Niat Politik Menjadi Kunci Pengembangan Energi Terbarukan
Dukungan seluruh pemangku kepentingan mempengaruhi keberhasilan pencapaian target bauran energi nasional. Namun, tanpa niat politik yang kuat dari pemerintah, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sulit terwujud.
Oleh
ARIS PRASETYO/KRIS RAZIANTO MADA/ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Niat politik Pemerintah Indonesia menjadi kunci penting dalam pengembangan energi terbarukan untuk mewujudkan target bauran energi nasional. Niat tersebut harus tertuang dalam kebijakan terkait perpajakan maupun insentif. Selain itu, pelibatan masyarakat dan semua pemangku kepentingan juga dibutuhkan.
Sampai 2020, peran energi terbarukan dalam bauran energi nasional di Indonesia masih 11,5 persen atau separuh dari target 23 persen pada 2025 mendatang. Di sektor pembangkit listrik, peran energi fosil, terutama batubara, masih amat dominan, yaitu 66,3 persen. Adapun gas bumi dan bahan bakar minyak sebesar 20,47 persen. Dengan demikian, kontribusi energi terbarukan hanya sekitar 14 persen saja.
Pakar hukum energi pada Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Irine Handika, menyatakan, niat politik pemerintah dalam penyusunan kebijakan energi di Indonesia sangat menentukan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi perlu didesain ulang agar lebih gamblang dan mengikat. Hal-hal terkait transisi energi harus diatur lebih jelas dan bersifat mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan.
“Sebaiknya dialokasikan pada APBN untuk pembiayaan proyek energi terbarukan. Selain itu, perlu diatur harga energi terbarukan lewat penetapan batas atas dan batas bawah. Pengembangan energi terbarukan bisa berhasil apabila aspek keekonomian terpenuhi,” kata Irine saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/3/2021).
Direktur PT Natgas Resources Indonesia Buntarno Liman Sumitro, yang tengah mengembangkan pembangkit listrik tenaga bayu di kawasan Indonesia timur, menambahkan, implementasi Perjanjian Paris membutuhkan kesungguhan politik dari Pemerintah Indonesia. Pemerintah harus menimbang risiko yang timbul apabila target Indonesia terkait Perjanjian Paris gagal tercapai.
Terkait harga energi terbarukan, anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha mengungkapkan bahwa pemerintah telah memiliki niat baik lewat penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) yang diharapkan segera terbit dalam waktu dekat. Peraturan tersebut akan memberi kepastian terkait harga energi terbarukan dan menjadi sinyal positif bagi investasi di Indonesia.
“Apabila sudah ada kepastian harga energi terbarukan lewat Perpres tersebut, saya optimistis target 23 persen energi terbarukan di 2025 bisa dicapai dengan mengembangkan tenaga surya, panas bumi, bayu, dan hidro secara masif,” ujar Satya.
Selama ini, tarif listrik dari energi terbarukan berdasar biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik. Dalam hal besaran BPP pembangkitan ketenagalistrikan di mana lokasi pembangkit listrik energi terbarukan itu dibangun di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listriknya paling tinggi 85 persen dari BPP pembangkitan setempat.
Para peneliti merekomendasikan bahwa penurunan emisi harus ditingkatkan hingga 10 kali lipat untuk bisa membendung krisis iklim.
Wacana yang berkembang adalah tarif listrik dari energi terbarukan ditetapkan berdasar skema feed in tariff, yaitu patokan pembelian tenaga listrik berdasarkan biaya produksi. Dalam draf rancangan perpres tersebut, penetapan feed in tariff diatur untuk pembangkit listrik tenaga hidro (PLTMH), tenaga surya (PLTS), tenaga biomassa (PLTBm), dan PLTS atap dengan kapasitas hingga 5 megawatt (MW).
Respon industri
Peluang dan harapan ada pada sektor energi melalui pengembangan energi terbarukan yang didukung pula konservasi energi. Dengan kondisi 70 persen emisi gas rumah kaca berasal dari pembakaran fosil, energi terbarukan menjadi kesempatan “low hanging fruit” meski dalam implementasinya tidak akan sederhana dan mudah.
Menurut kajian terbaru, 3 Maret 2021, yang dimuat Nature oleh peneliti dari University of East Anglia, Stanford University, dan the Global Carbon Project, pada 64 negara yang di periode 2016-2019 menjalankan penurunan emisi, menunjukkan kontribusi tersebut masih jauh dari cukup untuk bisa mengerem laju perubahan iklim. Para peneliti merekomendasikan bahwa penurunan emisi harus ditingkatkan hingga 10 kali lipat untuk bisa membendung krisis iklim.
Di level internasional, lembaga besar yang menarik aset dari energi fosil antara lain BlackRock, M&G, AXA, GPFG Norwegia, dan AP7 Swedia. Dengan total dana kelolaan 7,8 triliun dollar AS, BlackRock menjadi lembaga keuangan terbesar di dunia. Karena itu, keputusan manajer investasi yang berpusat di Inggris tersebut menjadi contoh penting bagi pelaku industri keuangan global.
CEO BlackRock, Larry Fink, telah meminta semua mitra dan calon mitra BlackRock mengungkap rencana terkait pemangkasan emisi karbon. Lembaga itu akan mempercepat divestasi pada mitra yang tidak punya rencana pemangkasan emisi karbon.
Di Indonesia, Direktur Pengembangan Pasar GE Indonesia Arka W Wiriadidjaja menambahkan, dengan tren transisi energi di seluruh dunia, para pelaku energi global berada pada garis terdepan dalam membangun solusi bagi tantangan tersebut. Menangani perubahan iklim menjadi prioritas global yang mendesak dan membutuhkan komitmen nasional termasuk kebijakan yang konsisten dalam menciptakan peraturan.
“Dengan teknologi yang tepat, skema pembiayaan, dan lanskap peraturan, transisi energi negara ini akan dapat berjalan dengan baik dan benar,” kata Arka.
PT Pertamina (Persero), selaku BUMN energi di Indonesia, turut berkomitmen mendukung pencapaian bauran energi nasional pada 2025. Menurut Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia Heru Setiawan, selain di sektor pembangkit listrik, pengembangan energi baru dan terbarukan diterapkan pada pencampuran biodiesel dengan solar atau dikenal dengan program B-30, serta gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME). Pertamina selaku pembeli (off taker) produk DME yang dikembangkan PT Bukit Asam Tbk dan Air Products dari Amerika Serikat.
“Sampai 2026 nanti, kami menargetkan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 40 gigawatt. Sumbangsih terbesar dari pembangkit listrik tenaga surya berikut teknologi baterainya. Total investasi yang diperlukan sekitar 15 miliar dollar AS,” ucap Heru.