Transaksi di bursa efek diperkirakan akan turun karena ada libur Lebaran. Situasi itu menyebabkan pergerakan indeks harga saham gabungan bakal terbatas pada Mei 2021.
Oleh
Joice Tauris Santi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG diperkirakan masih tetap berada pada rentang pendek, bahkan cenderung melemah. Namun, masih ada beberapa sektor yang dapat dicermati.
”Transaksi di bursa diperkirakan akan turun karena ada libur Lebaran, menyebabkan juga pergerakan pasar akan terbatas sepanjang Mei,” kata Senior Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina, di Jakarta, Kamis (6/5/2021). Martha mencermati, area support indeks berada pada kisaran 5.883-5.735, sementara area resisten pada kisaran 6.115-6.281.
Nilai transaksi saham diperkirakan akan menurun, terutama karena libur Idul Fitri 2021. Selain itu, para investor masih menahan diri untuk tidak terlalu banyak bertransaksi sembari menantikan publikasi laporan keuangan emiten untuk triwulan I-2021. Rerata nilai transaksi April tercatat Rp 9,42 triliun dan sudah turun menjadi Rp 9,14 triliun sejak awal Mei. Angka itu turun dari rata-rata Januari-Maret yang mencapai Rp 15,69 triliun per hari.
Ada tiga faktor ekonomi makro domestik yang dapat menjadi katalis positif pergerakan saham di bursa. Data historis angka pertumbuhan ekonomi, data manufaktur dari indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) yang membaik, menurut Martha, masih menjadi penunjang prospek ekonomi. Dia menambahkan, dua katalis positif lainnya adalah potensi kenaikan harga komoditas dan sudah berjalannya vaksinasi Covid-19 di dalam negeri.
Meski demikian, ada faktor pemberat juga. Kemungkinan peningkatan kasus baru Covid-19 setelah libur panjang Lebaran berpotensi menjadi katalis negatif. Namun, jika angka Covid-19 masih stabil dan tidak mengalami kenaikan berarti karena pembatasan mudik yang berhasil oleh pemerintah, maka faktor itu dapat beralih menjadi faktor positif bagi pergerakan pasar saham.
Sedangkan di pasar obligasi, analis obligasi Mirae, Dhian Karyantono, mengatakan, faktor ekonomi makro yang positif dapat mengangkat harga obligasi pemerintah, juga menurunkan tingkat imbal hasilnya di pasar.
”Hingga Juni, harga surat berharga negara (SBN) tenor acuan 10 tahun dapat naik dan menurunkan yield-nya hingga di bawah 6 persen pada triwulan III-2021,” kata Dhian.
Dhian mengatakan, SBN acuan bertenor 10 tahun sudah turun sejak awal tahun dan membuat yield naik hingga di kisaran 6,5 persen. Pergerakan harga dan yield obligasi di pasar sekunder saling bertolak belakang. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Dhian juga memprediksi kondisi makroekonomi global, khususnya yang dipicu kekhawatiran inflasi di AS, sempat memicu kenaikan yield obligasi Pemerintah AS (US Treasury), menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan menaikkan indikator risiko Indonesia.