek dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku dari luar negeri. Misalnya, rel kereta api jangan mengandalkan impor dari China tetapi Indonesia harus bisa membuatnya sendiri.
”Apa kita tidak mampu membuat rel dan memasok rel tersebut untuk proyek kereta cepat. Padahal pemerintah kerap kali bilang bahwa Indonesia bisa mengekspor besi baja dan baja nirkarat ke sejumlah negara. Masak ini rel saja harus mengimpor,” ujarnya.
Sejumlah pengunjung melihat miniatur kereta Cepat Jakarta-Bandung dalam Indo Trans Expo 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Jumat (13/09/2019).
Menanggapi hal itu, Didiek mengemukakan, PT KAI sepakat mengaudit hal itu. Saat ini, persoalan tersebut tengah dibahas PT KAI dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN.
Terkait dengan Perpres No 105/2015, pemerintah saat ini tengah merivisinya. ”Kami akan selesaikan dahulu dengan pemerintah karena ini proyek dua negara yang harus dijaga keberlanjutannya,” ujarnya.
Sebelumnya, pada 23 Agustus 2021, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, Kementerian Keuangan baru menyetujui PMN 2022 untuk lima BUMN dari total 12 BUMN yang diusulkan. Kelima BUMN yang PMN-nya sudah disetujui adalah PT Hutama Karya (Persero) Rp 23 triliun, PT PLN Rp 5 triliun, Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) Rp 1,57 triliun, dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk Rp 2 triliun.
”Kelima BUMN itu oleh Kementerian Keuangan dimasukkan dalam klaster infrastruktur. Untuk BUMN-BUMN lain, masih menunggu konfirmasi dari Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Total PMN 2022 yang diajukan untuk 12 BUMN sebesar 72,449 triliun. Berdasarkan RAPBN 2022, nilai PMN yang disetujui hanya Rp 38,5 triliun.