Industri perbankan nasional semakin gencar mendorong perkembangan sektor usaha yang mengedepankan aspek berkelanjutan. Hal tersebut terindikasi dari tren meningkatnya pembiayaan perbankan pada usaha berkelanjutan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perbankan nasional semakin gencar mendorong perkembangan sektor usaha yang mengedepankan aspek berkelanjutan. Hal tersebut terindikasi dari tren meningkatnya pembiayaan perbankan pada sektor-sektor usaha yang berwawasan lingkungan dan sosial.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, total pembiayaan berkelanjutan atau green financing yang disalurkan perbankan nasional hingga Desember 2020 sebesar Rp 809,75 triliun. Pembiayaan tersebut disalurkan, antara lain, untuk proyek-proyek yang terkait pemanfaatan energi baru dan terbarukan, pembangunan gedung ramah lingkungan, pengelolaan sampah, dan manajemen air bersih.
Salah satu bank yang cukup gencar menyalurkan pembiayaan berkelanjutan adalah PT Bank OCBC NISP Tbk. Bank ini telah belasan tahun menggeluti dan mendalami ekonomi berkelanjutan.
”Ini demi manusia dan planet kita. Indonesia perlu melindungi sumber daya alam, yang sangat diandalkan sebagai mata pencaharian, dari ancaman perubahan iklim. Karena itu, kita harus terus menjaga lingkungan kita,” kata Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja, Kamis (15/4/2021), di Jakarta.
Ia menjelaskan, OCBC NISP pertama kali menginisiasi pembiayaan hijau sejak tahun 2008-2009 berkat dorongan International Finance Corporation (IFC), lembaga yang terafiliasi dengan Bank Dunia. Sejak itu, aspek lingkungan dan sosial semakin menjadi pertimbangan OCBC NISP dalam menyalurkan pembiayaan.
Bank yang telah berusia 80 tahun ini mendapat pendanaan dari IFC sebesar Rp 2 triliun pada 2018. Dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek berkelanjutan, seperti pembangunan gedung dan rumah ramah lingkungan, serta manajemen pengelolaan air bersih.
Pada 2020, bank ini kembali mendapat pinjaman dari IFC Rp 2,75 triliun. Selain untuk proyek-proyek berwawasan lingkungan, dana dari IFC juga digunakan untuk pengembangan kapasitas sosial, seperti pemberdayaan perempuan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).
Parwati mengatakan, per akhir 2020, porsi pembiayaan berkelanjutan 26 persen dari total pembiayaan OCBC NISP. Pada tahun 2021, porsi pembiayaan berkelanjutan ditargetkan mencapai 30 persen.
Direktur OCBC NISP Martin Widjaja menyebutkan, penyaluran pembiayaan berkelanjutan difokuskan pada sejumlah sektor, yakni manufaktur berwawasan lingkungan, pembangkit listrik yang menggunakan energi baru dan terbarukan, pengelolaan air, bangunan ramah lingkungan, dan pemberdayaan perempuan pelaku usaha.
Menurut Martin, dua sektor ekonomi hijau yang berkembang cukup pesat adalah sektor energi terbarukan dan bangunan ramah lingkungan atau green building.
Bangunan ramah lingkungan yang diminati spesifik pada pergudangan yang diharapkan lebih efisien dan sesuai standar pasar internasional. Selain itu, juga bangunan pusat data yang kebutuhannya meningkat seiring penetrasi internet.
”Investasi pembangunan green building ini memang 10-15 persen lebih mahal dari biaya bangunan konvensional. Namun, kita sadar investasi yang ditanamkan sekarang akan menghasilkan manfaat besar di masa depan,” sebutnya.
Martin menyadari, pemahaman tersebut belum dimiliki semua pelaku usaha. Oleh karena itu, OCBC NISP terus mengupayakan edukasi kepada para nasabahnya mengenai manfaat bisnis berkelanjutan. Insentif pembiayaan juga diberikan untuk mendorong debitor mengimplementasikan bisnis yang berwawasan lingkungan.
