Teknologi Finansial Tak Boleh Abai Lindungi Data Konsumen
Teknologi finansial dapat menyokong inklusi keuangan. Meskipun demikian, ada sejumlah problematika hukum yang dihadapi tekfin, termasuk perlindungan data pribadi dan konsumen.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam menggunakan layanan teknologi finansial atau tekfin, data konsumen akan terekam, baik yang bersifat pribadi maupun riwayat aktivitas. Oleh sebab itu, penyelenggara jasa tekfin mesti bertanggung jawab terhadap perlindungan data tersebut.
Saat mengulas buku Cyber Ethics dan Cyber Law: Kontribusinya bagi Dunia Bisnis karya Pakar Hukum Siber Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya IBR Supancana, Adjunct Professor Universitas Indonesia sekaligus Founder Asosiasi Professional Privasi Data Indonesia Abu Bakar Munir menekankan pentingnya etika dalam ruang siber.
”Etika tersebut mengatur perilaku orang-orang yang menggunakan dan berkomunikasi di ruang siber,” katanya saat peluncuran buku yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu (14/4/2021).
Etika siber tersebut, menurut dia, dapat sejalan dengan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Secara spesifik, RUU PDP mesti menetapkan tanggung jawab pelaku tekfin dalam mengumpulkan dan memproses data konsumen. Pelaku tekfin juga harus memfasilitasi hak-hak konsumen terhadap data miliknya.
Supancana juga berpendapat, tekfin dapat menyokong inklusi keuangan. Masyarakat yang tidak terjangkau perbankan bisa mendapatkan akses layanan keuangan dari tekfin secara lebih mudah.
Meskipun demikian, ada sejumlah problematika hukum yang dihadapi tekfin, termasuk perlindungan data pribadi dan konsumen. Problematika lainnya terdiri dari mitigasi risiko, penyelesaian sengketa, kewajiban penyelenggara tekfin, serta penerapan transaksi dan kontrak elektronik.
Ada sejumlah problematika hukum yang dihadapi tekfin, termasuk perlindungan data pribadi dan konsumen. Problematika lainnya terdiri dari mitigasi risiko, penyelesaian sengketa, kewajiban penyelenggara tekfin, serta penerapan transaksi dan kontrak elektronik.
Dalam kesempatan yang sama, Fintech Academy Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya Stevanus Pangestu menuturkan, data kini menjadi aset penting dan berpotensi dikuasai oleh sejumlah pihak yang memiliki kekuatan modal. Dengan memanfaatkan algoritma, riwayat perilaku pengguna dapat menjadi sumber data.
Misalnya, saat menggunakan tekfin, sistem akan merekam data pembayaran beserta tujuan dan pola waktunya, seperti pelunasan tagihan di awal bulan. Barang-barang yang dibelanjakan juga dapat terekam. Data ini dimanfaatkan untuk pemasaran bisnis.
Sektor yang tak berkaitan dengan tekfin secara langsung, lanjut Pangestu, juga bisa merekam data serupa. Contohnya, pemain gim yang membeli fitur-fitur khusus pada sistem yang sama. Jika industri gim tersebut memiliki afiliasi dengan bisnis lain, data tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk pemrofilan pengguna.
”Oleh sebab itu, perlindungan konsumen menjadi krusial dalam ekosistem tekfin. Tantang yang berpotensi dihadapi, antara lain, penyalahgunaan data, privasi, kualitas produk atau jasa yang tak sesuai, hingga menjadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan,” tuturnya.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Pangestu berpendapat, kebiasaan berpikir kritis yang menjadi landasan literasi keuangan sekaligus digital dapat menjadi tameng konsumen. Konsumen mesti melatih logika berpikir melalui kebiasaan membaca dan mengevaluasi data dan informasi yang diperoleh. Masyarakat juga perlu melatih emosi saat menerima data dan informasi.
Dalam hal literasi keuangan, konsumen harus mengetahui terlebih dahulu ragam produk finansial terlebih mengenai cara kerja, risiko, dan manfaatnya, lalu memilih yang sesuai dengan kebutuhannya. Di tataran literasi digital, masyarakat mesti menyadari keamanan siber beserta datanya.
Sementara itu, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim yang turut menanggapi buku tersebut berpendapat, adaptasi dengan perkembangan teknologi saat ini dapat menjadi tantangan, termasuk pemanfaatan ruang siber dan kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari. ”Kita kini dipaksa untuk berpindah ke gawai,” ujarnya.