Pemerintah membentuk satuan tugas yang ditargetkan bisa mengejar Rp 110,45 triliun aset negara terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga tahun 2023. Komitmen pemerintah diuji untuk mewujudkan target itu.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah resmi melantik Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk mengejar pengembalian aset negara senilai Rp 110,45 triliun. Keseriusan dan kemauan politik pemerintah untuk mengembalikan kerugian negara dari kasus yang sudah bergulir selama 20 tahun terakhir itu dinanti publik.
Pelantikan satuan tugas (satgas) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 itu digelar di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (4/6/2021). Satgas diketuai Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Feri Wibisono selaku wakil ketua, serta Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo selaku sekretaris.
Dalam konferensi pers seusai pelantikan Satgas BLBI, Jumat, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, Satgas BLBI akan menagih semua obligor dan debitor untuk mengembalikan aset negara dengan total nilai Rp 110,45 triliun dalam waktu tiga tahun sampai 2023.
Pengejaran utang BLBI akan dilakukan lewat mekanisme piutang negara secara perdata, setelah Mahkamah Agung sebelumnya menyatakan kasus dugaan korupsi BLBI dengan terdakwa Syafruddin Temenggung bukan tindak pidana dan penyidikan kasus dugaan korupsi dengan tersangka Sjamsul Nursalim dihentikan.
Pemerintah sejauh ini tidak bersedia membuka identitas para obligor yang sudah dikantongi. Mahfud berharap kali ini para obligor dan debitor bisa lebih kooperatif melunasi kewajibannya.
”Lebih bagus kalau mereka proaktif datang sendiri. Selesaikan, ini barangnya, ini uangnya. Tidak usah bersembunyi karena daftarnya sudah ada. Kami tahu, Anda tahu, sehingga tidak usah saling buka. Mari kooperatif saja,” kata Mahfud dalam konferensi pers.
Secara rinci, Rp 110,45 triliun itu terdiri dari piutang obligor Rp 40 triliun yang terdiri dari kewajiban obligor yang dulu ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 30 triliun serta piutang obligor Bank Dalam Likuidasi (BDL) senilai Rp 10 triliun.
Sisanya, Rp 70,45 triliun, adalah piutang debitor. Jumlah obligor diestimasi 22 obligor, sedangkan debitor sebanyak 12.000 berkas debitor. Obligor adalah para pemilik bank yang dibantu negara melalui BLBI, sementara debitor adalah pihak yang meminjam dari bank-bank tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, selain mengharapkan kesadaran para obligor dan debitor, pemerintah juga akan tetap proaktif melakukan pelacakan. Khususnya, mereka yang teridentifikasi masih ada di Indonesia dan jumlahnya cukup banyak.
”Tetap ada asas proporsionalitas. Kalau, misalnya, utangnya besar sekali, tapi bayarnya hanya Rp 1 miliar, mungkin kami akan melihat juga. Tetapi, kami tetap menghargai mereka yang reach out duluan,” katanya.
Lebih lanjut, jika ada kendala, Kementerian Keuangan akan bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk memblokir akses para obligor ke lembaga keuangan. ”Ini bisa kami lakukan karena nama-nama mereka sudah jelas. Oleh karena itu, asset tracing (pelacakan aset) menjadi penting di sini agar kewajiban mereka bisa diidentifikasi,” kata Sri.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan, di tengah kondisi fiskal yang tertekan akibat pandemi, perlu ada langkah luar biasa untuk menambah likuiditas. Pengembalian aset negara senilai Rp 110,45 triliun dinilai bisa membantu kondisi keuangan negara.
Akan tetapi, keseriusan dan kemauan politik pemerintah dibutuhkan untuk mengambil langkah tegas yang berbeda dari apa yang sudah dilakukan selama dua dekade terakhir. ”Kalau memang berani dan serius, harus ada cara-cara extraordinary,” katanya.
Ia mencontohkan, pemerintah sebenarnya punya kewenangan membekukan aset para obligor yang ada dalam daftar satgas dan sudah berketetapan hukum. Rencana pemerintah memblokir akses obligor ke lembaga keuangan dinilai sia-sia, mengingat para obligor umumnya tidak membutuhkan akses pinjaman ke lembaga keuangan.
”Mereka sudah kaya, tidak akan berdampak kalau akses mereka ke bank diblokir. Sedangkan kalau asetnya yang dibekukan, pasti obligor akan buru-buru muncul mengaku atau mengklarifikasi, di situ pintu masuk pemerintah untuk menindak,” ujar Enny.
Diragukan
Enny meragukan target kerja satgas bisa tercapai, mengingat kasus ini sudah bergulir lama dan sejumlah aktor penting diduga dekat atau berada di lingkaran kekuasaan. Selain itu, kasus terkait BLBI kini sudah tidak berstatus pidana dan penyidikannya sudah dihentikan. ”Apalagi, kalau pemerintah hanya menunggu para obligor untuk proaktif mengaku sendiri. Itu mustahil,” ujarnya.
Senada, Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan meragukan sepak terjang Satgas BLBI akan optimal, apalagi hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun. Ia menilai, seharusnya kasus pidana BLBI sejak awal tidak dihentikan agar ada kekuatan hukum pidana yang bisa mendukung upaya pengembalian aset.
Ia menilai Satgas BLBI hanya sebagai pencitraan atau formalitas belaka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyidikan kasus korupsi BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim. ”Dasar hukumnya kuat atau tidak? Dengan adanya kasus pidana saja mereka tidak takut dan tidak melunasi utang, apalagi kalau tidak ada pidana?” katanya.
Sementara Mahfud MD mengatakan, jika ada obligor dan debitor yang mangkir dari kewajiban membayar atau memberikan bukti palsu, tidak menutup kemungkinan kasus yang saat ini bersifat perdata bisa dijadikan kasus pidana.
”Itu bisa dinyatakan merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri dan orang lain, serta melanggar hukum karena tidak mengakui apa yang secara hukum sudah sah. Jadi, bisa saja kita belok lagi ke pidana korupsi,” katanya.