Tetap tumbuh
Bank lain yang juga cukup gencar menyalurkan pembiayaan berkelanjutan adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk atau BNI. ”Di tengah pandemi Covid-19, kredit berkelanjutan yang disalurkan BNI masih tetap tumbuh. Pembiayaan sektor energi terbarukan contohnya, mampu tumbuh 34,4 persen,” tutur Sekretaris Perusahaan BNI Mucharom.
Sesuai Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) perseroan, pembiayaan tersebut disalurkan pada beberapa sektor yang menjadi sasaran program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 51 Tahun 2017.
Sasaran yang dimaksud adalah sektor energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya, mini hidro, air, dan biogas. Selain itu, sektor yang melaksanakan efisiensi energi, kegiatan pencegahan dan pengendalian polusi. Lalu, pengelolaan sumber daya hayati dan penggunaan lahan, serta pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan.
Salah satu contoh implementasi pembiayaan berkelanjutan yang dilakukan BNI adalah dengan menginisiasi Program Ayo Menabung dengan Sampah. Program ini bertujuan mengedukasi masyarakat dalam mengelola lingkungan yang bersih, rapi, dan sehat, sekaligus mengubah paradigma masyarakat bahwa sampah bisa menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.
”Ke depan, kami meyakini keuangan berkelanjutan dapat menjadi solusi di masa depan karena melibatkan semua aspek, yaitu people, profit, dan planet. Dengan demikian, diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup,” kata Mucharom.
Motor penggerak
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, perbankan merupakan motor penggerak dalam pembiayaan berkelanjutan. Hal ini mengingat hampir 80 persen pembiayaan korporasi berasal dari industri perbankan.
”Peran perbankan semakin penting di tengah krisis seperti saat ini. Perbankan memiliki kemampuan untuk menjaga keberlanjutan yang sangat diperlukan guna mempercepat pemulihan ekonomi nasional,” kata Anto.
Tahun ini, OJK mengeluarkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) untuk mempercepat transisi sektor keuangan ke arah berkelanjutan.
”Roadmap Tahap II ini terdiri atas tujuh komponen, yaitu kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi kementerian dan lembaga terkait, dukungan non-pemerintah, sumber daya manusia, dan peningkatan kesadaran,” kata Anto
Hal ini diharapkan dapat menyempurnakan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015 - 2019) yang lebih berfokus meningkatkan pemahaman dan kapasitas pelaku sektor jasa keuangan untuk beralih menuju ekonomi rendah karbon.
Selain itu, menyempurnakan pula dua Peraturan OJK (POJK), yakni POJK Nomor 60 Tahun 2016 tentang Penerbitan Efek dan Utang Berwawasan Lingkungan dan POJK Nomor 51 Tahun 2017 yang mengatur kewajiban lembaga jasa keuangan untuk menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan dan melaporkan rencananya.
Untuk semakin mendorong kontribusi perbankan, Anto menambahkan, pemerintah dan OJK sedang mendiskusikan lebih lanjut mengenai insentif dan disinsentif yang dikaitkan dengan pembiayaan berkelanjutan
”Meski saat ini kita masih fokus pada penanganan pandemi, kami berharap kita tetap bisa melanjutkan pembiayaan berkelanjutan. Saya kira, kita sudah ada di jalur yang benar dalam mewujudkan target-target SDG,” ujarnya.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya, beberapa waktu lalu, mengatakan, pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk memprioritaskan ekonomi hijau sebagai bagian dari pemulihan yang berkelanjutan.
Mengutip laporan Vivideconomics, 30 persen dari total stimulus Covid-19 di 18 negara ditujukan untuk sektor-sektor yang berwawasan lingkungan. ”Tren ini diharapkan juga terjadi di Indonesia,” ujar Berly.