ILO: Krisis Ketenagakerjaan Masih Jauh dari Tuntas
Pemulihan ekonomi yang tidak merata memperparah kesenjangan di dunia pascapandemi. Dibutuhkan kebijakan pemulihan yang berpusat pada manusia (”human centered recovery”). Tidak ada pemulihan tanpa pemulihan pekerjaan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis pasar kerja akibat dampak Covid-19 dinilai masih jauh dari selesai. Kendati perekonomian global mulai menunjukkan tren pemulihan, dampaknya terhadap penciptaan kerja layak dipertanyakan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan setidaknya perlu waktu tiga tahun lagi untuk memulihkan dunia kerja dari dampak pandemi.
Hal itu tertuang dalam laporan terbaru ILO, World Employment and Social Outlook: Trends 2021, yang dirilis pada Kamis (3/6/2021). Dalam paparannya, ILO memprediksi, tahun ini akan ada 75 juta defisit lapangan pekerjaan secara global. Kondisi itu baru akan mulai membaik pada 2022 dengan defisit lapangan kerja diproyeksi menurun ke angka 23 juta.
Tingkat pengangguran global diprediksi akan bertahan pada 205 juta orang pada 2022, jauh melampaui angka pengangguran global tahun 2019 yang mencapai 187 juta orang. Tingkat pengangguran seperti ini terakhir kali terjadi pada 2013.
Berkurangnya jumlah lapangan kerja serta jam kerja mengakibatkan pendapatan pekerja menurun tajam dan kemiskinan meningkat pesat. Dibandingkan dengan 2019, sebanyak 108 juta pekerja dunia saat ini termasuk dalam kategori miskin atau miskin ekstrem.
”Kemajuan selama lima tahun dalam upaya menghapus kemiskinan kerja terancam. Tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) untuk menghapus kemiskinan per 2030 akan semakin sulit dicapai,” kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder, Kamis, dalam keterangan resmi.
Awal tahun ini memang ditandai dengan tren pemulihan perekonomian, seperti pada sektor industri yang mulai ekspansif dan perdagangan global yang menguat. Indonesia, misalnya, mencatat rekor tertinggi indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur selama tiga bulan berturut-turut. Neraca perdagangan juga tercatat surplus dengan nilai ekspor yang terus naik.
Akan tetapi, pemulihan itu tidak berlangsung merata. Selain akses vaksinasi yang masih timpang antara negara maju, berkembang, dan miskin, kapasitas perangkat stimulus fiskal setiap negara juga berbeda-beda. Tidak hanya pemulihan yang timpang antarnegara, kesenjangan pemulihan juga muncul antarsektor usaha dan lapisan masyarakat.
Lebih lanjut, dalam paparannya, ILO meragukan pemulihan ekonomi akan serta-merta menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif dan layak, khususnya di negara berpendapatan rendah. Tren pergeseran menuju pekerjaan informal, seperti yang terjadi di Indonesia, juga menjadi pertanda memburuknya kualitas kerja.
Guy Ryder mengatakan, kerusakan besar terhadap perekonomian dan masyarakat akibat pandemi perlu segera ditanggulangi. Diperlukan upaya matang untuk mempercepat penciptaan pekerjaan yang tidak sekadar unggul secara kuantitas, tetapi juga dari segi kualitas dan kelayakan kerja.
ILO meragukan pemulihan ekonomi akan serta-merta menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif dan layak, khususnya di negara berpendapatan rendah.
Ia mengatakan, tanpa upaya menciptakan pekerjaan layak, mendukung anggota masyarakat yang paling rentan, serta memulihkan sektor yang paling terkena imbas, dampak berkelanjutan dari pandemi akan terus-menerus menghantui dalam bentuk hilangnya potensi sumber daya manusia dan perekonomian serta tingginya kemiskinan dan ketimpangan.
”Kita butuh strategi yang komprehensif dan terkoordinasi, kebijakan yang berpusat pada manusia (human centered recovery), serta didukung aksi nyata dan pendanaan. Tidak ada pemulihan nyata tanpa pemulihan pekerjaan,” kata Guy.
Laporan ILO juga memotret semakin buruknya ketimpangan antarpekerja, khususnya yang menimpa para pekerja rentan. Meski jumlah pekerja informal meningkat secara global, skema perlindungan sosial bagi mereka justru tidak dibenahi.
Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, dengan program subsidi upah, relaksasi iuran jaminan sosial tenaga kerja, program Kartu Prakerja, serta program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang umumnya menafikan pekerja informal karena ketersediaan pendataan yang buruk.
Pandemi juga berdampak pada pekerja rentan lain, seperti pekerja perempuan yang lebih banyak terlempar dari pasar kerja ketimbang laki-laki. Selama pandemi, mereka mendapat beban kerja ganda untuk bekerja serabutan/informal sembari mengurus keluarga.
”Tanggung jawab domestik yang lebih besar akibat karantina selama pandemi ini pun memunculkan risiko kembali terjadinya tradisionalisasi dalam peran jender,” kata Guy.
Angkatan kerja muda juga terkena dampak nyata. Minimnya lowongan kerja menyulitkan mereka bertransisi menuju dunia kerja. ”Kalaupun ada anak muda yang mendapat kerja, posisinya hanya kontrak/temporer karena kondisi bisnis masih terganggu,” paparnya.
Tantangan berat
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, tantangan yang dihadapi untuk memulihkan pasar kerja ke depan memang cukup berat. Di tengah keterbatasan ruang fiskal, pemerintah berusaha menyediakan bantalan sosial, program padat karya, dan penciptaan lapangan kerja yang bisa menyerap pengangguran selama pandemi.
Salah satu fokus utama adalah menciptakan lapangan kerja baru. Oleh karena itu, saat ini pemerintah sedang gencar menarik investasi yang diharapkan lebih memprioritaskan sektor manufaktur yang padat karya dan bernilai tambah. ”Kami terus berkoordinasi dengan Kementerian Investasi untuk memastikan investasi yang masuk benar-benar berdampak pada penciptaan lapangan kerja,” katanya.
Pada triwulan I-2021, Kementerian Investasi mencatat realisasi investasi Rp 219,7 triliun, yang didominasi penanaman modal di sektor tersier yang padat modal. Adapun jumlah tenaga kerja yang terserap dari investasi mencapai 311.793 orang, sedikit meningkat dari capaian serapan tenaga kerja pada realisasi investasi triwulan IV-2020.
Lebih lanjut, Anwar mengatakan, pemerintah juga sedang membenahi pendataan pekerja informal, mengikuti amanat dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Ke depan, pekerja informal juga harus dilibatkan dalam program jamsostek agar terlindungi.
Selama ini, persoalan utama ada pada pendataan karut-marut sektor informal. ”Ini yang sedang kami rapikan datanya dengan berkoordinasi bersama Kementerian Koperasi dan UMKM. Khususnya data usaha yang termasuk ultramikro sampai kecil. Itu yang kami sasar,” katanya.