RI Berupaya Selesaikan Hambatan Ekspor CPO dengan Rusia-Eurasia
Ekspor CPO dan produk turunannya ke EAEU bisa terhambat. Di sisi lain, Komisi Ekonomi Eurasia (EEC) mengeluarkan RI dari daftar negara berkembang penerima keistimewaan tarif preferensial, CSTP EAEU, per 12 Oktober 2021.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia berkomitmen merampungkan hambatan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunan dengan Rusia dan Uni Ekonomi Eurasia atau EAEU. Jika negosiasi tidak berhasil, Indonesia bisa membuat perjanjian perdagangan bebas dengan Rusia dan EAEU.
Sama halnya dengan negara-negara di kawasan Eropa Barat, EAEU yang beranggotakan Rusia, Armenia, Belarus, Kirgistan, dan Kazakhstan juga tengah membangun perekonomiannya menuju ekonomi hijau dan berkelanjutan. Rusia mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (value added taxes/VAT) untuk minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunanannya sebesar 20 persen, tetapi meringankan VAT bagi minyak nabati lainnya.
EAEU juga memiliki regulasi baru Unified EAEU Veterinary and Sanitary Requirements. Salah satunya mengatur pembatasan kandungan kontaminan (substansi yang menjadi sesuatu tidak murni atau bersih) minimal minyak nabati, yaitu 3-monochlorpro-pandiol (3-MCPD) esters dan glycidol esters (GE) sebesar 1 ppm.
Selain itu, Komisi Ekonomi Eurasia (EEC) telah menghapus Indonesia dari daftar negara berkembang penerima Common System of Tariff Preferences (CSTP) melalui Keputusan Dewan EEC Nomor 17 Tahun 2021. Dengan begitu, per 12 Oktober 2021, Indonesia tidak lagi bisa menikmati keistimewaan CSTP.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, Senin (7/6/2021), mengatakan, Indonesia telah membicarakan persoalan itu dengan Rusia dan perwakilan EEC saat berkunjung ke Rusia pada 2-5 Juni 2021. Dalam kesempatan itu, delegasi Indonesia bertemu dengan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Rusia Denis Manturov dan Menteri yang Bertanggung Jawab atas Integrasi dan Makroekonomi EEC Sergei Glazyev.
Kendati belum dibahas lebih mendalam, Indonesia telah menyampaikan kepada Rusia untuk mempertimbangkan kembali mengenai pengenaan VAT sebesar 20 persen terhadap CPO dan produk turunannya. “Kami sepakat membahasnya lebih lanjut dalam pertemuan di tingkat lebih teknis agar dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak,” ujarnya kepada Kompas.
Sementara kepada EEC, lanjut Djatmiko, Indonesia telah menyampaikan pendapat bahwa pembatasan kandungan kontaminan untuk minyak nabati EAEU cenderung lebih ketat ketimbang negara tujuan ekspor lainnya seperti Uni Eropa. Hal ini juga akan dibahas dalam pertemuan berikutnya.
Selain itu, Indonesia dan EEC sepakat untuk segera menyelesaikan rencana studi kelayakan pembuatan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) pada September 2021. Hal ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan kedua kepala negara di sela-sela ASEAN-Russia Summit di Sochi pada Mei 2016. Indonesia berharap agar peluncuran pembentukan FTA ini digelar di Indonesia.
Indonesia dan EEC sepakat untuk segera menyelesaikan rencana studi kelayakan pembuatan perjanjian perdagangan bebas (JFS FTA) pada September 2021.
Kementerian Perdagangan mencatat, pada 2020, total nilai perdagangan Indonesia-Rusia sebesar 1,93 miliar AS. Neraca perdagangan Indonesia masih surplus dari Rusia sebesar 10 juta dollar AS. Tahun lalu, Indonesia mengekspor CPO dan produk turunannya senilai 499,9 juta dollar AS.
Adapun nilai total perdagangan Indonesia-EAEU sebesar 2,25 miliar dollar AS. Dengan EAEU, neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar 350 juta dollar AS. Komoditas ekspor Indonesia ke EAEU antara lain CPO dan produk turunannya, kopra, kopi, karet alam, dan mentega kakao.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, Kadin belum mempelajari dampak terkait pengenaan VAT CPO dan produk turunannya sebesar 20 persen di Rusia terhadap potensi ekspor produk unggulan Indonesia tersebut. Namun pada umumnya, VAT tidak menjadi bagian dari perundingan perdagangan.
“VAT merupakan pajak yang dikenakan atas produk yang diperjualbelikan di suatu negara tanpa memedulikan dari mana asal barang, baik itu impor maupun lokal. Pajak ini pun dikenakan kepada pembeli atau konsumen akhir, bukan kepada produsen,” kata dia.
Terkait dengan Common System of Tariff Preferences, Shinta berpendapat, pada prinsipnya Indonesia bisa merundingkannya dengan ECC. Namun untuk keberlanjutan perdagangan ke depan, Pemerintah Indonesia diharapkan bisa merealisasikan perjanjian perdagangan bebas dengan EAEU.
Sementara Ekonom Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, peluang peningkatan kerja sama Indonesia dengan Rusia sangat besar, karena memiliki kedekatan historis dengan Rusia. Rusia merupakan mitra potensial yang pasar dan investasinya belum digarap optimal.
Dengan modal kedekatan dengan Rusia ini, Indonesia akan lebih mudah masuk ke negara-negara lain di kawasan Eurasia. Dengan modal itu pula, negosiasi terkait hambatan-hambatan perdagangan, termasuk untuk CPO dan produk turunannya bisa dilakukan dengan lebih mudah.
“Isu lingkungan di kawasan Eropa memang sangat kuat. Namun dari ideologi lingkungan, Eropa Timur tidak seketat Eropa Barat, sehingga juga akan mempermudah negosiasi. Perjanjian perdagangan bebas juga bisa menjadi solusi atas hambatan perdagangan tersebut, bahkan bisa menjadi peluang bagi produk-produk Indonesia lainnya,” kata dia.
FTA juga bisa menjadi solusi atas hambatan perdagangan tersebut, bahkan bisa menjadi peluang bagi produk-produk Indonesia lainnya.
Selain itu, Fithra mengemukakan, kerja sama Indonesia-Rusia di bidang alat utama sistem senjata (alutsista) jangan hanya sebatas ditempuh dengan mekanisme imbal beli atau dagang. Sektor ini bisa menjadi pintu masuk produk baja nirkarat Indonesia.
Artinya, Indonesia bisa menjadi bagian dari rantai pasok nilai alutsista Rusia, apalagi saat ini Indonesia tengah mengembangkan hilirisasi nikel yang merupakan salah satu bahan baku dari baja nirkarat.
“Selama ini, baja nirkarat Rusia banyak disuplai oleh negara-negara di Eropa Barat. Sumber daya nikel di negara-negara tersebut terbatas, sehingga produksinya mulai menurun. Oleh karena itu, Indonesia bisa menjadi negara alternatif penyuplai baja nirkarat ke Rusia atau bahkan negara-negara lain di kawasan Eurasia,” kata dia.