Pekerjaan rumah utama adalah membuktikan efektivitas sejumlah kebijakan ekonomi yang tidak populer, seperti janji pemerintah menarik investasi dan mencipta lapangan kerja.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Efektivitas penanganan pemulihan ekonomi membutuhkan dukungan politik yang kuat dan stabil. Pemerintah punya waktu efektif selama satu tahun ke depan untuk menjalankan kebijakan pemulihan ekonomi sebelum pemilihan umum memecah peta politik dan mengganggu stabilitas penentuan kebijakan.
Pekerjaan rumah utama yang krusial adalah membuktikan efektivitas sejumlah kebijakan ekonomi yang tidak populer, seperti janji pemerintah menarik investasi dan mencipta lapangan kerja melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Jika efektif, UU Cipta Kerja yang digadang sebagai penentu arah permainan (game changer) pemulihan ekonomi akan menentukan nasib 29,12 juta angkatan kerja Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19, khususnya 2,56 juta orang pekerja yang menganggur akibat pemutusan hubungan kerja.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, Senin (22/3/2021), mengatakan, Presiden Joko Widodo punya waktu yang terbatas mengingat setidaknya satu tahun sebelum Pemilu 2024, partai-partai pendukung pemerintah yang saat ini masih menguasai suara mayoritas di parlemen akan disibukkan dengan kepentingan politik masing-masing.
Sementara, Presiden tidak lagi memiliki insentif elektoral karena tidak bisa maju lagi untuk periode ketiga. Realitas dinamika politik ini harus diperhatikan karena akan menentukan mulus tidaknya penerapan kebijakan pemulihan ekonomi ke depan, khususnya bagi kebijakan yang dinilai tidak populer seperti UU Cipta Kerja.
”Tahun ini sampai tahun depan menjadi tahun krusial bagi pemerintah membuktikan bahwa kebijakan ekonominya yang tidak populer bisa dipetik hasilnya. Sebab, memasuki tahun 2022, kondisinya akan berat bagi pemerintah,” ujarnya dalam acara DBS Asian Insight Conference ”Economy and Political Outlook 2021” yang digelar secara daring di Jakarta.
Tahun ini sampai tahun depan menjadi tahun krusial bagi pemerintah membuktikan bahwa kebijakan ekonominya yang tidak populer bisa dipetik hasilnya.
Berdasarkan survei Indikator, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah masih di atas 50 persen, tetapi terjadi penurunan 5 persen dari sebelumnya 68 persen menjadi 62,9 persen. ”Ini bukan angka kecil dan harus diantisipasi. Faktor yang akan menentukan kepercayaan publik adalah langkah kebijakan ekonomi pemerintah ke depan seperti apa,” kata Burhanuddin.
Kebijakan UU Cipta Kerja merupakan salah satu isu yang sebenarnya mendapat sentimen negatif dari publik, tetapi berhasil disahkan karena dukungan partai pendukung pemerintah di parlemen yang sangat kuat.
”Tahun lalu, partai koalisi masih solid mendukung pemerintah karena pemilunya masih jauh. Oleh karena itu, dalam waktu dekat, UU Cipta Kerja harus sudah bisa dipetik hasilnya. Kalau memasuki tahun 2022 kondisi kita masih seperti sekarang, dugaan saya, partai politik akan jaga jarak dengan Presiden,” katanya.
Ekonom DBS Bank, Radhika Rao, menilai, momentum pergeseran kondisi global pascapandemi perlu jeli dimanfaatkan untuk menyusun strategi menarik investasi yang tepat dan efektif. UU Cipta Kerja memang memberi insentif dan kemudahan berusaha yang menarik bagi investor.
Namun, Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada regulasi, tetapi memanfaatkan pula berbagai faktor. Misalnya, momentum bonus demografi dan ledakan penduduk usia kerja yang mulai terlihat sekarang sampai sepuluh tahun ke depan. Kelebihan ini tidak bisa didapatkan di negara lain yang dalam beberapa tahun ke depan memiliki lebih banyak penduduk berusia tua.
Pandemi Covid-19 membuat sejumlah perusahaan besar juga beramai-ramai memindahkan pabrik atau membangun pabrik baru di negara-negara berkembang. ”Saat ini ada disrupsi besar dalam rantai pasok global dan Indonesia termasuk negara yang akan menikmati jatah rantai pasok global itu jika bisa memanfaatkannya,” kata Radhika.
Saat ini ada disrupsi besar dalam rantai pasok global dan Indonesia termasuk negara yang akan menikmati jatah rantai pasok global itu jika bisa memanfaatkannya.
Sektor dengan keunggulan komparatif, berorientasi ekspor, dan bernilai tambah juga harus menjadi prioritas pemerintah saat menarik investasi. Radhika mencontohkan sektor potensial, seperti industri kendaraan listrik dan komponennya, mengingat Indonesia sudah memiliki bahan baku alami dan tinggal mengembangkan industri hilirisasinya.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir yakin, ekonomi akan lebih cepat tumbuh dengan reformasi struktural pasca-UU Cipta Kerja. Saat ini, dampaknya sudah mulai dirasakan.
Beberapa negara telah berkomitmen berinvestasi di Indonesia Investment Authority (INA), lembaga pengelola investasi RI. Lembaga yang dibentuk lewat UU Cipta Kerja itu bertujuan menarik investasi untuk keperluan pembangunan infrastruktur. Pemerintah menargetkan INA akan menarik total investasi sebesar Rp 300 triliun.
Terkait investasi langsung, Iskandar menuturkan, realisasinya tidak bisa langsung dirasakan meski UU sudah diundangkan. Sebab, pemerintah harus menyiapkan peraturan pelaksana dan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), baik dari segi kesiapan teknologi maupun sumber daya manusia yang mengelolanya.
Targetnya, sistem OSS baru siap beroperasi dari pusat ke daerah pada Juni-Juli 2021. ”Tentunya, sepanjang OSS belum terintegrasi secara keseluruhan, itu akan menghambat realisasi investasi meski aturannya sudah kita simplifikasi. Ini semua tergantung sistem dan itu butuh waktu,” kata Iskandar.
Ia optimistis, meski saat ini sentimen publik terhadap UU Cipta Kerja masih negatif, tetapi ketika dampaknya nanti dirasakan positif, publik akan mendukung kebijakan pemerintah. Ia juga meyakini kebijakan pemerintah akan tetap bisa dijalankan dengan efektif meski dibayangi tahun politik dan berakhirnya periode pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
”Saya tidak percaya dengan second term course (kutukan periode kedua). Kalau melihat sejarah, secara ekonomi, pasti ada kejadian lain yang mengiringi periode kedua kepresidenan, seperti krisis global yang membuat pertumbuhan ekonomi pasti turun,” katanya.