Pandemi Perdalam Jurang Ketimpangan, Siapkan Program Jangka Panjang
Program jangka panjang yang lebih terarah dan memperhatikan bias tertentu dapat menekan potensi ketimpangan yang makin dalam.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memperdalam jurang ketimpangan sosial di berbagai sektor. Ketimpangan akibat pandemi tidak hanya untuk jangka pendek, tetapi akan berlanjut hingga seusai pandemi.
Kondisi ini perlu disikapi pemerintah dengan program jangka panjang yang lebih terarah, efektif, dan tepat sasaran agar tidak semakin parah.
Berbagai indikator menunjukkan jurang kesenjangan semakin lebar akibat pandemi. Data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini yang sebesar 0,380 pada September 2019 meningkat menjadi 0,385 pada September 2020.
Rasio gini yang menunjukkan ketimpangan memiliki interval 0-1. Angka mendekati 1 artinya ketimpangan semakin dalam.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 oleh BPS menggambarkan, mayoritas angkatan kerja yang menganggur selama pandemi adalah masyarakat berkategori miskin dengan pendapatan rendah (54 persen). Jumlah itu lebih banyak dari masyarakat kategori menengah (39 persen) dan masyarakat kelas atas berpendapatan tinggi (7 persen).
Selama pandemi, pekerja dengan pendapatan rendah juga harus mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup (45,09 persen). Hal serupa dihadapi masyarakat kelas menengah (40,51 persen). Hanya 14 persen masyarakat kelas atas yang harus mencari pekerjaan sampingan.
Ketimpangan jender juga semakin tajam. Hanya 25,47 persen pekerja perempuan yang bisa mendapatkan pekerjaannya kembali setelah PHK. Sementara 74,53 persen pekerja laki-laki masih mungkin mendapatkan pekerjaannya kembali setelah PHK.
”Covid-19 memang di luar dugaan. Tetapi, masalah kesenjangan tidak terjadi begitu saja, melainkan dibuat dan diciptakan sistem yang tidak adil,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, Kamis (25/3/2021), dalam diskusi ”Setahun Pandemi Covid-19: Ujian Menjinakkan Ketimpangan di Indonesia”.
Dengan kondisi saat ini, pemulihan ekonomi pascapandemi diprediksi berbentuk huruf K (k-shaped recovery), yakni kelompok menengah-atas selamat dari krisis, bahkan semakin sejahtera, sedangkan sebagian masyarakat kecil akan semakin terpuruk dan sulit pulih.
Baca juga : Kemiskinan dan Jurang Ketimpangan Kian Dalam
Menurut Askar, berbagai program pemulihan ekonomi yang digelontorkan pemerintah belum menjawab persoalan ketimpangan sosial. Sejumlah program tidak tepat sasaran dan justru mempertajam kesenjangan yang sudah ada.
Berbagai program pemulihan ekonomi yang digelontorkan pemerintah belum menjawab persoalan ketimpangan sosial.
Ia mencontohkan Kartu Prakerja. Data Sakernas 2020 menunjukkan, sebagian besar yang menikmati program semi-bansos itu adalah pekerja berpendapatan menengah. Bahkan, 14 persen peserta Kartu Prakerja adalah pekerja berpendapatan tinggi.
Data yang sama menunjukkan hanya 23 persen penerima Kartu Prakerja yang pendapatannya betul-betul turun. Sementara pendapatan 77 persen penerima program sebenarnya tidak turun.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, mengatakan, pemerintah harus menyiapkan strategi jangka panjang untuk mengatasi problem ketimpangan sosial. ”Dampak pandemi ini luar biasa dan baru terasa 5-10 tahun mendatang. Perlu upaya sungguh-sungguh dan komprehensif dari sekarang,” katanya.
Dampak jangka panjang itu semakin nyata jika melihat kondisi ketimpangan digital. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 menunjukkan hanya 22 persen anak usia SD-SMA dari masyarakat miskin yang memiliki akses internet untuk bersekolah selama pandemi. Sementara 67 persen anak dari kelompok masyarakat kaya bisa mengakses internet.
”Artinya apa? Masa depan mereka akan berbeda. Hal ini menunjukkan dampak jangka panjang dari pandemi ini sangat krusial,” kata Teguh.
Baca juga : Penduduk Miskin RI Bertambah 2,76 Juta Orang
Menurut dia, secara jangka panjang, desain program pemulihan ekonomi harus diarahkan pada subsidi bagi perusahaan agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menambah angka pengangguran. Selain itu, akses dan kesempatan digital untuk mengantisipasi ketimpangan pendidikan diperbaiki. Perbaikan mulai dari infrastruktur jaringan internet sampai bantuan kuota internet.
Pemerintah juga harus memperhatikan sejumlah bias untuk merumuskan kebijakan yang tepat dan terarah. Pertama, bias sektoral. Tidak semua sektor usaha terpuruk akibat pandemi. Kedua, bias regional. Ada daerah yang pertumbuhan ekonominya masih positif, tetapi ada yang terpuruk. Ketiga, bias ukuran. Perusahaan besar relatif mampu bertahan daripada usaha mikro, kecil, dan menengah. Keempat, bias jender, karena pandemi lebih berdampak pada perempuan ketimbang laki-laki.
Penyaluran program sosial harus berdasarkan kategori masyarakat yang lebih rentan terdampak pandemi. ”Banyak kebijakan yang belum pas dan terarah karena tidak memperhatikan bias-bias ini. Jika ini tidak dicermati dalam perumusan kebijakan, ketimpangan akan semakin lebar,” katanya.
Dukungan daerah
Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Pembangunan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Suprayoga Hadi mengatakan, pemerintah sudah berupaya menahan kemiskinan. Hasilnya, meski ketimpangan sosial meningkat selama pandemi, tetapi tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan saat krisis 1997-1998.
”Sudah banyak yang kita coba. Program bantuan perlindungan sosial dan jaminan sosial terkait pandemi sudah mencakup 60 persen penduduk terbawah, dari desil 1-6,” kata Suprayoga.
Pemerintah sudah berupaya menahan kemiskinan.
Namun, ia mengakui, berbagai program itu masih perlu diselaraskan dan dipertajam agar disalurkan tepat waktu dan tepat sasaran. Pemerintah pusat tidak bisa bergerak sendiri. Dukungan dari pemerintah daerah penting.