UU Cipta Kerja Dinilai Tinggalkan Potensi Masalah Penegakan Hukum di Laut
UU Cipta Kerja dinilai berpotensi menimbulkan persoalan dalam bidang penegakan hukum di sektor kelautan. Misalnya, perubahan pengawasan kepatuhan menimbulkan pertanyaan siapa yang akan melakukan dan bagaimana caranya.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah beberapa norma undang-undang yang terkait dengan penegakan hukum di laut berpotensi menimbulkan masalah. Di satu sisi, ada pengaturan yang tidak jelas dan di sisi lain, ada potensi persoalan terkait pengendalian eksploitasi sumber daya alam di sektor kelautan.
Gandjar Laksmana Bonaprapta, pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengutarakan hal itu, Senin (12/4/2021), dalam seminar daring yang diselenggarakan Dinas Hukum TNI Angkatan Laut (AL) dengan tema ”Dampak Berlakunya UU Cipta Kerja terhadap Penegakan Hukum di Laut”.
Selain Gandjar, juga hadir Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan Ahmad, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Suharta, serta Kepala Dinas Hukum TNI AL Laksma Kresno Buntoro.
Gandjar mengatakan, dalam UU Cipta Kerja ada resentralisasi kewenangan dari kementerian sektoral dan pemda ke pemerintah pusat. Namun, tidak disebutkan lebih lanjut akan didelegasikan kepada siapa kewenangan itu. Di sisi lain, ada penyederhanaan dan perubahan sistem perizinan, dari pendekatan izin menjadi sistem risk based approach yang menimbulkan kekhawatiran pada pengendalian eksploitasi sumber daya alam kelautan maupun pengawasan.
”Berbagai perubahan pada pengawasan kepatuhan menimbulkan pertanyaan siapa yang akan melakukan dan bagaimana caranya pengawasan dilakukan, serta siapa yang memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi,” katanya.
Ginandjar berpendapat, selain proses pembuatan yang cepat dan tertutup, UU Cipta Kerja mengedepankan penyelesaian administrasi, padahal normanya hukum pidana. Selain itu, ada kesan UU mengesampingkan proses hukum secara berlebihan.
Kresno menyampaikan beberapa perubahan norma yang menimbulkan ketidakjelasan. Ia mencontohkan, dalam UU Cipta Kerja, definisi dan cakupan usaha perikanan di kegiatan penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran tidak jelas.
Hal ini dinilai bisa membingungkan PPNS Perikanan dalam menganalisis unsur ”usaha perikanan” terkait apakah tersangka telah melakukan usaha perikanan atau belum. Penyebutan nelayan kecil juga tidak jelas definisinya.
Sementara itu, Ahmad dari KPLP mengatakan, ada beberapa perubahan pada pasal-pasal pidana di bidang pelayaran. Tindakan yang sebelumnya dikenai sanksi pidana diubah menjadi sanksi administratif, kecuali pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian, baik korban manusia maupun harta benda atau kecelakaan kapal.
Ia mengatakan, aturan rinci berupa peraturan Menteri Perhubungan yang menjadi peraturan turunan dari UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran sedang dipersiapkan.
Suharta menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja, sanksi memang diatur berupa administratif karena ada pemikiran, tingginya biaya sistem pidana malah membebani keuangan negara. Selain itu, banyak denda pidana tidak dibayar dan tidak ada kompensasi untuk rehabilitasi kerusakan.
”Kontraproduktif terhadap upaya pembinaan dan pembangunan dunia usaha perikanan,” katanya.