Dampak pandemi Covid-19 memang memengaruhi daya beli masyarakat. Namun, pada Juni 2021 ini, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator daya beli masih tumbuh positif meskipun tipis, yaitu sebesar 0,14 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengalami deflasi pada Juni 2021 sebesar 0,16 persen. Deflasi ini terutama terjadi lantaran penurunan harga pangan atau makanan dan tiket moda transportasi pascaperiode Ramadhan dan Lebaran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 90 kota yang menjadi basis penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK), sebanyak 56 kota mengalami deflasi dan 34 kota terjadi inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Kupang (0,89 persen) dan terendah di Palembang (0,01 persen). Sementara inflasi tertinggi berada di Singkawang (1,36 persen) dan terendah di Pekanbaru dan Tanjung Selor (masing-masing 0,1 persen).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, Kamis (1/7/2021), mengatakan, deflasi tersebut baru pertama kali terjadi di sepanjang paruh tahun ini. Hal ini lebih karena faktor musiman penurunan harga sejumlah kelompok pengeluaran pasca-Ramadhan dan Lebaran pada Mei 2021.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi sebesar 0,71 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi dari kelompok ini adalah cabai merah besar, daging ayam ras, cabai rawit, bawang merah, dan daging sapi. Sementara yang memberikan andil inflasi adalah telur ayam ras, bayam, kacang panjang, rokok kretek filter, dan minyak goreng.
”Sektor transportasi juga mengalami deflasi sebesar 0,35 persen. Hal ini tidak terlepas dari penurunan tarif angkutan udara, antarkota, dan kereta api,” ujar Margo dalam telekonferensi pers di Jakarta.
BPS juga mencatat, tingkat inflasi tahun kalender atau sepanjang Januari-Juni 2021 sebesar 0,74 persen dan secara tahunan sebesar 1,33 persen. Adapun tingkat inflasi komponen inti sepanjang Januari-Juni 2021 sebesar 0,76 persen dan secara tahunan 1,49 persen.
Margo menilai, kondisi tersebut mengindikasikan harga-harga masih terjaga, sedangkan daya beli masyarakat relatif masih terjaga. Dampak pandemi Covid-19 memang memengaruhi daya beli masyarakat.
”Namun, pada Juni 2021 ini, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator daya beli masyarakat masih tumbuh positif meskipun tipis, yaitu sebesar 0,14 persen secara bulanan, dengan andil sebesar 0,09 persen,” katanya.
Dampak pandemi Covid-19 memang memengaruhi daya beli masyarakat. Namun, pada Juni 2021 ini, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator daya beli masyarakat masih tumbuh positif meskipun tipis, yaitu sebesar 0,14 persen secara bulanan, dengan andil sebesar 0,09 persen.
Di sektor pertanian, BPS menunjukkan, nilai tukar petani (NTP) meningkat 0,19 persen secara bulanan menjadi 103,59 pada Juni 2021. Namun, beberapa NTP subsektor masih berada di bawah ambang batas 100, seperti tanaman pangan (97,27) dan hortikultura (98,98).
NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani. NTP ini merupakan salah satu indikator menentukan tingkat kesejahteraan petani. Jika NTP berada di bawah 100, berarti petani mengalami defisit karena pendapatan petani turun atau lebih kecil dari pengeluaran.
Sebelumnya, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan ada kenaikan harga pangan global, terutama minyak nabati, daging, gula, dan serealia. Hal itu tidak lepas dari imbas pandemi Covid-19, La Nina, biaya pengapalan, dan lonjakan permintaan bahan pangan dari negara-negara importir pangan sepanjang 2020-2021.
Pada 3 Juni 2021, FAO menunjukkan Indeks Harga Pangan pada Mei 2021 sebesar 127,1 atau tumbuh 4,8 persen dari April 2021 dan 39,7 persen dibandingkan dengan Mei 2020. Kenaikan tersebut menempatkan indeks harga pangan dunia pada posisi tertingginya sejak September 2011. FAO juga menyebutkan, nilai impor pangan dunia, termasuk biaya pengiriman, diproyeksikan mencapai 1,715 triliun dollar AS pada 2021, naik 12 persen dari 1,53 triliun dollar AS pada 2020.
Adapun IMF, pada 24 Juni 2021, melaporkan, rata-rata harga pangan global telah meningkat sebesar 47,2 persen pada Mei 2021 atau telah mencapai level tertingginya sejak 2014. Khusus untuk kedelai dan jagung antara Mei 2020 dan Mei 2021, harganya masing-masing naik sekitar 86 persen dan 111 persen. IMF memperkirakan rata-rata harga pangan global akan meningkat 25 persen sepanjang tahun ini.
Wakil Direktur Divisi Perdagangan dan Pasar FAO Josef Schmidhuber mengatakan, pertumbuhan positif perdagangan sektor pertanian selama pandemi Covid-19 di satu sisi menunjukkan ketahanan pasar internasional. Namun, di sisi lain, kenaikan harga sejumlah komoditas pertanian sejak akhir 2020 meningkatkan risiko bagi beberapa negara yang bergantung pada impor.
Dalam laporan bertajuk ”Prospek Ekonomi Global” periode Juni 2021, Bank Dunia juga menyebutkan, gelontoran stimulus di sejumlah negara serta kenaikan harga pangan dan komoditas global akan mengerek inflasi global. Pada 2021, inflasi global diperkirakan 3,9 persen atau jauh lebih tinggi ketimbang inflasi global pada 2020 yang sebesar 2,5 persen.
Inflasi ini akan berpengaruh pada tingkat daya beli masyarakat global yang saat ini pendapatannya masih belum pulih. ”Kasus Covid-19 di banyak negara berkembang masih belum mereda, bahkan meningkat dengan semakin merebaknya varian-varian virus baru. Peningkatan kasus ini bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan,” sebut Bank Dunia dalam laporannya. (REUTERS)