Sanksi administrasi akan dikedepankan dalam kasus pelanggaran di sektor kelautan dan perikanan. Sanksi yang tidak memberatkan dinilai akan merangsang investasi dan perputaran ekonomi, tetapi minim efek jera.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan akan mengedepankan pembinaan sampai sanksi administratif terhadap pelanggaran pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan. Upaya itu untuk mendorong iklim investasi dan mendorong roda perekonomian.
Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Yusuf mengemukakan, UU Cipta Kerja menempatkan pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran sebagai upaya akhir atau ultimum remedium. Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran mengedepankan sanksi administratif dengan pendekatan memulihkan, bukan menjerakan atau membuat orang tidak berdaya. Sanksi pidana diberikan ketika pelanggaran dinilai menimbulkan akibat atau dampak serius.
Ia menambahkan, pihaknya kerap mendapat keluhan dari petambak dan pembudidaya ikan yang masuk penjara akibat kurang memenuhi persyaratan izin. Padahal, pelaku usaha sudah mengeluarkan modal untuk usaha. Pidana penjara menyebabkan usaha tutup dan pegawai kehilangan pekerjaan.
Sanksi administratif dinilai dapat mencegah kriminalisasi terhadap pelaku usaha dan memberi kesempatan bagi pelaku usaha untuk memperbaiki kekeliruan sepanjang tidak berdampak pada keselamatan, kesehatan kerja, dan lingkungan (K3L). Selain itu, sanksi administrasi berupa denda juga dapat menjadi sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pendekatan sanksi administratif dinilai akan merangsang investor masuk ke Indonesia sehingga roda ekonomi berputar dengan baik.
”Kita perlu mengubah mindset, setiap ada pelanggaran tidak otomatis (dihukum) pidana. Perlu dilihat adakah dampak yang muncul serius atau tidak,” kata Yusuf dalam Webinar Konsultasi Publik tentang Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pengenaan Sanksi Administratif Bidang Kelautan dan Perikanan, Senin (26/4/2021).
Pelaksana Tugas Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan KKP Eko Rudianto menyebutkan, pelanggaran sektor kelautan dan perikanan terbagi atas empat kelompok, yakni pelanggaran ketentuan perizinan berusaha, pelanggaran ketentuan pemanfaatan ruang laut, pelanggaran ketentuan sistem pemantauan kapal perikanan, dan pelanggaran ketentuan impor komoditas perikanan dan pergaraman. Sanksi mulai dari teguran tertulis hingga denda dan pencabutan izin usaha.
Pemerintah juga mengatur mekanisme banding, yakni ketika pelaku usaha keberatan dengan sanksi yang dijatuhkan. ”Begitu sanksi dijatuhkan, hanya ada waktu tujuh hari untuk mengajukan banding. Putusan banding (sanksi) administratif bersifat final dan mengikat,” katanya.
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Yunus Husein menilai, penegakan hukum pidana memiliki kelemahan dan kurang efektif dalam memberantas praktik pelanggaran di sektor kelautan dan perikanan. Pada 2015-2020, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP menangani 849 perkara pidana kelautan dan perikanan.
Tujuan pemberian sanksi adalah menimbulkan efek jera bagi pelanggar dan mencegah pihak lain melakukan pelanggaran serupa. Selain itu, sanksi juga sebagai bentuk pembinaan dan penegakan aturan. Namun, sanksi yang berat, jika sulit diimplementasikan, menjadi tidak efisien.
”Penyelesaian pidana bukan segala-galanya, bahkan bisa menjadi inefisien. Dana yang dikeluarkan juga banyak,” kata Yunus Husein yang juga Staf Khusus Satgas 115 periode 2014-2019.
Tujuan pemberian sanksi adalah menimbulkan efek jera bagi pelanggar dan mencegah pihak lain melakukan pelanggaran serupa.
Ia mencontohkan, tim Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (Satgas 115) menemukan banyak sekali pembangunan kapal perikanan tanpa izin. Mengacu pada Undang-Undang Perikanan Pasal 95, nelayan yang membangun kapal tanpa izin dikenai ancaman pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 600 juta sehingga sangat memberatkan. Kini, pasal itu sudah dihapuskan dengan adanya UU Cipta Kerja.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim berpendapat, sanksi administrasi sulit menimbulkan efek jera. Ujung dari sanksi administrasi hanya sebatas penutupan usaha untuk sementara waktu hingga pencabutan izin usaha. Dalam kondisi itu, pelaku usaha masih bisa melakukan pengajuan izin baru dengan bendera baru atau melakukan aktivitas jual-beli aset usaha dengan mitra baru.
Sementara denda yang dikenakan dalam sanksi administratif juga kerap tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan kerugian sosial-budaya yang dialami masyarakat atas pelanggaran izin usaha di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ia mengingatkan, hampir seluruh investasi kelautan dan perikanan berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat. Kasus pelanggaran usaha perikanan kerap berdampak kerugian terhadap masyarakat. Namun, rancangan permenKP tentang pengenaan sanksi administratif tidak mengatur secara tegas bahwa sanksi harus sepadan dengan pemulihan lingkungan, sosial, dan ekonomi kepada masyarakat dengan biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha atas kerugian yang ditimbulkan akibat aktivitas usaha.
”Sanksi administratif sulit menimbulkan efek jera ketimbang melakukan proses hukum baik secara perdata maupun pidana. Di sinilah upaya mengedepankan sanksi administratif terkesan bias (kepentingan) investor,” kata Halim.
Menurut Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi, saat ini Indonesia menghadapi tingkat pengangguran yang meningkat sebagai dampak pandemi Covid-19. Sebanyak 15-20 juta orang usia produktif belum mendapat pekerjaan dan 130 juta pekerja formal yang perlu dilindungi. Oleh karena itu, pemerintah mendorong investasi agar membuka lapangan kerja dan melindungi pekerja.
Pemerintah mendorong investasi agar membuka lapangan kerja dan melindungi pekerja.
UU Cipta Kerja dan aturan turunannya harus memberikan kepastian, kemudahan, dan kecepatan perizinan. Di sisi lain, implementasi UU itu berujung pada pengawasan dan sanksi dengan sanksi pidana sebagai upaya hukum terakhir. ”Tindak pidana tidak selalu disebabkan kesalahan pelaku usaha, tetapi karena ketidakjelasan dan dukungan data dan informasi yang tidak akurat,” katanya.