Regulasi baru membuka peluang impor gula mentah bagi industri berbasis tebu guna mencukupi kebutuhan konsumsi. Ada celah yang justru berpotensi semakin menekan petani tebu di dalam negeri.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membuka peluang bagi industri gula berbasis tebu untuk mengimpor gula mentah guna memenuhi kebutuhan gula konsumsi masyarakat. Syarat rekomendasi yang longgar berpotensi semakin mengimpit petani tebu di dalam negeri yang berulang mendapatkan harga jual gula yang rendah beberapa tahun terakhir.
Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Pasal 2 Ayat (3) Permenperin No 3/2021 menyebutkan, impor gula mentah untuk memproduksi gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi dapat dilakukan apabila bahan baku GKP dalam negeri tak cukup.
Rekomendasi impor mempertimbangkan neraca gula yang ditetapkan melalui rapat koordinasi oleh kementerian urusan pemerintahan bidang koordinasi perekonomian. Rekomendasi dapat diberikan kepada industri gula berbasis tebu dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 10721 serta memiliki izin usaha industri setelah tanggal 25 Mei 2010 dalam rangka investasi baru atau perluasan usaha.
Regulasi itu antara lain mempertimbangkan perlunya jaminan ketersediaan bahan baku guna memproduksi gula kristal putih untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi masyarakat (GKP), gula kristal rafinasi untuk kebutuhan industri, serta mempertimbangkan terbatasnya pasokan tebu dari perkebunan rakyat.
”(Regulasi) Ini menimbulkan pertanyaan. Landasannya apa? Apakah memang selama ini tidak tersedia? Sebelum permenperin ini ada, impor gula pun sudah meningkat,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Tauhid Ahmad dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Kelompok Kajian Interdependensi dan Penguatan Komunitas Lokal Fakultas Psikologi Universitas Airlangga dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PWNU Jawa Timur, Rabu (7/4/2021).
Tauhid menggarisbawahi potensi keuntungan yang diperoleh dari selisih harga beli gula di luar negeri dengan harga jual gula di dalam negeri. Dengan harga gula internasional 343,92 dollar AS per ton saat ini, serta total biaya transportasi, asuransi, dan pengolahan diprediksi sekitar 200 dollar AS per ton, maka harganya 543,92 dollar AS per ton.
Dengan asumsi nilai tukar Rp 14.504 per dollar AS, harga gula impor itu mencapai Rp 7.889 per kg. Sementara harga gula rafinasi di pasar daring di Indonesia berkisar Rp 8.500 per kg (industri) hingga Rp 10.000 per kg (rembesan). Artinya, kata dia, selisihnya mencapai Rp 611 per kg hingga Rp 2.111 per kg. Dengan total stok gula rafinasi mencapai 3,1 juta ton, selisih totalnya mencapai Rp 1,89 triliun hingga Rp 6,54 triliun.
Petani keberatan
Sebelumnya, kalangan petani memprotes tingginya alokasi impor gula yang diizinkan pemerintah. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyin, rencana impor gula mentah untuk memproduksi gula konsumsi sepanjang Januari-Mei 2021 akan mencapai 646.944 ton, sementara impor GKP 150.000 ton (Kompas, 12/3/2021).
Dengan stok awal tahun 2021 sekitar 800.000 ton, kata dia, jumlah impor itu dinilai terlalu besar. Volume impor semestinya hanya sekitar 300.000 ton untuk pemenuhan kebutuhan Mei hingga pertengahan Juni 2021 atau hingga musim giling tebu tiba tahun ini. Banjir gula di pasaran dikhawatirkan kembali menekan harga jual gula di tingkat petani tebu.
Selain itu, regulasi baru dikhawatirkan memicu dampak lain, yakni terganggunya pasokan gula rafinasi di sebagian industri pengguna. Menurut Ketua Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi Dwiatmoko Setiono, pelaku industri gula yang bisa memperoleh izin impor gula mayoritas berada di Jawa Barat. Oleh sebab itu, industri pengguna di Jawa Timur khawatir akan terbebani dengan ongkos logistik.
Dia juga berpendapat, semestinya ada kontrak industri gula yang mengimpor bahan baku dengan penggunanya sebagai syarat mendapatkan rekomendasi. Tidak adanya kontrak itu berpotensi menimbulkan rembesan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo menyebutkan, kebijakan gula, utamanya yang berbasis bahan baku impor, memiliki regulasi di hulu. Akan tetapi, terdapat pembiaran distribusi di hilir sehingga pasar cenderung menjadi liar.
Menurut Kementerian Perindustrian, alokasi kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan-minuman dan farmasi sepanjang 2021 mencapai 3,116 juta ton atau setara 3,315 juta ton gula mentah. Sebanyak 1,935 juta ton di antaranya akan direalisasikan sepanjang semester I-2021.