Pengurangan Pasokan Premium Harus Disertai Kompensasi
Apabila menjaga lingkungan hidup menjadi tujuan pengurangan penggunaan premium, pemerintah sebaiknya langsung mengarahkannya ke BBM dengan angka oktan di atas 91, disertai skema kompensasi harga se-Indonesia.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah dalam mengurangi penggunaan premium di wilayah Jawa dan Bali karena faktor lingkungan hidup membutuhkan totalitas. Totalitas itu mencakup penyederhanaan jenis bahan bakar minyak atau BBM beserta skema kompensasi harga agar tetap terjangkau konsumen.
Rencana pengurangan pasokan BBM jenis premium di Jawa dan Bali disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (2/6/2021), di Jakarta. Rencana tersebut diusulkan untuk diterapkan mulai 2022. Sebagai pengganti, pemerintah mengandalkan BBM jenis pertalite yang dinilai lebih ramah lingkungan.
Menanggapi rencana itu, anggota Komisi VII DPR, Kardaya Warnika, menyebutkan, angka oktan premium yang sebesar 88 (RON 88) lebih rendah dibandingkan dengan pertalite (RON 90) dan pertamax (RON 92). ”Kalau orientasinya pada lingkungan, pemerintah sebaiknya langsung mengarahkannya ke BBM jenis pertamax disertai dengan skema kompensasi harga se-Indonesia. Apabila premium hanya ada di kawasan tertentu, terjadi ketimpangan dari aspek ketersediaan BBM,” ujarnya, saat dihubungi, Kamis (3/6/2021).
Pemerintah perlu mengompensasi harga pertamax sehingga lebih murah dan dapat dijangkau masyarakat.
Kardaya menilai, kompensasi biaya tersebut penting untuk menjaga aspek keterjangkauan harga. Pasalnya, harga menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat dalam memilih jenis BBM. Sementara kualitas BBM kurang dipertimbangkan. Oleh sebab itu, dia berpendapat, pemerintah perlu mengompensasi harga pertamax sehingga lebih murah dan dapat dijangkau masyarakat.
Agar tidak setengah-setengah, Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin menilai, pemerintah sebaiknya juga menghapus BBM dengan angka oktan rendah, seperti pertalite dan solar. Dengan demikian, hanya terdapat empat jenis BBM yang ditawarkan kepada masyarakat di Indonesia, yakni pertamax, pertamax turbo, dexlite, dan pertadex.
”Semakin rendah angka oktan BBM, semakin signifikan memengaruhi pencemaran udara. Penyaringan jenis BBM yang lebih bersih dari segi emisi juga berdampak pada terjaganya kinerja mesin kendaraan yang sudah memanfaatkan teknologi terkini,” ucap Ahmad.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR, Dyah Roro Esti, menilai, Indonesia berpeluang mengalihkan seluruh penggunaan premium ke BBM yang lebih ramah lingkungan. Dampaknya, harga pertalite mesti berada di posisi terendah dan tidak bisa 100 persen mengikuti mekanisme pasar.
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah perlu meninjau perkembangan harga pertalite setiap tiga bulan sekali dan menjamin ketersediaan stoknya. Mekanisme kompensasi harga pada BBM untuk kendaraan juga patut dirumuskan kembali, misalnya dialihkan ke subsidi langsung ke kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Mekanisme kompensasi harga pada BBM untuk kendaraan juga patut dirumuskan kembali, misalnya dialihkan ke subsidi langsung ke kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, upaya pengurangan penggunaan premium sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris. Selain itu, pasokan premium di Indonesia juga bergantung pada impor. Mengingat rata-rata penggunaan premium di Jawa, Madura, dan Bali mencapai sekitar 60 persen dari total konsumsi di Indonesia, pengurangan pasokan premium berdampak signifikan terhadap penurunan impor.
Berdasarkan data yang ada di laman PT Pertamina (Persero), kuota premium sepanjang 2020 mencapai 11 juta kiloliter. Total kuota untuk Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali mencapai 4,45 juta kiloliter.