Kendati masih tinggi, harga CPO terus turun sejak pekan lalu. Di sisi lain, India mulai mengimpor CPO dari Thailand selain dari Indonesia dan Malaysia.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya kembali menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan-tantangan itu antara lain penurunan harga, lonjakan kasus Covid-19 dan diversifikasi negara penyuplai CPO di India, serta hambatan logistik ke Afrika.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, kendati masih terbilang tinggi, harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global masih terus bergejolak. Sepanjang pekan lalu hingga perdagangan awal pekan ini, harga CPO terus turun.
”Penurunan harga CPO tersebut mengikuti penurunan harga minyak nabati lain. Penurunan harga itu juga seiring dengan kenaikan produksi CPO di Malaysia kendati masih belum signifikan,” kata Joko saat dihubungi di Jakarta, Senin (14/6/2021).
Penurunan harga CPO tersebut mengikuti penurunan harga minyak nabati lain. Penurunan harga itu juga seiring dengan kenaikan produksi CPO di Malaysia kendati masih belum signifikan.
Adapun dalam perdagangan komoditas berjangka di Chicago Board of Trade (CBOT) pada Senin, harga minyak kedelai mencapai 61,19 dollar AS per ton. Harga tersebut turun 3,99 persen dari harga penutupan perdagangan pekan lalu.
Berdasarkan data Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB), persediaan minyak sawit di Malaysia pada akhir Mei 2021 naik 1,5 persen menjadi 1,57 juta ton dari April 2021. Menurut Joko, pulihnya produksi minyak sawit Malaysia tidak terlepas dari kembalinya para pekerja migran di perkebunan dan pabrik pengolahan CPO setelah Pemerintah Malaysia melonggarkan karantina.
Produksi CPO dan minyak inti sawit (PKO) di Indonesia juga juga relatif belum bertambah. Pada April 2021, produksi CPO dan PKO Indonesia sebanyak 4,097 juta ton, naik tipis dari produksi Maret yang sebanyak 4,02 juta ton.
Selain penurunan harga CPO, imbuh Joko, tantangan lainnya adalah penurunan ekspor CPO dari sejumlah negara, terutama India dan sejumlah negara di Benua Afrika. Permintaan CPO dari India berkurang lantaran lonjakan kasus Covid-19. Sementara penurunan permintaan dari sejumlah negara di Afrika terjadi juga lantaran pandemi ditambah dengan terhambatnya logistik.
Pengiriman CPO dan produk turunan ke Afrika berbeda dengan negara-negara lain. Negara-negara lain kebanyakan menggunakan kapal-kapal tangker minyak, sedangkan Afrika menggunakan kapal peti kemas.
”Hal ini mengingat CPO dan produk turunannya yang dikirim ke Afrika berupa kemasan-kemasan kecil literan. Banyak pelabuhan di Afrika juga belum dilengkapi dengan fasilitas pendukung minyak curah nabati maupun hewani,” katanya.
Permintaan CPO dari India berkurang lantaran lonjakan kasus Covid-19. Sementara penurunan permintaan dari sejumlah negara di Afrika terjadi juga lantaran pandemi ditambah dengan terhambatnya logistik.
Tren peningkatan ekspor di tengah pandemi Covid-19 tengah dibayangi lonjakan tarif kargo peti kemas dan belum normalnya angkutan peti kemas. Merujuk pada Shanghai Containerized Freight Index (SCFI) periode 18 Desember 2009-9 April 2021, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menunjukkan, tarif ke Amerika Selatan dan Afrika Barat lebih tinggi daripada wilayah perdagangan utama lainnya.
Pada awal 2021, misalnya, tarif angkutan dari China ke Amerika Selatan melonjak 443 persen dibandingkan dengan 63 persen pada rute antara Asia dan pantai timur Amerika Utara.
Lonjakan tarif kargo peti kemas ini tidak hanya disebabkan panjangnya rute. Banyak kapal yang ”terjebak” di pelabuhan-pelabuhan sepanjang rute itu karena tidak ada barang yang diangkut balik atau kelangkaan kargo kembali. Selain itu, jasa pengangkutan logistik juga harus menanggung biaya penyimpanan peti kemas kosong dan sandar kapal (Kompas, 4 Mei 2021).
Sementara itu, Atase Perdagangan Indonesia untuk New Delhi, India, Bona Kusuma, mengatakan, CPO dan produk turunan Indonesia di India banyak digunakan untuk kebutuhan hotel, restoran, dan kafe (horeka). Selama terjadi gelombang kedua Covid-19, kebutuhan CPO untuk horeka di India ini turun sekitar 15-20 persen.
”Masyarakat India gemar mengonsumsi kari yang sarat kalori dan makanan yang digoreng. Per bulan mereka membutuhkan sekitar 1,9 juta ton minyak nabati. Dua pertiga dari minyak nabati tersebut berbahan baku CPO,” katanya.
Menurut Bona, Pemerintah India mulai mengendurkan karantina di sejumlah wilayahnya. Seiring dengan memulihnya geliat ekonomi di India, sektor horeka ini bisa kembali pulih sehingga meningkatkan kembali permintaan CPO dan produk turunannya dari Indonesia.
Kendati begitu, Indonesia juga perlu mencermati diversifikasi negara penyuplai CPO dan produk turunnya di India. Selain Indonesia dan Malaysia, India juga mulai mengimpor CPO dari Thailand.
Harga CPO dari Thailand ini lebih murah sekitar 10 dollar AS per ton dari harga CPO dari Indonesia dan Malaysia.
Berdasarkan data Badan Industri Minyak Nabati India, Solvent Extractor’s Association of India (SEAI), impor CPO India dari Thailand pada April dan Mei 2021 masing-masing sebanyak 8.206 ton dan 75.000 ton. Harga CPO dari Thailand ini lebih murah sekitar 10 dollar AS per ton dari harga CPO dari Indonesia dan Malaysia.
”Selisih harga ini diperkirakan sementara saja. Jika produksi CPO di Indonesia mulai bertambah, harga CPO dari Indonesia diperkirakan akan kembali bersaing dengan harga CPO Thailand,” ujarnya.