Kasus Covid-19 Bertambah, Waspadai Dampaknya terhadap Pekerja Ekonomi
Jika kasus Covid-19 terus berlanjut, India bisa kehilangan momentum pemulihan ekonomi global pasca-meredanya pandemi di sejumlah negara. RI juga bisa mengalami hal serupa India jika kasus Covid-19 meledak seusai Lebaran.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bertambahnya kasus Covid-19 dapat berimbas pada sektor perdagangan dan industri sejumlah negara, termasuk Indonesia. Jika hal ini terjadi, laju pertumbuhan positif di kedua sektor tersebut dapat sedikit tertahan lantaran pembatasan sosial dan pekerja di sektor tersebut terjangkit Covid-19.
Ekonom Fakultas Bisnis dan Ekonomi, Fithra Faisal Hastiadi, Minggu (2/4/2021), mengatakan, krisis kesehatan di sejumlah negara akibat ledakan kasus Covid-19 tidak hanya berpotensi melumpuhkan tenaga-tenaga kesehatan. Hal itu juga dapat berimbas pada krisis kesehatan para pekerja di sektor ekonomi, termasuk perdagangan dan industri.
Di India, misalnya, ledakan kasus positif Covid-19 membuat para tenaga kesehatan kewalahan. Di sisi lain, kasus tersebut juga membuat aktivitas ekonomi terhambat lantaran ada karantina wilayah di sejumlah wilayah dan para pekerja penggerak ekonomi semakin luas terjangkit virus korona baru.
”Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur India diperkirakan akan kembali turun setelah trennya membaik pada awal tahun ini,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
IHS Market mencatat, PMI manufaktur India pada Maret 2021 turun menjadi 55,4. Meski masih di ambang batas ekspansi, angka tersebut lebih rendah dari PMI manufaktur pada Januari dan Februari 2021 yang masing-masing sebesar 57,7 dan 57,5.
Kasus tersebut juga membuat aktivitas ekonomi terhambat lantaran ada karantina wilayah di sejumlah wilayah dan para pekerja penggerak ekonomi terjangkit virus korona baru.
Fithra memperkirakan, lonjakan kasus Covid-19 akan membuat PMI manufaktur India turun sekitar 4 poin pada April 2021. Pada Mei 2021, indeks tersebut bisa lebih turun lagi di ambang batas ekspansi, yaitu menjadi sekitar 50.
Lonjakan kasus Covid-19 di India ini terjadi saat permintaan domestik dan ekspor meningkat serta membaiknya harga-harga sejumlah komoditas ekspor. Jika hal ini terus berkepanjangan, India bisa kehilangan momentum pemulihan ekonomi global pasca-meredanya kasus Covid-19 di sejumlah negara, terutama Amerika Serikat dan China.
”Jika tidak berhati-hati mengendalikan kasus, terutama di periode Ramadhan dan Lebaran tahun ini, Indonesia bisa mengalami hal serupa India,” katanya.
Menurut Fithra, jika Indonesia membuka aktivitas ekonomi secara berlebihan dan membiarkan mobilitas masyarakat selama periode Lebaran tahun ini, akan ada guliran ekonomi dari aktivitas tersebut sekitar Rp 50 triliun-Rp 80 triliun. Simulasi tersebut sudah memperhitungkan masih lemahnya daya beli masyarakat dan masih sedikit terbatasnya pergerakan masyarakat.
Namun, ongkos penanganan kesehatan akibat pelonggaran mobilitas tersebut diperkirakan bisa jauh lebih besar, yaitu sekitar Rp 100 triliun-Rp 150 triliun. Sebaliknya, jika pembatasan aktivitas dilakukan, Indonesia bisa kehilangan Rp 50 triliun-Rp 80 triliun, tetapi bisa menghemat Rp 100 triliun-Rp 150 triliun.
Krisis kesehatan di India, menurut Fithra, tidak akan berpengaruh signifikan atau hanya akan sedikit mereduksi ekspor Indonesia, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara, ke negara tersebut. Pasalnya, Indonesia dapat memanfaatkan pasar-pasar lain, terutama AS, China, dan sejumlah negara di Eropa yang mampu mengendalikan Covid-19 dan ekonominya mulai pulih.
”Namun, yang perlu diwaspadai adalah pasokan vaksin Indonesia yang diproduksi di India diperkirakan bakal terhambat,” kata Fithra.
Krisis kesehatan di India tidak akan berpengaruh signifikan atau sedikit mereduksi ekspor Indonesia. Namun, yang perlu diwaspadai adalah pasokan vaksin Indonesia yang diproduksi di India diperkirakan bakal terhambat.
Kementerian Perdagangan mencatat, total perdagangan Indonesia-India pada 2020 senilai 14,18 miliar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia masih surplus 6,65 miliar dollar AS dari India. Produk ekspor utama Indonesia ke India adalah batubara, CPO, tembaga, karet, dan pupuk kimia. Sementara impor utama Indonesia dari India adalah daging kerbau beku, kacang, hidrokarbon siklik, produk baja, dan gula.
Pada 2020-2021, kapal yang membawa barang ekspor Indonesia ke India didominasi kapal tanker untuk barang curah cair, seperti CPO dan tongkang untuk barang curah padat, seperti batubara. Untuk produk jenis itu, pada umumnya bongkar muat tidak memerlukan banyak kontak fisik dengan awak kapal.
Atase Perdagangan Indonesia untuk New Delhi, India, Bona Kusuma menuturkan, Pemerintah India tetap mempertahankan pelayanan publik, salah satunya pelayanan kegiatan ekspor dan impor, meskipun pelayanan tersebut tidak berjalan secara penuh.
”Selain itu, India juga menerapkan jam malam sehingga kapasitas bongkar muat kapal mengalami penyesuaian,” ujarnya dalam siaran pers.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga sudah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan untuk memastikan proses karantina di semua pelabuhan muat, terutama di Pelabuhan Dumai, Riau. Proses tersebut hanya dilakukan terhadap awak kapal dan bukan terhadap kapal dan muatan.
Pelabuhan Dumai merupakan salah satu pelabuhan dengan terminal curah cair terbesar di Indonesia. Di tengah pandemi Covid-19, Dumai tetap menjadi pelabuhan umum yang tertinggi dalam pengapalan CPO dan produk turunannya di Indonesia.
”Saat ini, kebanyakan ekspor Indonesia ke India didominasi produk likuid/cair yang perpindahannya dari kapal tanker lebih banyak melalui saluran pipa, jadi sangat minimal keterlibatan orang,” katanya.