Penurunan Pendapatan Gerus Ketahanan Pangan Masyarakat
Ketahanan pangan terancam guncangan pendapatan dan penurunan daya beli akibat dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian. Pengeluaran masyarakat, terutama kelas bawah, untuk konsumsi makanan juga telah turun.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan dan potensi kenaikan harga pangan di dalam negeri akan semakin menggerus pendapatan masyarakat. Jika tidak diantisipasi, ketahanan pangan rumah tangga kelas bawah akan terancam.
Demikian salah satu poin menarik dari laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) bertajuk ”How Covid-19 Affects Food Security in Indonesia” yang dirilis pada Kamis (1/7/2021). Laporan tersebut ditulis oleh Mohamad Ikhsan dan I Gede Sthitaprajna Virananda.
Virananda mengatakan, dari sisi permintaan, ketahanan pangan terancam guncangan pendapatan dan penurunan daya beli akibat dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian. Berbagai survei telah menunjukkan bahwa rumah tangga mulai mengurangi porsi makan selama pandemi.
Survei daring Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) pada Oktober 2020 menunjukkan, hanya 24 persen rumah tangga yang mengaku makan sesuai porsi seharusnya dalam seminggu terakhir. Sementara Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) pada tahun ini juga menyebutkan, 12,6 persen dari 12.000 keluarga yang disurvei berjuang untuk memberi makan keluarga mereka.
”Selain itu, pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan juga telah turun. Hal ini seiring dengan penurunan pendapatan masyarakat, baik lantaran pemutusan hubungan kerja, pengurangan jam kerja, maupun sepinya usaha,” ujar Virananda ketika dihubungi di Jakarta.
Ketahanan pangan terancam guncangan pendapatan dan penurunan daya beli akibat dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian. Pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan juga telah turun.
Virananda menjelaskan, dalam survei pada 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pendapatan sebanyak 70,5 persen responden dari kelompok berpenghasilan terendah (kurang dari Rp 1,8 juta) turun. Di sisi lain, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2020 menunjukkan, rata-rata pengeluaran per kapita untuk komoditas makanan kelompok masyarakat 40 persen terbawah turun 8,81 persen dari Rp 344.917 pada Maret 2020 menjadi Rp 314.521 pada September 2020.
Pengetatan kembali mobilitas masyarakat dan kenaikan sejumlah harga pangan tentu saja akan semakin menggerus pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, pemerintah sebaiknya memastikan bantuan sosial, Program Keluarga Harapan, dan bantuan pangan nontunai ditingkatkan dan cakupannya diperluas agar bisa mencakup orang miskin baru.
”Selain itu, untuk menjaga harga pangan dan membantu produsen pangan, pemerintah harus memastikan rantai distribusi pangan dari hulu ke hilir tidak terganggu selama periode restriksi ke depan ini,” katanya.
Deflasi
Pada Juni 2021, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,16 persen. Deflasi ini terutama terjadi lantaran penurunan harga pangan atau makanan dan tiket moda transportasi pascaperiode Ramadhan dan Lebaran. Deflasi tersebut terjadi di 56 dari 90 kota yang menjadi basis penghitungan Indeks Harga Konsumen, sedangkan 34 kota mengalami inflasi.
Kepala BPS Margo Yuwono, Kamis, mengatakan, deflasi tersebut baru pertama kali terjadi di sepanjang paruh tahun ini. Hal ini lebih karena faktor musiman penurunan harga sejumlah kelompok pengeluaran pasca-Ramadhan dan Lebaran pada Mei 2021.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi sebesar 0,71 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi dari kelompok ini adalah cabai merah besar, daging ayam ras, cabai rawit, bawang merah, dan daging sapi. Sementara yang memberikan andil inflasi adalah telur ayam ras, bayam, kacang panjang, rokok kretek filter, dan minyak goreng.
”Sektor transportasi juga mengalami deflasi sebesar 0,35 persen. Hal ini tidak terlepas dari penurunan tarif angkutan udara, antarkota, dan kereta api,” ujar Margo dalam telekonferensi pers di Jakarta.
BPS juga mencatat, tingkat inflasi tahun kalender atau sepanjang Januari-Juni 2021 sebesar 0,74 persen dan secara tahunan sebesar 1,33 persen. Adapun tingkat inflasi komponen inti sepanjang Januari-Juni 2021 sebesar 0,76 persen dan secara tahunan 1,49 persen.
Margo menilai, kondisi tersebut mengindikasikan harga berbagai komoditas masih terjaga dan daya beli masyarakat juga relatif masih terjaga. Dampak pandemi Covid-19 memang memengaruhi daya beli masyarakat.
”Namun, pada Juni 2021 ini, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator daya beli masyarakat masih tumbuh positif meskipun tipis sebesar 0,14 persen dengan andil sebesar 0,09 persen,” katanya.
Dampak pandemi Covid-19 memang memengaruhi daya beli masyarakat. Namun, pada Juni 2021 ini, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator daya beli masyarakat masih tumbuh positif meskipun tipis sebesar 0,14 persen dengan andil sebesar 0,09 persen.
Di sektor pertanian, BPS menunjukkan, nilai tukar petani (NTP) meningkat 0,19 persen secara bulanan menjadi 103,59 pada Juni 2021. Namun, beberapa NTP subsektor masih berada di bawah ambang batas 100, seperti tanaman pangan (97,27) dan hortikultura (98,98).
NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani. NTP ini merupakan salah satu indikator yang menentukan tingkat kesejahteraan petani. Jika NTP berada di bawah 100, berarti petani mengalami defisit karena pendapatan petani turun atau lebih kecil dari pengeluaran.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menuturkan, Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Pertanian dan badan usaha milik negara akan menjaga harga pangan baik di tingkat konsumen maupun produsen pangan. Distribusi pangan di tengah pengetatan mobilitas untuk menekan laju penularan Covid-19 juga akan terus dipantau agar berjalan lancar.
”Stok pangan juga terus dijaga, terutama beras sebagai pangan pokok. Untuk beras, misalnya, per 29 Juni 2021, Perum Bulog masih memiliki stok sebanyak 1,39 juta ton, cukup untuk 18 bulan mendatang,” ujarnya.