Harga Minyak Jatuh, Pertamina Mengaku Tak Dapat Untung
Harga minyak mentah turun, tetapi penjualan BBM Pertamina merosot tajam. Selain itu, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah. Pertamina mengaku tak mendapat untung dalam situasi ini.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) mengaku tidak mendapat manfaat dari kejatuhan harga minyak mentah dunia. Selain kegiatan hulu minyak dan gas bumi lesu, penjualan bahan bakar minyak Pertamina juga merosot tajam selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Tak ada tanda-tanda harga BBM nonsubsidi bakal diturunkan.
Dalam konferensi pers secara daring pada Jumat (30/4/2020) sore, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan, perusahaan terpukul tiga kali selama pandemi Covid-19. Pukulan itu adalah harga minyak mentah dunia yang merosot, penjualan BBM di dalam negeri yang merosot tajam, dan pelemahan rupiah terhadap dollar AS.
Ia menyebut bahwa penurunan tajam penjualan BBM kali ini adalah yang pertama kali dalam sejarah Pertamina. ”Ada yang bilang bahwa Pertamina mendapat windfall profit (keuntungan mendadak) dari kejatuhan harga minyak ini. Saya bilang, tidak. Akibat pandemi Covid-19 yang menurunkan harga minyak mentah dunia, penjualan BBM kami menurun dan kurs rupiah terhadap dollar AS melemah,” kata Nicke.
Harga minyak mentah turun, harga pokok produksi BBM turun, tetapi penjualan merosot. Jadi, tidak seimbang.
Nicke menyebut bahwa 93 persen transaksi yang dilakukan Pertamina menggunakan dollar AS. Padahal, produk yang dijual Pertamina dalam bentuk rupiah. Selain itu, penjualan BBM nasional merosot sampai 25 persen. Di kota besar, seperti DKI Jakarta dan Bandung, penjualan BBM bahkan merosot hampir 60 persen.
”Profit kami di sektor hilir (penjualan BBM) hanya 20 persen saja, sisanya dari hulu sebesar 80 persen. Padahal, harga minyak sedang jatuh. Jadi, kalau dibilang kami mendapat windfall profit, tidak juga. Harga minyak mentah turun, harga pokok produksi BBM turun, tetapi penjualan merosot. Jadi, tidak seimbang,” tuturnya.
Satu hal yang menguntungkan dalam situasi seperti ini, lanjut Nicke, adalah impor minyak mentah dan produk BBM menjadi lebih murah. Pertamina telah membeli 10 juta barel minyak mentah, 9,3 juta pertamax, dan 2,2 juta ton elpiji. Kapasitas tangki simpan Pertamina sekitar 10 juta barel sudah penuh. Kegiatan operasi beberapa kilang direncanakan dihentikan.
”Saat ini, mengimpor BBM jauh lebih murah ketimbang memproduksi dari dalam negeri,” ujarnya.
Sebelumnya, pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, variabel yang paling berpengaruh terhadap penghitungan harga BBM adalah harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Di tengah kemerosotan harga minyak saat ini dan pelemahan rupiah terhadap dollar AS, terjadi dampak yang saling berlawanan. Harga minyak mentah yang turun dapat menurunkan harga BBM, sebaliknya pelemahan nilai rupiah bisa menaikkan harga BBM.
”Hanya saja, secara umum masih ada ruang untuk menurunkan harga BBM. Penurunan harga BBM akan menjadi sangat rasional karena harga minyak mentah di tahun 2020 diproyeksikan tetap rendah. Penurunan harga BBM bisa menjadi semacam insentif di tengah pandemi Covid-19 kendati efeknya belum tentu maksimal,” ucap Pri Agung.
Saat harga minyak mentah 63 dollar AS per barel pada Januari 2020, PT Pertamina (Persero) menurunkan harga pertamax sebanyak dua kali dari Rp 9.850 per liter hingga menjadi Rp 9.000 per liter. Pada periode tersebut, nilai tukar rupiah adalah Rp 13.700 per dollar AS. Adapun harga minyak mentah sepanjang April 2020 rata-rata 20 dollar AS per barel dengan posisi kurs rupiah sekitar Rp 16.000 per dollar AS.
Penurunan harga BBM bisa menjadi semacam insentif di tengah pandemi Covid-19 kendati efeknya belum tentu maksimal.
Adapun untuk harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi, lewat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 83 K/12/MEM/2020 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan, harganya tak berubah. Keputusan tersebut ditetapkan pada 8 April 2020. Premium ditetapkan seharga Rp 6.450 per liter, sedangkan harga solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Harga tersebut tak berubah sejak April 2016.
Dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (18/3/2020), Presiden Joko Widodo meminta jajarannya menghitung ulang dampak penurunan harga minyak dunia. Dampak tersebut dikaitkan dengan harga BBM, baik subsidi maupun nonsubsidi, terhadap perekonomian nasional.
”Kita harus merespons dengan kebijakan yang tepat dan juga harus bisa memanfaatkan momentum ataupun peluang dari penurunan harga minyak tersebut bagi perekonomian nasional,” kata Presiden.