Jumlah penduduk miskin per September 2020 naik 2,76 juta orang menjadi 27,55 juta orang atau setara dengan 10,19 persen dari total penduduk dibandingkan dengan tahun lalu.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Seorang ibu yang mencari nafkah dengan menjadi badut menyuapi putrinya di sela-sela waktu istirahat di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (6/2/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama hampir satu tahun membuat semakin banyak masyarakat jatuh miskin. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk miskin per September 2020 naik 2,76 juta orang menjadi 27,55 juta orang atau setara dengan 10,19 persen dari total penduduk dibandingkan dengan tahun lalu.
Kemiskinan naik di hampir semua provinsi pada periode September 2019 sampai September 2020 dengan peningkatan penduduk miskin di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Di daerah perkotaan, jumlah penduduk miskin naik 1,32 persen, sedangkan di perdesaan naik 0,60 persen. Meski demikian, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan lebih parah daripada perkotaan.
Tingkat kedalaman kemiskinan menggambarkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Jika jaraknya semakin jauh, upaya untuk mengangkat penduduk miskin menjadi tidak miskin menjadi lebih berat. Sementara itu, tingkat keparahan kemiskinan menggambarkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
BPS mencatat, dalam waktu setengah tahun, indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,61 pada Maret 2020 menjadi 1,75 pada September 2020. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,38 pada Maret 2020 menjadi 0,47 pada September 2020.
Kepala BPS Suhariyanto, Senin (15/2/2021), mengatakan, meski ada kenaikan angka kemiskinan, kondisi yang tergambar per September 2020 tidak separah proyeksi yang digambarkan sejumlah lembaga. Bank Dunia pada Juni 2020 memperkirakan tingkat kemiskinan Indonesia bisa naik menjadi 10,7 persen sampai 11,6 persen jika tidak ada bantuan sosial dari pemerintah.
”Hasilnya, memang terjadi kenaikan, tetapi tidak sedalam yang diduga. Ini menunjukkan berbagai program perlindungan sosial yang dirancang pemerintah selama pandemi banyak membantu masyarakat di lapisan bawah,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Memang terjadi kenaikan, tetapi tidak sedalam yang diduga. Ini menunjukkan berbagai program perlindungan sosial yang dirancang pemerintah selama pandemi banyak membantu masyarakat di lapisan bawah.
Kondisi tingkat kemiskinan saat ini juga tidak melenceng jauh dari skenario terburuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang memproyeksikan angka kemiskinan Indonesia pada akhir 2020 akan mencapai 9,7 sampai 10,2 persen atau ekuivalen 26,2 juta orang sampai 27,5 juta orang.
Kesenjangan melebar
Selain angka kemiskinan yang meningkat, jurang kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin juga semakin lebar akibat Covid-19. BPS mencatat, rasio gini pada September 2020 meningkat dari 0,380 (September 2019) menjadi 0,385. Rasio gini dibaca pada rentang 0-1. Jika angka semakin mendekati 1, ketimpangan pun semakin tinggi.
Sebagaimana peningkatan angka kemiskinan, kondisi kesenjangan ini juga ditemukan di kota dan di desa. Rasio gini di wilayah perkotaan naik dari 0,393 menjadi 0,3999, sementara di perdesaan meningkat dari 0,317 menjadi 0,319.
”Peningkatan rasio gini di setiap provinsi berbeda-beda. Ada provinsi yang mengalami peningkatan, ada juga yang menurun. Hal ini karena perilaku masyarakat berbeda-beda sehingga komposisi pengeluaran masyarakat di setiap provinsi itu berbeda,” kata Suhariyanto.
Berdasarkan provinsinya, peningkatan rasio gini tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan, naik 0,017 poin dari 0,334 pada September 2019 menjadi 0,351 pada September 2020. Sementara, penurunan rasio gini tertinggi terjadi di Maluku Utara sebesar 0,020 poin dari 0,310 menjadi 0,290. Adapun kesenjangan tertinggi terdapat di DI Yogyakarta dengan rasio gini 0,437, meningkat dari sebelumnya 0,428.
Bank Dunia dalam laporannya, ”Indonesia Economic Prospects: Towards a Secure and Fast Recovery” pada Desember 2020 merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk fokus pada program pengendalian pandemi agar bisa segera mengembalikan situasi ke normal dan memulihkan perekonomian.
Selagi hal itu dilakukan, bantuan sosial dari pemerintah tetap dibutuhkan untuk menyokong rumah tangga dan masyarakat yang rentan. Pemerintah juga harus terus mengawasi dan memperbaiki efektivitas dari program-program bantuan dan perlindungan sosial itu.
Bantuan sosial dari pemerintah tetap dibutuhkan untuk menyokong rumah tangga dan masyarakat yang rentan.
Pengangguran
Peningkatan angka kemiskinan ini sejalan dengan meningkatnya angka pengangguran. BPS mencatat, per Agustus 2020, tingkat pengangguran terbuka (TPT) naik dari 5,23 persen pada Agustus 2019 menjadi 7,07 persen. Artinya, jumlah penganggur pada Agustus 2020 mengalami peningkatan 2,67 juta orang, membuat angka pengangguran RI menembus angka 9,77 juta orang.
Pandemi berdampak pada 29,12 juta pekerja Indonesia. Sebanyak 2,56 juta orang kehilangan pekerjaan dan menganggur akibat Covid-19, sementara 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja. Ada pula 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja karena Covid-19 dan 760.000 orang yang teridentifikasi bukan angkatan kerja karena Covid-19.
Foto udara aktivitas warga di bantaran Kali Ciliwung, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (12/11/2020). Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 diperkirakan 9,7-10,2 persen atau 26,2 juta-27,5 juta orang dari jumlah penduduk di Indonesia. Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim menjadi faktor yang akan meningkatkan angka kemiskinan pada 2020 dan 2021.
Di tengah kondisi itu, pemerintah memutuskan menghentikan salah satu program bantuan sosial ke pekerja, yaitu bantuan subsidi upah (BSU). Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan, program itu tidak dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Pemerintah memilih fokus pada program Kartu Prakerja yang akan mendapat anggaran Rp 20 triliun.
Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengenai Covid-19 dan Dunia Ketenagakerjaan pada 25 Januari 2021 memprediksi, kondisi pada 2021 masih akan dibayangi ketidakpastian yang tinggi meski vaksinasi sudah mulai bergulir di banyak negara.
Pemulihan ekonomi diprediksi tidak akan cepat dan timpang antara sektor usaha yang mulai pulih dan yang masih terdampak serta antara negara yang memiliki akses memadai untuk vaksinasi dan negara yang tidak memiliki kapasitas serupa.
ILO merekomendasikan, pendekatan kebijakan yang berpusat pada pekerja (human-centered recovery) masih dibutuhkan, antara lain insentif bagi perusahaan serta program bantuan sosial bagi kelompok pekerja rentan (perempuan pekerja, pekerja berupah rendah, dan pekerja berketerampilan rendah) dan pekerja di sektor yang paling terdampak.
Kebijakan-kebijakan itu harus diseimbangkan pula dengan pembenahan sistem perlindungan sosial yang lebih inklusif dan efektif serta upaya menggenjot investasi dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor yang mampu bertumbuh selama pandemi.