Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 mencapai 6,9-7,8 persen. Target itu hanya akan tercapai jika laju penyebaran Covid-19 bisa terus ditekan.
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun perekonomian Indonesia pada triwulan I-2021 masih terkontraksi, berbagai kalangan optimistis pertumbuhan ekonomi akan kembali positif mulai triwulan II-2021. Ini terutama karena perekonomian konsisten membaik sejak terkontraksi minus 5,32 persen pada triwulan II-2020.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto dalam jumpa pers secara daring, Rabu (5/5/2021), menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2021 terkontraksi negatif 0,74 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski demikian, kondisi ini sudah lebih baik dibandingkan triwulan IV-2020 yang negatif 2,19 persen dari sebelumnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis ekonomi secara keseluruhan akan tumbuh positif, dimulai pada triwulan II-2021. Pemerintah optimistis pada triwulan II-2021 pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6,9-7,8 persen.
Airlangga memaparkan, melihat produk domestik bruto (PDB) berdasarkan harga konstan, realisasi pada triwulan II-2020 hanya mencapai Rp 2.589,8 triliun. Sementara itu, PDB harga konstan untuk triwulan I-2021 telah mencapai Rp 2.703 triliun.
”Melihat PDB harga konstan, ada lompatan lebih dari 4 persen di triwulan I-2021 dari triwulan II-2020 yang notabene sebagai periode awal kontraksi ekonomi Indonesia. Lompatan ini membuat pemerintah optimistis pertumbuhan 6,9-7,8 persen bisa tercapai di triwulan II-2021,” ujarnya.
Airlangga menekankan target pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen pada triwulan II-2021 bisa dicapai jika konsumsi rumah tangga RI pada saat yang sama juga tumbuh signifikan.
Sejumlah komponen pembentuk PDB triwulan I-2021 mengalami pertumbuhan negatif, di antaranya konsumsi rumah tangga negatif 2,23 persen, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (negatif 4,53 persen), dan investasi (negatif 0,23 persen).
Target pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen pada triwulan II-2021 bisa dicapai jika konsumsi rumah tangga RI pada saat yang sama juga tumbuh positif. (Airlangga Hartarto)
Adapun komponen pembentuk PDB yang menahan laju kontraksi pertumbuhan ekonomi trwiulan I-2021 tidak terlalu dalam adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh 2,96 persen, ekspor (6,74 persen), dan impor (5,27 persen).
Untuk periode triwulan II-2021, pemerintah memproyeksikan semua komponen tumbuh. Konsumsi rumah tangga diproyeksi tumbuh 6,9-7,9 persen, konsumsi LNPRT diproyeksi tumbuh 5-5,5 persen, konsumsi pemerintah (7,6-7,9 persen), investasi (6,4-8,3 persen), ekspor (10,5-12 persen), dan impor (9,5-14 persen).
Di tengah aturan larangan mudik untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, pemerintah tetap berupaya menjadikan periode Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2021 sebagai momentum untuk mengungkit ekonomi pada triwulan II-2021.
Sejumlah kebijakan telah diimplementasikan guna mengoptimalkan peningkatan konsumsi pada periode ini, salah satunya kewajiban pemberian tunjangan hari raya (THR) kepada karyawan swasta serta gaji ke-13 dan THR untuk ASN/TNI/Polri.
Menurut Airlangga, pemberian THR dan gaji ke-13 diperkirakan bisa menghasilkan potensi untuk konsumsi sebesar Rp 215 triliun. Menjelang hari raya, pemerintah juga akan mempercepat penyaluran target perlindungan sosial untuk triwulan II-2021.
Pemerintah mencatat realisasi belanja bantuan sosial kementerian atau lembaga sebesar Rp 55 triliun pada triwulan I-2021, naik 16,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 47,2 triliun.
Airlangga optimistis penanganan pandemi yang semakin membaik akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2021 mencapai 4,5-5,3 persen. Capaian positif ini ia yakini akan berlanjut pada tahun 2022, di mana pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh ke kisaran 5,4-6 persen.
Tantangan menghadang
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, resesi ekonomi pada triwulan II-2021 akan berakhir sehingga ekonomi Indonesia akan memasuki fase pemulihan dengan pertumbuhan ekonomi positif.
Namun, Tauhid menegaskan masih banyak tantangan yang perlu dilalui untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen sesuai proyeksi yang dicanangkan pemerintah.
”Memang akan terjadi pertumbuhan positif pada triwulan II-2021, tetapi masih belum berada di titik optimal seperti yang ditargetkan pemerintah. Pasalnya, konsumsi rumah tangga belum optimal hingga pertengahan triwulan kedua ini,” ujarnya.
Permasalahan pada konsumsi rumah tangga Indonesia, menurut Tauhid, terlihat jelas pada kontraksi pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman selain restoran, yang menjadi salah satu komponen pembentuk konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman selain restoran pada triwulan I-2021 terkontraksi negatif 2,31 persen secara tahunan. Besaran kontraksi ini lebih buruk dibandingkan triwulan IV-2020 di mana komponen ini terkontraksi negatif 1,39 persen.
”Data ini ironis mengingat penyaluran bantuan pemerintah melalui program perlindungan sosial sampai April 2021 sudah lebih dari Rp 50 triliun. Artinya, program bantuan pemerintah belum efektif dalam mengangkat konsumsi masyarakat,” kata Tauhid.
Masih belum pulihnya tingkat konsumsi rumah tangga terindikasi dari angka inflasi yang saat ini rata-rata di bawah 1,5 persen. Padahal, sebelum pandemi, inflasi selalu berada di kisaran 2,6-3 persen.
”Rendahnya inflasi menunjukkan permintaan barang dan jasa tertahan karena tingkat konsumsi masyarakat juga rendah,” kata Tauhid.
Kartu as
Menurut Tauhid, ”kartu as” dalam mengejar pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan bergantung pada percepatan program vaksinasi, khususnya menghadapi varian baru, serta kemampuan menerapkan disiplin masyarakat dalam tetap menjalankan protokol kesehatan.
Insentif fiskal yang diberikan di sektor-sektor vital, seperti transportasi, perdagangan, industri, pariwisata, serta makanan-minuman, hanya akan efektif untuk meningkatkan produktivitas sektor tersebut apabila angka penambahan kasus positif Covid-19 bisa diredam.
”Selain itu, diperlukan juga pendampingan UMKM untuk keluar dari resesi serta prioritas program kementerian dan lembaga yang fokus pada program padat karya,” ujarnya.
Pengamat ekonomi dan perbankan, Ryan Kiryanto, menilai relaksasi kebijakan sinergis pemerintah dari Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan juga akan menjadi ”kartu as” tambahan untuk mendorong aktivitas ekonomi dan produktivitas sektor riil.
Indikasi tersebut terlihat dari perbaikan level Purchasing Manager Index (PMI) Indonesia ke level 54,6 pada April 2021, meningkat dari posisi Maret 2021 sebesar 53,2 yang menunjukkan ada di zona ekspansi. Pembelian mobil juga terpantau meningkat setelah pemberlakuan kebijakan keringanan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
”Secara sektoral, stimulus kebijakan untuk sektor otomotif dan properti diharapkan mampu menjadi lokomotif kegiatan di sektor industri pengolahan dengan efek domino yang luas,” ujarnya.