Transisi Energi Terbarukan di Daerah Kurang Dukungan Kepemimpinan
Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia telah banyak bermunculan di level komunitas lokal. Namun, dalam implementasinya, sumber daya manusia dan permodalan belum mendapat dukungan kepemimpinan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia telah banyak bermunculan di level komunitas lokal. Namun, dalam implementasinya masih ditemukan banyak kendala sumber daya manusia dan permodalan. Kepemimpinan di daerah pun perlu ditingkatkan.
Tim Kompas yang menulis buku berjudul Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia menyelisik pemanfaatan beragam energi terbarukan di beberapa daerah, yaitu Lombok di Nusa Tenggara Barat dan Sumba di Nusa Tenggara Timur.
”Mandiri energi di level masyarakat sudah bisa dilakukan,” kata Aris Prasetyo, Ketua Tim Penulis sekaligus wartawan harian Kompas, dalam diskusi virtual dan peluncuran buku Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia, Selasa (27/4/2021), yang dibuka oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra.
Diskusi itu diisi oleh beberapa narasumber, yaitu Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Sugeng Suparwoto, dan anggota Dewan Energi Nasional RI Satya Widya Yudha.
Di Sumba, Aris menyebutkan, beberapa kelompok masyarakat sudah memanfaatkan energi yang bersumber dari pembangkit surya, mikro hidro, dan bayu. Masyarakat di Desa Kamanggih, yang dibantu lembaga donor Yayasan Hivos, misalnya, sudah mandiri listrik berkat pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) dan mengandalkan biogas dari kotoran ternak babi dan sapi untuk memasak.
Di Lombok, para penulis juga mendatangi masyarakat yang dibantu Yayasan Rumah Energi untuk menggunakan biogas dari kotoran sapi daripada elpiji yang berbahan gas bumi. Meski demikian, diakui, implementasi energi terbarukan yang sudah berjalan masih menemui beberapa kendala.
Di Sumba, Aris menyebutkan, beberapa kelompok masyarakat sudah memanfaatkan energi yang bersumber dari pembangkit surya, mikro hidro, dan bayu. Masyarakat di Desa Kamanggih, yang dibantu lembaga donor Yayasan Hivos, misalnya, sudah mandiri listrik berkat pembangkit listrik tenaga mikro hidro dan mengandalkan biogas dari kotoran ternak babi dan sapi untuk memasak.
Sebagai contoh, masyarakat di Kecamatan Narmada, Lombok, yang memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sempat memprotes pemerintah karena tidak bisa menikmati subsidi listrik selama pandemi. Kurangnya tenaga terampil juga jadi faktor penghambat di beberapa lokasi.
”Pemimpin perlu campur tangan untuk masalah SDM (sumber daya manusia) dan permodalan (energi terbarukan) ini,” kata Aris.
Perhatian pemda
Satya Widya Yudha mengatakan, saat ini sudah 20 provinsi yang mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk Rencana Umum Energi Daerah (RUED). RUED merupakan turunan dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang menjadi acuan daerah untuk menjamin ketahanan energi hingga tahun 2050.
RUEN mengatur implementasi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sampai 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Dengan rencana itu, pemanfaatan minyak bumi dan batubara sebagai sumber energi harus dikurangi perlahan.
”Keluarnya perda untuk RUED ini otomatis melibatkan pemerintah provinsi dan DPRD. Namun, banyak keluhan bahwa dinas-dinas ESDM (energi dan sumber daya mineral) digabung dengan dinas lain, seperti dinas pendidikan, bahkan dinas olahraga, karena ESDM tidak dilihat sebagai hal penting,” ujarnya.
Tidak hanya itu, implementasi transisi energi terbarukan untuk ketahanan energi di daerah juga diakui belum banyak didukung alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memadai.
Padahal, daerah dinilai memainkan peran penting dalam mempercepat peningkatan bauran energi terbarukan. Sampai 2020, bauran energi terbarukan baru mencapai 11,2 persen dengan kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca sampai 64,36 MTCO2e, dari target 314 MTCO2e di tahun 2030.
”Pemahaman yang terus digaungkan diharapkan mampu memicu bentuk-bentuk kebijakan dan kesadaran masyarakat ke arah yang lebih baik, terutama yang memanfaatkan potensi lokal. Potensi lokal ini banyak yang belum dimaksimalkan untuk menjembatani peningkatan bauran energi ke depan,” ujarnya.
Nilai keekonomian
Selain masalah di kepemimpinan, nilai keekonomian juga menjadi faktor yang menyebabkan ekosistem energi terbarukan sulit terbentuk.
Harga satuan energi terbarukan yang masih lebih tinggi daripada harga listrik dari batubara, menurut Satya, menjadi kendala. Pengenaan tarif emisi karbon yang belum masif pun membuat energi fosil masih lebih menarik bagi industri.
Hal ini juga diakui Fabby Tumiwa yang menyarankan agar pemerintah mengurangi kebijakan yang berpihak pada energi fosil.
”Pemerintah perlu membangun ekosistem agar penetrasi energi terbarukan cepat terjadi. Ini termasuk dengan tidak lagi membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) setelah tahun 2050. Saat ini tidak dimungkiri kebijakan energi kita masih menjadikan batubara sebagai energi utama,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah bisa memulai transisi ini dengan serius membangun ekosistem kelistrikan daripada transportasi dan bahan bakar masak. Pemanfaatan energi terbarukan juga bisa meningkatkan keandalan kelistrikan di daerah kendati rasio elektrifikasi nasional sudah hampir mencapai 100 persen.
”Di sisi lain, pemerintah juga perlu merencanakan implikasi percepatan transisi energi terbarukan ini terhadap daerah penghasil batubara. Transisi pasti akan menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan dan penerimaan negara walaupun industri energi terbarukan akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan baru,” katanya, menambahkan.
Perencanaan ini diharapkan terjawab oleh hadirnya Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan (EBT), yang masih dalam bentuk rancanangan di DPR.
”Kami menerima masukan terus-menerus dari berbagai pihak. Mudah-mudahan UU EBT ini mempertegas komitmen kita dan memberi kepastian akan perkembangan EBT,” kata Sugeng.
Menurut dia, RUU yang ada saat ini mengatur berbagai bentuk insentif dan disinsentif untuk implementasi EBT. ”Pengembang EBT akan didukung untuk mendapat insentif, sebaliknya akan ada disinsentif atau pajak karbon untuk industri yang masih memanfaatkan energi fosil,” katanya.