Meski ada perbaikan, kondisi belum pulih sepenuhnya. Pemulihan ekonomi belum merata, baik secara sektoral maupun kewilayahan. Pengangguran yang menurun juga belum tentu menggambarkan kualitas kesejahteraan.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Survei keadaan ketenagakerjaan per Februari 2021 dan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang diumumkan bersamaan pada Mei 2021 mulai menunjukkan angka menggembirakan. Namun, seperti adagium the devil is in the details, sesuatu bisa terlihat baik-baik saja dari kejauhan tetapi tidak demikian apabila dilihat lebih dekat.
Selayang pandang, situasi memang mulai membaik pada awal tahun ini dibandingkan kondisi pada Agustus 2020. Tahun lalu, segala sendi perekonomian terpuruk karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berakhir pada Juni 2020. Roda usaha tersekat, pemutusan hubungan kerja meningkat, dan upah pekerja menurun drastis.
Tak heran, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Agustus 2020 mencatat, hingga 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari total penduduk usia kerja terdampak pandemi. Mayoritas mengalami pengurangan jam kerja dan penurunan upah, kehilangan pekerjaan dan menganggur, menjadi bukan angkatan kerja (BAK), serta sementara tidak bekerja.
Kini, sejalan dengan pelonggaran restriksi bepergian dan angka pertumbuhan ekonomi per triwulan I-2021 yang menuju positif, sektor ketenagakerjaan yang sempat terdisrupsi hebat mulai membaik.
Badan Pusat Statistik menunjukkan, per Februari 2021, satu tahun setelah kemunculan Covid-19 di Indonesia, jumlah penduduk usia kerja yang terdampak pandemi berkurang menjadi 19,1 juta orang atau 9,3 persen dari total penduduk usia kerja. Angka itu membaik jika dibandingkan dengan kondisi enam bulan sebelumnya.
Angka pengangguran juga menurun. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2021 adalah 6,26 persen, menurun dibandingkan posisi Agustus 2020 yang 7,07 persen. Sebagai perbandingan, pada Februari 2020, ada 6,93 juta orang menganggur. Karena pandemi, pada Agustus 2020, jumlah penganggur meningkat menjadi 9,77 juta orang.
Pada Februari 2021 ini, jumlah penganggur menurun menjadi 8,75 juta orang. Artinya, jumlah pengangguran menurun 1,02 juta orang dalam enam bulan terakhir. Meski jika dibandingkan dengan posisi normal pra-pandemi, jumlah penganggur tetap bertambah 1,82 juta orang. Sebanyak 1,62 juta orang di antaranya menganggur karena terkena PHK.
Dampak pandemi terhadap angkatan kerja memang tidak sedalam Agustus 2020 lalu. Data menunjukkan adanya penurunan dan perbaikan, mulai dari jumlah pengangguran, pekerja yang terdampak Covid-19, sampai porsi pekerja informal yang berkurang.
Belum merata
Akan tetapi, meski ada perbaikan, kondisi belum pulih sepenuhnya. Pemulihan belum merata, baik secara sektoral maupun kewilayahan. Data BPS, pada triwulan I-2021, ada 11 sektor yang pertumbuhannya negatif, meski kontraksinya mulai melandai, antara lain sektor akomodasi dan makanan-minuman serta transportasi dan pergudangan, yang pemulihannya tergantung penuh pada penanganan pandemi.
Dua dari tiga sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan dan perdagangan, justru masih terkontraksi. Industri pengolahan yang menyerap 13,6 persen dari total angkatan kerja tumbuh minus 1,38 persen. Sementara sektor perdagangan yang menyerap 19,2 persen angkatan kerja tumbuh minus 1,23 persen. Kondisinya memang mulai membaik dibandingkan triwulan IV-2020, tetapi masih jauh dari posisi sebelum pandemi.
Hanya industri pertanian sebagai sektor dengan tenaga kerja terbanyak (menyerap 29,59 persen angkatan kerja), yang tumbuh positif 2,95 persen. Namun, ironisnya, meski konsisten tumbuh positif dan menjadi penopang ekonomi di kala pandemi, kesejahteraan petani justru tergerus.
BPS mencatat, mayoritas kelompok rumah tangga miskin berasal dari kelompok pertanian, yaitu 46,3 persen. Upah buruh tani tercatat Rp 1,93 juta, masih di bawah rata-rata upah buruh nasional yang sebesar Rp 2,86 juta. Mayoritas pekerja yang terserap di sektor pertanian belum merasakan pertumbuhan positif itu.
Pengangguran yang menurun juga belum tentu menggambarkan kualitas kesejahteraan. Sebab, sepanjang pandemi, jumlah pekerja informal konsisten meningkat. Per Februari 2021, penduduk yang bekerja di kegiatan informal adalah 78,14 juta orang, meningkat dari sebelumnya 77,68 juta orang pada Agustus 2020.
Survei Februari 2021 mencatat, tingkat pengangguran perempuan menurun lebih cepat. Sekilas, ini menggembirakan. Namun, mayoritas ternyata terserap ke sektor informal, bukan formal. Sebagian besar bahkan menjadi pekerja keluarga tanpa pendapatan yang pasti. BPS mendefinisikan pekerja keluarga sebagai pekerja yang tidak mendapat upah/gaji.
Rapuh
Perbaikan saat ini juga masih rapuh karena sangat bergantung pada dinamika pandemi. Lonjakan kasus atau munculnya gelombang baru akan kembali menekan pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja.
Sekilas, angka-angka kesehatan memang sempat menenangkan. Kasus Covid-19 sempat menurun, perkembangan laju vaksinasi Indonesia masuk dalam 10 besar negara di dunia.
Namun, jika disikapi keliru, data yang menggembirakan bisa membuat terlena dan melupakan akar krisis saat ini. Kebijakan kontradiktif dan serba tanggung dari pemerintah justru bisa memperparah prospek pemulihan kesehatan dan ekonomi. Mudik dilarang, tetapi wisata dan kedatangan warga negara asing diperbolehkan. Padahal, jika kasus naik lagi, ekonomi akan kembali tertekan.
Kabar terbaru, hasil tes acak dalam Operasi Ketupat 2021 mengindikasikan risiko penularan Covid-19 yang tinggi setelah 4.123 pemudik diketahui positif Covid-19. Epidemiolog mengingatkan, lonjakan kasus Covid-19 ada di depan mata (Kompas, 11/5/2021).
Data memang bisa membantu memahami suatu fenomena serta menjadi pemandu kebijakan, tetapi hati-hati terlena dengan penurunan angka. Ada belasan juta orang yang saat ini menganggur, berkurang jam kerjanya, tergerus pendapatannya, dan kesulitan menyambung hidup. Meski menurun dibandingkan sebelumnya, jumlah itu masih amat banyak.
Meminjam kata-kata Sindhunata dalam tulisannya ”Jeritan Kematian Kala Pandemi” di harian ini, 20 Maret 2021, akhir-akhir ini kita khawatir apabila angka naik dan terhibur apabila turun. Namun, benarkah jika kekhawatiran dan keterhiburan kita hanya digantungkan pada naik turunnya angka?
Di balik angka-angka yang naik-turun itu ada manusia dan semesta kehidupannya, masing-masing dengan rasa sedih, kekecewaan, dan ketakutan akan masa depan yang tak pasti. Optimisme diperlukan, tetapi badai belum berlalu. Jangan terlena.